Sungguh abang sayang Ibu.. selalu....

Posted by median | Posted in

"Pulanglah secepatnya.. Ibu sakit keras!! Ajak pula istri dan anakmu, waktunya mungkin tak lama lagi...” Isi pesan yang tidak lebih dari 50 karakter itu sudah cukup membuat seluruh jantungku bergetar tak karuan. Duhai, berita apa pula ini? Ibu yang setangguh itu? Ibu yang tak pernah terlihat sakit parah satu kalipun olehku (beliau paling hanya masuk angin, hari ini dikerik keesokannya sudah asyik lagi mengajar dan bercocok tanam diladang bersama ayah). Bagaimana bisa?? Mendadak pusing kepalaku dibuatnya.

“Ria, tolong kau cancel semua pertemuan sampai waktu yang tak bisa ku tentukan. Ibuku sakit keras. Aku harus pulang! Kau atur saja dahulu semua masalah, berikan laporan kepadaku secara ringkas saja setiap harinya”. Kukemasi barang-barangku (tepatnya malah asal mengambil dan memaksa semua barang itu masuk kedalam tas secepatnya). Bisa kapiran masalah ini kalau sampai aku telat menjenguk ibu tersayangku.

“Siap Pak.. tak usah khawatir. Semuanya akan saya handle. Sya akan segera telpon juga istri Bapak dan mengirimkan jemputan ke sekolah Tuan Muda”. Ucap halus Ria kepadaku. Seorang perempuan cantik dengan dandanan elegan yang telah 5 tahun menjadi sekretarisku. Orang kepercayaan yang benar-benar bisa diandalkan, bahkan dia langsung mempersiapkan jemputan untuk anakku yang masih bersekolah (baru masuk tahun ini pula).


Kuraih tas kerjaku. Melesat secepatnya melewati pintu ruanganku. Bergegas setengah berlari melewati para bawahan (yang masih saja menyapa dan mengangguk hormat menegurku), melewati lorong ruangan, menekan tombol lift , masuk dan dengan tergesa menekan tombol turun. Ah kenapa lama sekali lift ini turun? (hal yang bodoh untuk ditanyakan mengingat bangunan korporasiku ini memiliki 36 lantai). Entahlah pikiranku kalut sekali kali ini.

AKU HARUS SEGERA PULANG!! HARUS....

.....................................................................................................

Aku terlahir di salah satu daerah kampung di satu Provinsi yang dinamakan Bengkulu (bahkan teman-temanku yang lulusan luar negeri sana masih sering menanyakan “Mmmh, Bengkulu itu diprovinsi Kalimantan bukan?”. Kayaknya karena bersekolah diluar negeri mereka bahkan sampai lupa geografi negeri sendiri). Lahir di lingkungan desa yang asri, dimana semua orang adalah keluarga. Saling menyapa, bertegur kata dengan senyum diwajah. Dan hal yang benar-benar harus disyukuri ialah aku terlahir di keluarga yang sangat bersahaja. Ibu yang luar biasa, ayah yang bersahabat dan bertanggung jawab akan keluarganya.

Ayahku Seorang Kepala Kampung dan ibuku seorang guru TPA biasa. Berpenghasilan pas-pasan dan itupun harus ditambah dengan bercocok tanam di sepetak ladang. Tapi kami bahagia! Sangat bahagia. Masih teringat jelas bagaimana aku dulu bermain di ladang bersama ayah (Ibu sedang mengajar diwaktu itu).

Bermain menciptakan rumah-rumahan dengan menggunakan apa saja yang ada disana. Memotong batang pohon singkong untuk tiangnya, memakai atap rumbia bilik tempat biasa aku dan ayah berteduh, mengikatnya dengan serat kelapa dan yang lainnya. Dan setelah mengacak-acak banyak hal diladang dan mengotori nyaris semua pakaianku, dengan “angkuhnya” ku tarik tangan ayah yang sedang asyik menyiangi rumput liar disela-sela alur ladang . Menunjukkan maha karyaku. Membuatku tersenyum kecil membayangkan bagaimana hidungku kembang kempis kegirangan akan pujian ayah diwaktu itu

“bagus sekali bang!! suatu saat kau akan jadi arsitek ternama. Membangun dan punya gedung besar bertingkat-tingkat tentunya. Jangan lupa nanti kau buatkan satu untuk Ayah dan Ibu ya” puji ayah diiringi senyum bangga dan sesudahnya mengelus-ngelus rambutku dengan ringannya. Amboi, serasa terbang aku diwaktu itu.

