Catatan (calon) Guru: chapter 1, Tantangan, ditantang, menantang..

0

Posted by median | Posted in

Kukira hari ini suasana sekolah akan seperti biasanya. Ditengah-tengah lumpur yang menggenang sana sini (karena hujan deras dari malam tadi) sekolah akan tetap berlangsung membosankan seperti sedia kala. Bagaimana tidak membosankan? Kami semua harus belajar dari buku lusuh fotokopian. Membayangkan peralatan praktek yang tak pernah kami pegang. Guru yang mengajar seakan tak pernah makan sarapan, loyo! Selalu terlihat loyo.

Kujejakkan kaki dengan hati-hati. Berjalan di sisi tebing nan licin seperti ini bisa kapiran kalau tak hati-hati. Salah-salah jatuh berdebam berguling-guling menuju jurang. Oi, ritual biasa yang harus aku tempuh menuju SMK ku demi menuntut ilmu.

“Ri, cepatlah! Matahari sudah mulai meninggi. Alamat kita dihukum lagi kalau telat begini”. Gema suara seseorang diujung sana.

“Sabar! Tak sabar sekali kau ini. Tak lihat kau jalan jelek ini. Lumpur merah plus balok-balok kayu bertebaran dimana-mana. Hujan sialan. Untung saja tak longsor, kalau longsor tambah susah saja jalan mau ke sekolah” Balasku.

Ya itulah rute yang harus kami tempuh, 3 kilo perjalanan demi sekolah di satu-satunya sekolah SMK yang ada di kampung kami. SMA atau SMK lainnya? Ada di kecamatan. Mana kesana harus menempuh 2 hari 3 malam perjalanan. Kampung ini terletak di salah satu lereng gunung. Listrik saja susah diadakan (harus pakai genset bertenaga air sungai itu juga). Jadi 5 kilo perjalanan masih jauh lebih baik bukan? Jadi sudah biasa. Sudah biasa saja semuanya.

..............................................................................................

“Buset..dah pagi lagi...”

Kukucek mataku. Berdiri perlahan meluruskan tulang dan merenggangkan sendi-sendiku. Perjalanan menuju ke sekolah ini sungguh menyiksa. 2 hari tiga malam, tidur di sisi hutan, seadanya, naik motor trail pula. Sudah kayak mau ke medan perang saja. Perjalanan dari ibukota, kecamatan, kemudian kampung ini benar-benar menguras tenaga.

Kubuka pintu belakang rumah reot ini. Rumah tembok tanpa pelitur beralaskan semen seadanya yang akan menjadi tempat tinggalku selama 6 bulan ini. Berjalan setengah terpejam menuju kamar mandi. Berhenti tepat didepannya dan membelalakkan mata tak percaya.

“Yaelah, kamar mandi setengah tiang gini?”. Celotehku melihat kamar mandi bertembok setengah badan ini.

Isinya? Ember bekas cat dua biji (kosong tanpa air tentunya), sumur timba plus gayung seadanya. Lah WC nya mana? Ku edarkan pandangan memperhatikan sekitar. Nah tuh dia diujung deket pohon. Kepisah. WC jongkok alakadarnya. Tiba-tiba entahlah, melihat itu semua sudah menghilangkan hasrat untuk mandi membersihkan diri (walau 2 hari 3 malam perjalanan blom kena air bersih sama sekali).

Kucuci mukaku, usap-usap badan pake handuk basah cukuplah pikirku. Mengenakan stelan kemeja lengan panjang, menggulung lengannya, menyemprotkan parfum (yang banyak). Tak lupa menyelipkan dompet plus rantainya (bodo mau dibilang guru preman juga). Dipikir-pikir ganjil juga rasanya berpakaian serapih ini. Ya sudahlah, mending aku menghadap kepala sekolah secepatnya.

..............................................................................................

“Oi Cing, benar ada guru baru datang kesekolah kita?” Kugaruk kepalaku sambil bertanya. Ganjil sekali perkara ini. Dari awal aku bersekolah sampai kelas tiga sekarang belum pernah kulihat guru lain yang mengajar disini. Mana ada yang mau mengajar di sekolah kampung seperti ini. Sudah jauh. Gaji kecil. Fasilitas seadanya. Tapi ini? Masih ada rupanya yang mau mengajar disini. Bingung aku dibuatnya.

“iya, tadi kulihat guru baru itu di ruang kepala sekolah. Laki-laki. Putih, wangi, berpakaian rapih. Sudah kayak orang kaya di jakarta saja”. Balas Arief “kucing” kawanku. Mulutnya tak henti mengunyah tempe goreng sarapannya.

“kau tau guru itu mengajar apa? Tinggal dimana guru itu? Kapan dia datang kesini?” rentet tanyaku saking penasarannya.

“Mengajar apa? Mana ku tau mengajar apa. Lihat saja nanti dia mau mengajar apa dikelas kita. Kudengar guru itu datang tadi malam. Sekarang dia tinggal di rumah diujung jalan dekat kelas kita”

“Rumah itu? Rumah itu kau bilang?”. Kuteguk ludah tak percaya. Alamak tak salah dengar kupingku.