“Kita kemana Pak??” satu pertanyaan dari sopirku memecah lamunanku.

“Ke rumah saja dulu, jemput istri dan anakku. Setelah itu kita langsung bersiap ke bandara. Kita pulang!”. Perintahku sambil mengusap mukaku. Duhai, kaku sekali pikiranku. Mukaku terlihat kusut. Entahlah, stress karena mega proyek sekalipun tak pernah melebihi stress ku kali ini. PULANG! Cuma itu yang bisa menenangkanku sekarang.

.....................................................................................................

“Sayang, Ibu kenapa?”. Tanya istri tercintaku. Tangannya sibuk melipat-lipat baju dan memasukkan barang-barang lainnya.

“aku sendiri tak sanggup memikirkan kemungkinannya sayang. Begitu mendapatkan sms dari ayah saja aku sudah nyaris jantungan, bagaimana pula aku sanggup menanyakan apa sakitnya ibu kepada ayah?”. Suara ku tercekat serak, nyaris menyerupai orang yang menahan tangis. Ah sesak sekali dada ini, sungguh sesak sekali.

Istriku mengelus punggungku. Mencoba memberikan sedikit kekuatan dan menenangkan. Tuhan, sungguh nyaris tumpah air mataku kali ini. Berikan aku kesempatan untuk bertemu ibuku ya Tuhan, sungguh berilah aku kesempatan itu.

“PAPAAAAAA... Ryo pulang..” Lantang suara anakku menggema dari depan. Beberapa detik kemudian terdengar derap langkah berlari menghambur kearah kamarku.

“Kita ke tempat nenek ya Pah? Mang nenek kenapa?Oh ya tadi disekolahnya rameeeeee, Ibu gurunya baik. Tapi masih kalah jago bercerita dibanding nenek”. Celoteh anakku sambil sibuk berganti pakaian dengan pakaian yang telah disiapkan istriku untuknya.

“Gak kenapa-kenapa kok adek. Nenek sedang sakit aja, jadi kita jenguk nenek. Biar cepat sembuh neneknya” sahutku sambil melempar senyum. Senyum hambar sebenarnya, tapi setidaknya aku tak ingin menampakkan kekhawatiranku yang begitu besar kepada anakku yang masih sangat belia.

“Asiiikkk, ketemu nenek!! ketemu kakek!! main diladang lagi.. oh yah, ryo bawa gambar nenek dan kakek yah? Tadi ryo bikin di sekolah, pasti nenek nanti cepet sembuh kalo liat gambar ryo”. Sahut riang anakku.

“Iya bawa gih. Jangan ada yang ketinggalan ya dek.” ku rapihkan koperku, menyeretnya keluar dan menyerahkannya kepada sopir. Mengambil HP, Dompet, melupakan laptop kesayanganku (bah, bagaimana aku bisa mengerjakan tugas sedangkan ibuku sedang sakit keras??). Berkata dengan intonasi buru-buru kepada istri dan anakku.

“Ayo kita berangkat. Sudah tak ada yang ketinggalan kan?”

.....................................................................................................

Yang paling melekat erat di ingatanku ialah senyuman Ibu. Bagaimana senyuman itu selalu bisa menenangkan disaat aku tersuruk-suruk ketakutan sebelum tidur (gara-gara mendengarkan cerita hantu dari teman-temanku), bagaimana senyuman itu selalu teriring bahkan disaat aku bandel pulang dengan lumpur dinyaris seluruh bagian tubuhku, bagaimana senyuman itu selalu menyambutku kepulanganku. Senyuman itu.. Yah itulah yang benar-benar tak bisa kulupakan (tentunya dengan beragam hal lainnya yang tak mampu kusebutkan satu persatu)

Ibulah yang mengajariku untuk berani bermimpi. Mengajarkan arti pengorbanan sesungguhnya untukku. Dulu ibu ringan tangan saja menggadaikan perhiasan, harta lainnya bahkan cincin kawinnya pemberian ayah untuk membiayaiku.

Masih teringat jelas bagaimana aku menangis menginginkan seragam baru karena punyaku sudah terlihat kusam dan lusuh (iri hatiku waktu melihat anak-anak lainnya memiliki seragam mengkilap, serta hal-hal baru lainnya), mendekap erat membisikkan pinta untuk memiliki seragam sambil terisak di punggung ibuku yang langsung dibalas oleh ucapan “tunggulah permataku, besok ibu akan membelikan yang baru”.

Dan keesokannya benar saja satu stel seragam, bahkan sepatu dan tas yang baru sudah ada menyambutku sepulang sekolah. Membuatku melompat kegirangan dirumah. Berkali-kali mengucapkan terimakasih kepada ibu. Menunjukkan dengan bangga kepada ayah “Ayah, lihat.. bagus bukan??”.

Kegirangan yang bahkan membuatku tak bisa tidur malamnya. Tak sabar menunjukkannya kepada teman-temanku disekolah. Kurapatkan selimut mencoba memejamkan mata. Ah pagi kenapa lama sekali tiba ya tanyaku dimalam itu.

“Tak apa kau gadaikan kalungmu Bu??”. Sayup-sayup kudengar suara ayah dari bilik kamarnya.

“Tak apalah Yah. Tak tega hatiku mendengar rengekan Anakku itu. Lagian memang sudah waktunya dia memiliki seragam baru. Tak usah dipikirkan kalung itu, kalau sudah ada rejeki lebih nanti kita bisa beli lagi”. Lembut suara ibu menanggapi pertanyaan ayahku.

Saat itu, dimalam itu, yang kurasakan pipiku hangat. Ya aku menangis! Mataku basah. Malu kali diriku. Bodoh! Kegirangan setengah mati sampai-sampai tak kulihat lagi di leher Ibuku sudah tak ada lagi kalung itu. Tas itu, seragam itu, sepatu itu harus aku tebus oleh kalung yang selalu dipakai ibu? Kugigit bibirku, menahan tangis yang kurasakan semakin tak terbendungkan (tak mau aku tangisku terdengar ibu). Tuhan... Sungguh aku sayang Ibuku..

Keesokannya, sesudah mandi, aku dipakaikan seragam yang baru itu, entahlah girang itu seakan lenyap begitu saja. Diriku diam. Hening tak banyak celoteh seperti biasa. Sarapan dengan cepat. Dan sebelum berangkat ibuku menyandangkan tas baruku, memasangkan sepatu mengkilapku, merapihkan rambut dan menyelipkan sedikit uang ke sakuku. Tersenyum dan mencium kedua pipiku seperti biasa sebelum melepas kepergianku ke sekolah.

Ku putar badan melangkahkan kaki. Bergerak beberapa langkah kemudian berhenti. Mengepalkan kedua tangan terdiam sebentar kemudian berkata setengah berteriak....

“BU.. ABANG JANJI SUATU HARI NANTI AKAN ABANG GANTI KALUNGNYA IBU! YANG LEBIH MEWAH! YANG LEBIH MENGKILAP! YANG LEBIH......”

kata-kataku menggantung tak terteruskan, tangisku sudah tak mampu kubendung lagi (bodo mau dikatakan anak cengeng juga oleh teman-temanku nanti disekolah).

Kuayunkan kakiku secepatnya berlari meninggalkan pekarangan rumah (secepatnya pergi, tak mau aku ibu tau kalau aku menangis). Keberangkatan ku dipagi itu diiringi sahutan suara serak ibu “hati-hati abang jangan lari-lari....” (entahlah, kupikir ibu juga menangis diwaktu itu)

Yah ibu rela mengorbankan semua hal untukku. Ringan saja. Tak pernah senyum itu hilang walau aku tau saat aku naik jenjang ke SMA kembali beliau menggadaikan anting-anting dan gelangnya (dan akhirnya cincin kawin serta sertifikat rumah pun digadaikan saat aku naik jenjang kuliah). Tak henti pula rela bekerja membantu ayah. Demi apa? Demi memberikan hal-hal terbaik yang dirasa penting untuk kupunya.

Dan lihatlah aku sekarang? Menjadi seperti ini karena usaha ibu dan ayahku. Dan bahkan walau aku sudah menjadi seperti ini mereka tetap tak mau merepotkan aku, menolak halus pemberian-pemberianku, tak mau menempati rumah yang kubangun mewah untuk mereka, tak menyentuh kendaraan yang kubelikan diwaktu itu, bahkan tabungan yang kuberikan oleh mereka tak disentuh. Mereka merasa sudah cukup itu saja alasannya. Hidup dari hasil ladang, gaji kecil perangkat desa ditambah gaji guru TPA sudah cukup bagi mereka. Ah kadang aku bingung memaksanya (kadang pemberianku kutinggalkan begitu saja, perkara mau digunakan atau disimpan digudang pun terserah saja).