Dan kawanku yang ditanya itu cuma mengangguk saja. Tak peduli walau dia sendiri ku yakin ngeri mengetahuinya. Guru itu tinggal disana? Rumah yang bahkan warga sinipun tak berani mendekatinya. Kira-kira seperti apa guru baru ini. Penasaran kali aku dibuatnya.

Teng... Teng.. Teng..

Lonceng tua itu akhirnya berbunyi juga. Telat lebih setengah jam dari jadwal yang seharusnya. Harusnya jadwal masuk itu setengah delapan. Tapi tampaknya urusan guru baru ini benar-benar menjadi perhatian sampai-sampai masuk pun telat dibuatnya. Kami sendiri senang-senang saja. Asyik kumpul bercerita diwarung mak ijah, warung satu-satunya yang ada di dekat sekolah. Kapan lagi coba? Pak Indra, Kepala sekolah kami itu benar-benar disiplin waktu orangnya.

“Cing, Ari, Cepat Masuk!! pelajaran akan segera dimulai.”. Teriak Guci, salah satu kawan sekelasku. Haeh, pelajaran nan membosankan akhirnya akan dimulai juga.

..............................................................................................

“Ini semua surat-surat yang sekiranya diperlukan pak. Ada surat pengantar dari diknas, ada surat pengantar dari kampus saya, dan berkas-berkas lain yang mungkin sekiranya diperlukan. Terus sekarang saya langsung mengajar ya pak?”. Tanyaku kepada sesosok orang yang berada didepanku. Perawakannya kecil, kepala setengah botak, berkulit gelap, berkumis besar melintang berpandangan gahar. Kalau tak ada tanda kecil dimejanya yang bertuliskan “Kepala Sekolah” plus seragam PNS-nya mungkin orang ini sudah ku anggap preman pasar saking sangarnya.

“Ya.. Kau mulai mengajar sekarang. Di kelas 3 otomotif diujung kiri sana. Masuklah, Pak Ridwan sedang tak mengajar menjaga istrinya yang hamil tua. Maaf bapak tak bisa mengantar kau berkeliling. Kau lihat-lihatlah keadaan sekolah ini, kenalan dengan guru-gurunya, jangan sungkan menggunakan apa yang ada disini. Bapak sebentar lagi mau pergi, ada undangan rapat desa. Jadi lagi tak bisa menemani”. Suaranya tegas. Kaku (Cocoklah dengan penampilan beliau pikirku). Diambilnya map berisi berkas-berkas yang kuserahkan. Diperhatikannya dengan seksama. Kemudian kembali berkata-kata.

“Oh, kau sampai tadi malam? Maaf bapak tak sempat menjemputmu ke kecamatan, mendadak sekali pemberitahuan dari orang-orang atas sana. Kau taulah untuk turun ke bawah saja harus menempuh perjalanan yang tak dekat jaraknya. Jadi tolonglah harap maklum. Kau boleh tinggal di rumah ujung sana. Itu sudah kami sewa untuk masa tugasmu 6 bulan ini. Kalau ada apa-apa jangan sungkan kau hubungi bapak ya”.

“iya pak, saya sampai tadi malam. Saya sendiri mohon maaf kalau merepotkan bapak dan staff guru lainnya. Kalau ada apa-apa saya pasti akan memberitahukan bapak” tegasku kepada Pak Indra.

Tiiiinnnnnn Tiiinnnnn......suara klakson menggema dari arah depan.

“Nah tuh dia jemputannya. Bapak berangkat dulu ya. Bapak pulang paling siang nanti.” Pak indra berdiri. Menepuk pundakku sedikit. Bergegas keluar menghampiri suara klakson tadi.

Akupun ikut berdiri, berjalan mengantarkan Pak indra kedepan (bersopan santun sedikit tak apalah, itu pesan dosen ku sebelum berangkat). Melewati ruangan guru yang sepi sekali (hanya ada dua orang staff TU) ke arah parkiran.

Diparkiran sudah ada satu motor bebek semi trail plus seseorang yang tak kukenal. Didekatnya kuperhatikan juga ada beberapa motor lagi terparkir rapih. Dua motor GL, beberapa motor bebek lainnya plus satu Honda C70 lawas yang menarik minatku.

“Bekjulnya bagus. Motor bapak?”. (Isengku kumat jadi kutanyakan saja). Kupegang stang bekjul itu dan baru ngeh kalau motor ini tak dikunci stangnya.

“iya motor bapak. Sudah ya, Bapak pergi dulu. Kau masuklah. Anak-anak sudah menunggu disana”. Sejurus kemudian mesin motor dihidupkan, memutar arah dan langsung berangkat meninggalkan aku (dan keisenganku yang sedang kumat akan bekjul ini). Haha, yah pecinta otomotif sejati susah melihat barang lawas. Di rumah saja aku mengkoleksi puluhan motor dan mobil tua.

Kuperhatikan semuanya. Buset ni motor orisinalan semua. Cuma kotor saja. Mesinnya? Kucoba menyelah engkolnya. Nah loh kok langsung hidup? Geleng-geleng kepala aku dibuatnya, gk dikunci stang, trus sekali engkol langsung nyala. Gak takut dicuri apa?

Kutinggalkan bekjul lawas itu. Tinggal kembali ke ruang guru sebentar, mengambil tas, langsung bergegas menuju kelas.

WAKTUNYA MENGAJAR.....!

..............................................................................................

Inilah aku didepan kelas. Meletakkan Tas, membacakan buku absen dan bengong sejenak melihat isi kelas. Papan tulis biasa. meja, kursi, tak ada pajangan sama sekali. Sebenarnya tak ada yang ganjil untuk urusan peralatan dan perlengkapan kelas. Yang membuat aku bengong ialah MURID-nya. Sekilas memperhatikan tak ada tampang polos disini, semuanya bertampang kaku, keras (tampaknya kehidupan benar-benar menempa mereka sedemikian rupa), cuek, bahkan ada yang terlihat terkantuk-kantuk dipojokan sana.

“assalamualaikum...” Sapa pembukaku (dipikir-pikir, jarang sekali aku mengucapkan salam seperti ini kalau dikota).

“waalaikumsalam pak...” koor menggema menjawab salamku.

Kududuki meja guru (ah stelan santai saja, malas juga aku duduk manis di kursi guru saja). Mengedarkan pandangan memperhatikan satu persatu raut muka murid-murid 6 bulanku. Kelas ini kecil berisikan 20 orang murid (kurang dua yang tak masuk).

“Perkenalkan nama Bapak, Dian, Dian Swarna Dipa. Asli Jakarta dan sya akan menjadi guru kalian untuk 6 bulan kedepannya”.

Muka-muka cuek itu sedikit banyak mulai memperhatikanku. Yang terkantuk mulai mengusap-usap mukanyua. Yang sibuk bercanda mulai mengurangi aktivitasnya. Semuanya mulai fokus menatapku (Hooo, jadi ini rasanya jadi guru. Menjadi pusat perhatian dan pusat ilmu. Menarik. Sangat menarik).

“Bapak berkuliah di jurusan permesinan. Bertugas disini dalam rangka program Diknas pusat. Jadi bapak enam bulan kedepan akan fokus membagikan ilmu permesinan kepada kalian. Baik teori maupun prakteknya. Kalau ada yang ak...........”

“Pak.....” Satu tangan terangkat memotong pembicaraanku.

“yok, ada apa?”(kesel juga sebenarnya, belom apa-apa sudah ada yang seenaknya memotong pembicaraan)

“Kalau bapak lihat workshop (bengkel praktek) sekolah ini nyaris tak berisi apa-apa. Peralatan pun cuma itu-itu saja. Jadi bapak mau mengajar praktek apa? Praktek menulis?” Pungkas murid tadi yang mengacungkan tangannya. Berambut cepak berbadan kekar, santai saja murid yang satu ini berkata dengan sinisnya.

“hooooo, kamu mau praktek?” Tanyaku.

Anggukan malas menyambut pertanyaanku. Jelas sekali murid ini tak mengharap banyak akan kedatanganku.

Kusunggingkan senyum. Nyaris tertawa malah. Bujang, aku datang jauh-jauh kesini bukan cuma bermodal keberanian. Sedikit banyak sudah kupersiapkan semuanya. Akupun berdiri, menekankan jari-jariku ke bangku murid, menarik nafas panjang dan berkata dengan intonasi lantang.

“Bapak mau tanya lagi. SIAPA SAJA YANG MAU PRAKTEK??NGACUNG!!!”.

Dan lihat. Lihatlah semua mata itu sekarang sempurna mengarah kepadaku. Lengkap dengan tangan yang terangkat. Tak ada lagi mata yang mengantuk. Tak ada lagi yang sibuk bermain. Umpan tantangan itu sempurna menarik perhatian mereka.

“Kamu yang bertanya tadi. Pergi ke ruang guru. Ada Kardus disana. Kamu ambil, bawa ke workshop. Yang lain bawa tas kalian, kita ke workshop sekarang! Praktek akan segera dimulai!”

Sedetik kemudian anak-anak ini sudah berlarian keluar kelas. Ada yang terjatuh pula(lah jelas-jelas licin bekas hujan semalam).

Dan aku hanya tertawa kecil melihatnya, berkata pelan

“sabar, sabar. Gak bakal lari workshopnya juga..”

..............................................................................................

Semua sudah berkumpul. Duduk mengelilingku dengan rapih. Muka-muka antusias yang menyenangkan.

“Ini pak Kardusnya”. Sorong murid yang kusuruh tadi. Sedikit banyak kulihat caranya berbicara dan memandangku sudah mulai berubah. Menjadi lebih menurut.

“Terimakasih...mmmmh, siapa namamu tadi? Bapak lupa padahal baru tadi mengabsen kalian semua”

“Agung Pak.. Nama saya Agung”. Selesai menjawab agung pun bergabung dengan yang lainnya.

Kubuka penutup kardus ini, mengeluarkan isinya. Dua tas peralatan perbengkelan. full set. “peralatan tempurku”. Hobi balap, kuliah Teknik Mesin, orang tua yang super berkecukupan, sebenarnya wajar saja kalau aku memiliki semua ini.

Tapi berbeda dengan murid-muridku. Mata-mata itu membulat melihat beragam peralatan baru itu. Berbisik. Saling sikut. Jelas sekali tertarik oleh peralatan itu.

“Tenang.. semua akan pake alat-alat ini. Jadi santai saja”. Sahutku menenangkan keadaan.