“Pah mah.. Udah mau turun kapal terbangnya. Ayo cepetan! Ryo dah kangen ma nenek, kakek juga..” tarik anakku sekaligus membuyarkan lamunan.

Kuusap sudut mataku yang basah. Melempar senyum dan berkata “Iya dek, ayo.. kita ketempat nenek dan kakek”

.....................................................................................................

Sampai di Bandara Fatmawati Bengkulu, kami masih harus menempuh 2 jam perjalanan darat untuk menuju desa kami. Desa Talang Panjang. Desa kecil kelahiranku. Yah mau bagaimana lagi, memang seperti itulah ibu dan ayahku. Tak mau menempati rumah ditengah kota yang relatif dekat dari semuanya, lebih asyik memilih menghabiskan masa tua di Desa saja.

Ku buka pintu mobil yang baru saja berhenti di depan rumah panggung nan asri, rumahku! Tempatku menghabiskan masa kanak-kanakku. Di halaman sudah ramai oleh tetangga dan banyak sanak saudara. Aku pun turun diiringi istriku (ryo sendiri sudah menghambur girang menaiki tangga rumah sambil berteriak memanggil kakek neneknya, mana peduli dia dengan yang lainnya).

Ku coba menghela nafas menguatkan hati. Menggenggam tangan istriku dan pelan menaiki tangga rumah setelah bersalaman dengan sanak saudara lainnya. Mencium takzim tangan ayah didepan pintu rumah sambil pelan bertanya “Yah,bagaimana keadaan ibu?”.

Kulihat mata dari sosok tangguh itu redup, jelas terlihat rona sedih menggantung disana, di pelupuk mata ayahku yang terlihat sedih (aku yakin ayah habis menangis). “Kau temuilah Ibumu dikamar, ingin sekali dia bertemu denganmu. Berbincang-bincanglah dengan ibumu..” serak sekali suara itu. Tampak sekali perpisahan itu sudah didepan mata bagi ayah.

“iya yah, Abang ke kamar Ibu dulu.....” Getar suaraku berkata.
.....................................................................................................

Aku duduk disisi ranjang ibuku yang tergolek lemah namun masih tetap saja tersenyum menyambut anaknya. Ryo dan istriku diujung yang lainnya (ryo yang biasanya selalu aktif pun menjadi diam melihat kondisi Ibu, walau tak tahu sakit apa, tampaknya dia paham bahwa kali ini neneknya sakit yang cukup parah).

“Kangen kali Ibu melihatmu abang.. kemana saja kau? Jarang kali menjenguk Ibu..” kata ibu memecah keheningan yang ada.

“Ada bu, lagi ada beberapa proyek besar abangnya. Jadi belum bisa datang kesini..” lemah aku jawab kata-kata ibu. Sambil tertunduk muka pula. Tak tega hatiku melihat ibu yang tercinta tergolek tak berdaya.

“Tambah sukses saja anak Ibu. Tapi.. Jangan kau lupakan anak istrimu. Jangan mentang-mentang kau sibuk kau telantarkan mereka itu. Berapa kali kau sempat bermain bersama ryo dalam seminggu? Berapa kali kau sempat bercengkrama bersama istrimu? Jangan sampai hanya soal harta kau telantarkan keluargamu...”. Lirih, suara itu terdengar lemah tak bertenaga.

Ku anggukkan kepalaku mengiyakan kata ibu. Istriku diujung sana sudah mengusap sudut matanya. Terharu. Dan ya aku sadar. Kesibukan ini sudah seringkali membuatku seakan lupa akan keluargaku.

“Abang, Ibu cuma ingin berpesan sedikit untukmu.. Kau kerja untuk siapa? Untuk kebahagiaan keluarga bukan? Tapi ingat harta mu itu tidak bsa memberikan kebahagiaan untuk keluargamu... Kau bisa membelikan rumah.. kau bisa membelikan mobil.. tapi kau tak bisa membeli cinta dan kepercyaan keluarga.. untuk apa kau menumpuk harta kalau akhirnya anakmu malah menjadi terasing darimu. Istrimu menjadi dingin karena kesibukanmu... Untuk apa rumah megah kalau kau tak pernah mengisinya? Untuk apa mobil mewah besar nan megah kalau isinya hanya kau tanpa ada ryo atau istrimu yang tercinta? Semuanya dingin kesepian... Jadi tolong ingat pesanku ya nak..ingat pesanku..” tersengal, ucapan ini seakan dikeluarkan dengan sepenuh tenaga yang tersisa.