Kususun alat-alat berjejer disamping tempatku. Memancing antusiasme itu semakin meninggi. Bukankah guru itu harus seperti itu? Harus tau saatnya untuk menaikkan antusiasme, harus tau caranya untuk membangkitkan semangat, demi kemajuan dan perkembangan murid-muridnya. Ya ini semua kupelajari langsung dari “master”nya.

“Semuanya sudah tau kan prosedur Tune Up standar? Masa kelas tiga belum dapet materi Tune Up motor standar? Sudah hapal kan runtut prosedurnya?” Tanyaku.

“Sudah Pak..”. Kompak semuanya menjawab. Jelas sekali tak sabaran.

“Oke, kalau begitu hari ini kita tune up motor. Kita bagi empat tim bergant....” dan lagi-lagi belum sempat kuselesaikan kata-kataku, agung sudah mengacungkan lagi tangannya. Kembali bertanya.

“Pak.. Motornya mana? Disekolah ini tak ada mesin motor untuk praktek”.

Kukerenyitkan keningku. Tak ada? Masa iya separah itu. Kalau alat tak lengkap wajar saja, banyak sekolah bahkan didaerah jawa pun begitu adanya. Tapi mesin praktek gak ada? Masa iya? Jadi selama ini nih anak-anak praktek apa? Nulis? (apa ini penjelasan kenapa agung bisa berkata sesinis itu)

“bener-bener tak ada? Masa?”

“ada pak sebenarnya. Tapi mesin gelondongan. Gak bisa nyala pula. Selama ini cuma dipakai praktek untuk bongkar dan pengenalan mesin saja” terang agung kepadaku.

Halah, gawat juga. Kupikirkan semua opsi yang ada, tak mungkin juga kutarik kata-kataku untuk praktek di hari ini. Apalagi anak-anak sudah seantusias ini. Sampai pemikiran itu tiba. Ah bodo dengan resikonya, yang penting praktek!

“Gung.. kamu jaga kelas sebentar. Ada yang harus bapak ambil! Anak-anak yang lain langsung bagi kelompok. Per kelompok 5 orang dan ingat alat-alat jangan dulu diapa-apakan. Paham?” tanyaku yang langsung dijawab oleh anggukan.

Akupun keluar. Mengambil satu “hal” yang tadi terlintas dipikiran. Ya kadang mengambil resiko perlu juga sekali-sekali.

..............................................................................................

“anak-anak. Grup satu dan dua pengenalan alat. Bapak mau grup satu dan dua mencatat semua nama peralatan yang bapak bawa lengkap dengan kegunaannya. Kelompok tiga silahkan menonton video tentang tune up otomotif. Semuanya melaksanakan sesuai dengan yang bapak arahkan!! nanti bergantian semua akan mendapat giliran” Kukeluarkan laptopku. Menghidupkannya dan menyetel videonya (untung baterenya masih penuh).

“Kelompok empat kesini”

Agung, dan empat orang lainnya mendekatiku. Jelas sekali raut muka cemas tergambar dimuka mereka, kontras dengan grup lain yang sudah riuh asyik melaksanakan tugasnya.

“kelompok empat langsung praktek Tune Up motor”. Ke jejerkan satu tas peralatan lengkap didekatku. Mempersiapkan semuanya.

“Tapi... Tapi Pak.. Kita masa pakai motor ini?”. Pungkas salah seorang murid.

Motor ini? Ya motor ini. Satu motor bekjul yang awalnya terparkir rapih diparkiran depan tadi. Satu motor bekjul lawas milik Pak Indra lah yang sekarang kujadikan “korban” praktek kali ini. Wajar saja anak-anak ini cemas, motor kepsek yang bertampang galak itu dipake praktek? (Agung yang sinis dan cuek itu bahkan jelas memperlihatkan muka tak percaya).

Saat keluar tadi ku pergunakan untuk “meminjam” motor ini. Tak ada kunci stang, tak perlu konci kontak untuk menghidupkan menjadikannya sangat cocok dijadikan motor untuk praktek. Lupakan dulu urusan izin, lah Pak Indra-nya lagi pergi. Lagian bukankah tadi beliau bilang untuk “jangan sungkan menggunakan apa yang ada disini” Jadi ku bawa saja kesini. Simpel (maaf ya pak, motornya tak pinjem dulu).

.”halah, kalian cowok bukan?”

“Ya cowo pak!!” sahut mereka.

“Jadi kenapa gak berani? Bukankah tadi kalian semua bilang ingin praktek? Lagian bapak juga sudah dapat izin khusus dari Pak Indra. Urusan kalian sekarang praktek. Urusan lainnya? Percayakan sama bapak! Paham?” Ya lagi-lagi, “tantangan” khusus (plus bohong sedikit) untuk membangkitkan keberanian dan antusias anak-anak. Tantangan yang menjadikan muka-muka cemas itu menjadi tenang dan bersemangat kembali.

Kusodorkan selembar kertas plus pulpen ke agung.

“sekarang kalian semua tulis nama kalian dikertas ini. Sesudah itu mulai prosedur tune up standar. Ingat hati-hati. Kalau ada yang tidak mengerti jangan asal bongkar, tanya dulu ke bapak. Dan agung kau jaga semuanya jangan sampai ada yang salah” Ujarku yang disambut anggukan mantap agung dan keempat murid lainnya.

Haha, tampaknya aku mulai menyukai peran baru ku ini.

..............................................................................................

Lima menit. Sepuluh menit. Setengah jam lebih pun berlalu tanpa kusadari. Dipojokan kanan, grup satu dan dua antusias sekali mencatat peralatan dan fungsinya, memegangnya (plus bermain pura-pura menggunakannya), bahkan ada beberapa orang murid yang asyik menggambar juga. Tampaknya peralatan yang aku bawa itu benar-benar berhasil menghipnotis perhatian mereka.

Dipojok kiri, grup tiga sedang terpukau melihat video tune up standar, video biasa sebenarnya. Kukombinasikan sedikit dengan beberapa info baru tentang teknologi terbaru di bidang otomotif dan permesinan. Tapi tampaknya anak-anak ini sangat menyukainya (satu dua kali malah terdengar celoteh kagum dan komentar-komentar lainnya).

Grup empat? Hoho, lancar sekali melakukan seluruh prosedur tune up standar. Agung mengatur dengan baik pembagian pekerjaan. Ternyata walau terlihat nakal, ceplas ceplos asal ngomong, agung sangat bisa diandalkan. Mungkin pembawaannya saja yang begitu. Ku baca kertas absen grup empat. Agung, Ari, Arif, Sigit dan Guci. Anak-anak menarik. Kita lihat saja enam bulan kedepan hal apa lagi yang akan terjadi.

“Pak...” Agung tiba-tiba sudah berdiri didepanku.

“yok? Kenapa gung?”

“Semua sudah beres. Tinggal dicek sama bapak.”

Sebenarnya aku nyaris mau tertawa. Melihat raut muka agung yang kaku itu (apa masih cemas takut kena marah pak indra y?). Tambah lagi mendengar caranya melapor. Kok berasa kayak sedang upacara bendera ya?

Kuhampiri bekjul korban praktek ini. Ari, Arif, Guci, dan Sigit duduk mengelilinginya. Kuperhatikan blok mesin. Tak ada yang rembes (bagus juga mengingat mereka baru pertama kalinya praktek resmi). Rantai kencang. Yang lain-lainnya juga baik-baik saja. Kuselah enkolnya. Hidup ternyata! (Hebat juga ni anak-anak)..

Oke, saatnya mengevaluasi pikirku. Hal yang dulu sering beliau lakukan dan sekarang akan aku tiru. Ku isyaratkan mereka semua untuk duduk melingkar mendekat kearahku. .

“Sebelumnya bapak mau memberi tahu kalian bahwa bapak datang kesini untuk berbagi sedikit ilmu. Kalau ada yang ingin kalian tanya, jangan sungkan bertanya. Gak ada yang bakalan marah. Jangan sungkan pula untuk main ke rumah bapak. Untuk enam bulan kedepannya saya akan menjadi guru kalian. Jadi mohon bantuannya ya.” selorohku (menyambung perkenalan tadi dikelas yang terpotong gara-gara agung tadi)

Kuperhatikan muka-muka mereka. Agung yang awalnya tak acuh sudah sempurna mengubah sikapnya. Terlihat hormat sekarang. Arif yang kusadari sebagai murid yang terkantuk-kantuk dipojokan kelas sudah bersemangat raut mukanya, begitupun dengan Ari, Sigit dan Guci. Raut muka cerah. Tampaknya “penampilan perdana” ku sebagai guru berjalan dengan sukses.

Kusunggingkan satu senyum, berkata dengan nada setengah berbisik ke arah mereka.

“Mau tau satu hal lagi?”

“apa pak?” tanya agung.

“motor ini bapak pinjem tanpa izin langsung sebenarnya...” aku sengaja menggantung kata mendramatisir suasana. Memperhatikan bagaimana rasa cemas itu kembali hinggap di raut muka mereka.

“Dengan kata lain motor ini bapak asal bawa saja. Tapi jangan khawatir, bapak akan bicara langsung nanti dengan pak indra. Kalian tidak akan kenapa-kenapa. Percaya sama bapak. yang ingin bapak tegaskan disini ialah, jangan ragu untuk mengambil resiko untuk hal yang lebih baik. Jangan pula menunda kesempatan. Kalian tadi ingin praktek bukan? Kalau bapak menunda-nunda dan minta izin dulu bisa-bisa baru esok lusa kalian praktek. Itu juga kalau diberi izin. Kalau tidak? Seperti yang kau bilang tadi kan gung, sampe sekarang kalian tidak akan pernah praktek bukan?”. Kulihat agung dan yang lainnya mengangguk. Yah semoga saja yang kusampaikan ini akan masuk kedalam pemikiran mereka.

“itu saja yang ingin bapak sampaikan... Oh ya, kerja yang bagus! Rapih. Kalian semua memang calon-calon mekanik handal! Sekarang rapihkan bekas prakteknya, buat laporan langkah-langkah praktek tadi. Dan jangan lupa kembalikan motor pak Indra keparkiran”. Kataku sambil melepas senyuman. Menyenangkan. Melihat bagaimana muka-muka ini buncah mengembang oleh rasa senang (haha, agung bahkan sudah tersenyum lebar).