Kugenggam tangan ibuku. Kuusap wajah beliau yang masih saja tersenyum untukku. Ah bahkan disaat ini pun beliau tak mau menunjukkan kepayahan kepada anaknya walau mata itu sudah terlihat meredup kehilangan cahaya.

“Ah anak Ibu sudah besar..sungguh sudah besar..terima kasih ya sayang ibu..Terima kasih Tuhan sudah memberikan kehidupan yang sangat menyenangkan... Sungguh hambamu ini berterima kasih kepada-Mu...” suara itu putus putus. Tersengal lirih, berbisik dan akhirnya terhenti...

Lihatlah... Mata ibu sudah tertutup. Seulas senyum bahagia terukir indah di wajahnya. Denyut nadinya sudah tak kurasakan lagi. Mataku sudah bercucuran airmata dari tadi. Tampaknya Ibu benar-benar menahan semuanya hanya untuk bertemu dengan anaknya. Berpesan sedikit dan bercerita untuk anaknya yang dulu bandel sekali ini.

Kukecup kening ibu yang kucintai, pelan membisikkan isak kata

“terimakasih ibu... sesungguhnya abanglah yang harus berterimakasih kepada Ibu...”

.....................................................................................................

Acara pemakaman pun dilaksanakan ditengah mega mendung. Para pengantar sudah beranjak pergi. Tinggallah aku, Ryo, istriku, serta ayah disini. Memandang gundukan tanah merah dengan penuh arti. Baru kali ini kusadari sepenuhnya walau hidup itu nyatanya sampai bertahun-tahun (atau malah berpuluh tahun) ternyata terasa singkat sekali. Perasaan baru kemarin sore aku mengucapkan Janji kalung itu kepada Ibu, dan sekarang Ibu sudah pergi meninggalkan ayah, aku, istriku serta cucu kesayangannya.

Ayah yang berjongkok didepan makam ibu berkata pelan.

“Ibu mu meninggalkan bungkusan kecil untukmu dilemarinya. Jangan sampai tak kau bawa. Itu hal terakhir yang beliau beri untukmu”

Ku sentuh pundak ayah. Tertunduk takzim pelan berkata “iya Yah.. ayo kita pulang ke rumah”.

.....................................................................................................

Kupandangi bungkusan titipan ibu yang ditaruh di tas plastik itu. Baru sekarang di dalam pesawat berani kusentuh, tak sampai hati aku menyentuhnya saat aku dirumah bersama ayah (ayah menolak ikut denganku, seperti ibu, ayah memilih untuk tetap tinggal didesa). Entah dengan alasan apa tak sanggup aku membukanya.

“Gak dibuka saja yah??” Pelan istriku berkata (takut membangunkan ryo yang terlelap karena kelelahan).

Akupun tersenyum. Hambar. Sesak itu kembali menjalar didada. Tangan-tangan ini pun terasa kaku. Kupaksa syaraf-syaraf tangan bergerak membuka lembaran dua bungkusan sederhana berbalut koran itu, membukanya.. Melihatnya.. dan tak tertahankan lagi tangis inipun tumpah menggenang begitu saja..

Lihatlah..

Lihat isi bungkusan ini.. .

Satu stel seragam baru... Tas punggung lengkap dengan peralatan didalamnya.. Bungkusan yang satu lagi berisi sepasang sepatu baru untuk anakku..

Tuhan..... bahkan diujung hidupnya Ibu masih saja menyisihkan hartanya untuk menyenangkan hati cucunya.

Teringat saat terakhir percakapan via telepon itu dilakukan. Bagaimana Ryo berceloteh riang berkata bahwa dia akan sekolah minggu depan kepada neneknya (dan semakin kegirangan setelah mendengar neneknya menjanjikan hadiah untuknya, hadiah untuknya yang sudah mulai bersekolah). Rupanya ini hadiah terakhir dari ibu.....

Deras air mataku tercurah tak tertahankan lagi.

Kelabatan kenangan lama itu kembali tercetak jelas di memori ini.

Membuatku pelan bergumam sambil terisak tak tertahankan...

“Selamat jalan Ibu.. terimakasih untuk semuanya.. Sungguh abang sayang Ibu.. selalu....” read more..

Related Posts by Categories



Comments (0)

Posting Komentar

Posting Komentar