Yak misi mengajar di hari pertama lancar. Melihat anak-anak ini se-antusias ini ternyata sangatlah menyenangkan (pantasan saja beliau begitu menyenangi dunia mengajar). Kira-kira hari kedepannya akan bagaimana ya? Ah bodo.. Liat nantilah. yang penting sekarang nikmati saja raut muka mereka yang ceria.... read more..

life is such a mystery...

0

Posted by median | Posted in

Bayangkan kamu punya kemampuan untuk tau apa yang orang pikirkan. terutama pikiran-pikiran dari orang-orang yang kamu kenal. Teman, kenalan, ataupun malah sang pacar. Hal-hal mengenai apa yang mereka takutkan. Apa yang mereka inginkan. Apakah mereka grogi, sedang cemas, sedang bingung atau apapun yang sedang mereka alami saat itu, detik itu, hari itu. Tau tanpa mereka mendengar sepatah kata pun dari pengakuan mulut mereka. Cukup tau hanya dengan melihat mukanya dan merasakan getaran-getaran yang disampaikan oleh tubuhnya.

Imajinasikan pula kamu punya kemampuan untuk tau alasan sesungguhnya dari apa yang orang lakukan. Alasan? Yah semisal alasan sesungguhnya kenapa dia datang terlambat, berkata dengan suara pelan dan mata yang sedikit redup. Bermuka biasa saja mengaku tidak punya salah (bohong besar bahkan kamu tau alasan dan perbuatan mereka yang sebenarnya berdosa). Atau alasan kenapa seseorang menyapa mu, kenapa mereka berbuat baik kepadamu, bahkan alasan kenapa orang itu tidak mau menyapamu.

Lagi-lagi coba posisikan kamu memiliki kemampuan untuk memprediksikan kejadian. Menganalisa dua puluh kemungkinan peristiwa yang akan terjadi kemudian (dengan persentasenya masing-masing) hanya dengan satu tindakan yang orang itu lakukan. Mampu dengan entengnya melihat rantai cabang sebab akibat dari satu perbuatan atau bahkan dari satu perkataan seseorang.

Terakhir kali, gabungkan semua kemampuan itu dan kamu mendapatkan satu kemampuan plus untuk mengubah pendirian orang. Ya mengubah pendirian sesorang dengan cara mengetahui pemikiran mereka, mengetahui pula alasan sebenarnya mereka melakukan sesuatu hal, dan bahkan secara menakjubkan kamu mampu memberikan gambaran peristiwa yang akan mereka alami.

Menceritakannya dengan raut muka datar sambil memakan cemilan (seakan itu hal biasa, teramat biasa malah). Mengubah pendiriannya dengan mengatakan “inilah alasan kenapa engkau begitu teman, berawal dari pemikiran ini, dan kamu akan menghadapi hal ini nantinya”. Runtut rantai alasan itu plus resiko yang akan dihadapi mereka akhirnya mampu membujuknya untuk menerima, mengubah pendirian YA menjadi TIDAK dari otaknya (bagaimana tidak berubah, mereka sndiri merasa jeri bagaimana ada yang tau dan mengatakan hal ini dengan sebegitu gamblangnya??).

Bagaimana menurut kalian? Apakah menyenangkan? Menyenangkan untuk mempunyai kemampuan seakan diri ini adalah seorang paranormal. Mengetahui semua runtut kemungkinan peristiwa yang akan kamu dapatkan. Menganggap semua hal biasa karena toh itu sudah kamu perkirakan. Bisa mempersiapkan diri untuk yang terburuk dan juga bisa menerima semuanya (toh kamu sudah tau itu tidaklah terelakkan walau sudah mengelak mati2an, jadi daripada sibuk menyalahkan ya mendingan terima ikhlas saja bukan?).

Yahhh, jujur saja itu untuk beberapa hal menyenangkan. Bagaimana tidak menyenangkan bukankah itu yang sering kali kita tanyakan. Pertanyaan semacam “kira-kira apa yah yang dia pikirkan, mengapa dia diam, mengapa pula dia begitu keras kepala (apa sya bisa mengubahnya???)”. Itu bukan yang sering kita inginkan? Yang ingin kita ketahui, yang ingin kita bongkar dari satu “brankas” besar yang orang-orang beri nama MISTERI, yang laris ditulis dan dibeli dengan judul-judul semacam “bagaimana cara mengetahui apa yang pasangan anda inginkan” dan judul-judul ngaco lainnya (yah walaupun ngaco tetapi laris juga ternyata, best seller malah).

Tapi diantara seluruh kesenangan itu ada banyak ketidaknyamanannya. Ya memang menyenangkan mengetahui pikiran dan alasan sebenarnya dari perbuatan seseorang, tapi tidak nyaman untuk mengetahui bahwa sesungguhnya tidak ada orang yang benar-benar tulus berbuat dan berkata untuk kita. Selalu ada alasan tersembunyi dari perhatian-perhatian orang itu. Selalu ada makna lebih yang tersimpan didalam hati dari setiap perkataan teman itu. Dan akhirnya jadi mengetahui bahwa sesungguhnya tidak ada yang mutlak bia dipercayai. Hanya diri sendiri! Sepi! Tanpa orang yang bisa dipercyai..

Dan satu hal yang sebenarnya benar-benar membuat tidak nyaman karena hidup itu menjadi flat. Biasa. Jenuh intinya. Kemana elemen KEJUTAN dalam hal hubungan dengan orang-orang? Kita sudah mengetahui dan bisa memprediksi kapan pasangan kita akan “menghilang”, bersikap mesra, atau kapan dia akan memberikan hadiah. Atau mengetahui kapan teman kita akan mengkhianati, karena apa, mengapa, dan lain sebagainya.

Kehilangan surprise hidup itu bakal membuat kita merasa harus terus mencari kegiatan baru, bertemu dengan orang-orang baru, mengenal mereka kembali (walau ujung-ujungnya kembali mampu menebak apa yang mereka pikirkan, alasan mereka, tindakan yang akan mereka lakukan). Dan itu terus dilakukan untuk apa? Cuma untuk menutupi hal yang disebut kesepian. Mencoba terus mencari kira-kira adakah orang yang tidak bermaksud lebih. Memaksa kita untuk lebih melihat inti dari yang ingin kita capai, berupaya tidak menghiraukan alasan-alasan yang kta dengarkan, berusaha tidak mempedulikan kemungkinan-kemungkinan yang kita lihat dan akan didapatkan, berusaha untuk mengosongkan pikiran tiap hari. Untuk tidak memikirkan (atau mencoba tidak mau tahu) apa-apa lagi.

And believe me my friend, that is not easy. Tidaklah menyenangkan. Tidaklah seindah yang dibayangkan. Jadi berhentilah untuk mencoba “mengulik” brankas besar misteri itu. Karena seperti apa yang dikatakan oleh orang-orang tua dahulu, hidup itu justru indah karena ada misteri yang tak sepatutnya diketahui oleh kita... enjoy ur life well then :) nite.... read more..

dan aku bertanya akan alasan dan arti kehidupan....

0

Posted by median | Posted in

Aku bingung dengan pertanyaan yang menyangkut dengan alasan dan arti hidup ini. Alasan apa aku hidup? Terlahirkan kedunia, kecil, tumbuh berkembang, dewasa dan malah sekarang meringkuk bermasalah di pojok kamar. Alasan apa aku melakukan sesuatu dalam hidup? Berbuat baik memberikan uang receh pada nenek pengemis didepan pertokoan itu. Atau malah berbuat jahat memukul bapak-bapak sok jago dikompleks rumah sana. Alasan apa pula yang membuat aku bertahan dalam hidup? Memutuskan untuk tetap menghirup udara dan bukannya melakukan beragam hal untuk menghabisi nyawa nan ringkih ini.

Yah alasan. Semuanya memiliki alasan. Demi arti hidup nan sebentar ini. Tapi apa? Bagaimana aku tahu itu alasan yang paling benar sehingga akhirnya aku bisa bangga berkata aku memiliki arti. Semua yang aku lakukan. Semua yang aku bicarakan. Untuk apa? Apa alasannya? Dan pertanyaan alasan dan arti itu malam ini begitu menyiksa. Berubah tajam. Menusuk hati, pikiran, mengiris logika yang ada dan tersisa.

DAMN, kepala seakan mau pecah. Belum lagi semua masalah yang ada. Sampai akhirnya ide gila itu datang. Membuatku memutuskan mengambil satu botol kecil di lemari ini, memegangnya, menyunggingkan satu senyuman getir, langsung menenggak habis semua obat yang ada didalamnya. Mampus!!! biar mati sekalian!!

Pusing...
dadaku terasa panas...
isi perutku bergejolak seakan badai..
hoeeeeeeek!!! tak tertahankan lagi ku muntahkan semua isi perut ini.

Aku jatuh. Terkulai karena dunia yang seakan diputar oleh_Nya. Tanganku bergetar kuat. Kepalaku terasa sakit tak tertahankan. Dingin... Apa aku akan mati? Apa kematian mampu menghilangkan pertanyaan akan arti hidupku? Aku rasakan mulutku berbusa dan aku melihat satu cahaya, apa itu gerbang dunia sana??? ah biarlah. Aku sudah tidak kuat oleh semuanya. Biarlah kali ini aku mati, tak harus memikirkan apa-apa lagi. Dan semuanya menjadi gelap......

Hening....
kenapa tidak terdengar suara apa-apa lagi? Bukankah tadi aku menyetel musik sekerasnya?
Pelan ku buka mata.
Silau...
Perih..

Dimana ini? Ruangan ini besar sekali dan semuanya terlihat putih. Kucoba gerakkan kepala ku, merasakan tenaga di ujung-ujung jari tangan dan kakiku. Hei, aku merasa sangat sehat. Bagaimana bisa? Aku mencoba berdiri, pelan tapi pasti. Merasakan semua syarafku berfungsi. Mengedarkan pandangan, mengamati, berfikir dengan keras “tempat apa ini?”

“HALOOOOOO????”
“apa ada orang?”
“..........................................”

hening tak ada jawaban. Teriakanku hanya seperti angin lalu disini. Aku berlari kesana-kemari, tapi tak ada apa-apa. Bahkan aku tidak menemukan ujung dari tempat ini, seakan aku berlari ditempat saja. Gila! Tempat apa ini?

“Leon...” mendadak ada suara dibelakangku.

spontan aku menoleh. Melihat satu sosok pria sedang tersenyum ramah, mmmh umurnya berkisar 50an. Masih terlihat gagah walau rambutnya sudah putih beruban. Berpakaian kemeja putih bercelana panjang putih. Rapi sekali seperti konglomerat-konglomerat tua pemilik usaha di dunia ini. Jujur saja, walau dia tidak terlihat seram sama sekali tapi aku merasa takut. Takut akan satu kemungkinan. Apakah dia setan? Atau malah malaikat yang akan menghukumku? Bukankah tadi aku masih ingat dengan jelas usaha yang kulakukan untuk mengakhiri nyawa ku.

“tenang Leon (bagaimana bapak ini bisa tahu namaku??). aku bukan setan, bukan juga malaikat yang kau takutkan”. Pelan bertenaga sosok itu menghembuskan suara menenangkannya .

“aku hanyalah seorang pembawa pesan. Seseorang yang di amanahi tugas untuk memberi tahukan sedikit jawaban akan pertanyaan-pertanyaanmu”. Bagaikan seorang pembawa acara yang baik bapak itu berkata sambil menangkupkan tangan di depan dadanya.

“oleh siapa?? siapa yang memberikan tugas itu” tanyaku, gemetar juga akan kemungkinan lain. Bagaimana bisa bapak-bapak ini tahu pikiranku. Tahu namaku. Belum lagi mengingat bagaimana bapak-bapak ini bisa hadir begitu saja padahal tadi jelas-jelas tak ada siapa-siapa.

“siapa yang menugaskanku kamu tidaklah perlu tahu hal itu, tapi karena apa aku ditugaskan untukmu kamu akan tahu akan hal itu”

“Mari leon... akan ku tunjukkan sedikit jawaban akan pertanyaanmu. Akan alasan dan arti hidup yang menyiksamu setiap hari”

digenggamnya tanganku dan tiba-tiba aku tersedot kesuatu tempat, berpilin, berkilauan dan tanpa aku sadari aku sudah berada di suatu ruangan besar. Tak ada apa-apa disini. Cuma ada semacam layar besar saja. Kira-kira ruangan apa ini?

“di ruangan ini kamu akan melihat kembali segala peristiwa yang telah kamu lakukan” lagi-lagi bapak ini membaca pikiranku.

“dari awal kelahiran kamu akan menyaksikan semuanya. Saksikanlah. Setelahnya akan kujelaskan alasan-alasannya”

Bzzzzzzt.... dan layar tersebut berpendar bercahaya. Memperlihatkan beragam peristiwa. Aku melihat bagaimana aku dilahirkan dengan susah payah. Sungsang pula. Merinding badanku mendengar tangis pertamaku dibarengi oleh tangis bahagia ibu dan senyum bahagia ayahku. Melihat bagaimana aku tumbuh berkembang dan tertawa saat melihat aku pertama kali memanggil nama ibu. Tersenyum saat melihat aku pertama kali masuk Sekolah. Merah muka diperlihatkan saat pertama kali aku mencium malu seorang wanita.

Yaaaah. Semua peristiwa. Detail-detailnya. Bahkan semua bohong-bohong yang kulakukan pun diperlihatkannya. Semua kebejatan yang kulakukan. Semua kemunafikan. Malu, marah, dan yang lainnya. Semuanya... tak terluputkan satupun. Semua permasalahan yang melilitku. Bagaimana pekerjaan-pekerjaan itu membuatku jenuh. Bagaimana semua orang mulai meninggalkanku. Bagaimana semua rutinitas itu mematikan rasaku. Dan beragam hal lainnya. Sampai akhirnya aku merasa lelah, bertanya akan alasan, bertanya akan arti hidup dan akhirnya memutuskan untuk menghilangkan semua rasa dan nyawa yang ada. Aku tersenyum getir saat melihat tubuhku sendiri yang tergeletak lemas (entahlah apakah masih bernyawa atau tidak). Mulut berbusa. Terkulai seakan pohon tua yang meranggas di musim kemarau yang sangat lama. Apakah ini yang aku inginkan???

“sejujurnya, bukan itu yang kamu inginkan. Kamu hanya ingin jawaban bukan? Tentang artimu, arti ragamu, arti semua perbuatan dan perkataanmu. Alasan sehingga engkau mampu berkata aku pantas untuk terus hidup”. Bapak tua ini akhirnya berkata setelah layar itu mati dan tidak lagi memperlihatkan apa-apa.

“layar ini hanya bertujuan untuk mengingatkan kembali akan hidupmu sendiri. Detail-detailnya. Bagaimana kamu tumbuh menjadi dewasa. Menemukan beragam masalah dalam hidup, terbelit didalamnya membuat kamu bertanya. Bagaimana bisa? Mengapa? Kenapa? Dan beragam pertanyaan lainnya. Tapi kamu malah menjadi terlalu banyak bertanya dan akhirnya tidak bergerak, frustrasi sendiri, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri tanpa mau berusaha lagi mencari alasan dan arti hidup ini”

aku terdiam. Apakah ini ceramah baru lagi? Seperti yang sering aku dengar dari ustad-ustad sok tau di acara pagi hari? Bah, bahkan saat mau mati pun apa aku harus diceramahi lagi?

“haha, anak muda. Ini bukanlah ceramah (damn, aku benci dengan fakta bahwa bapak tua ini bisa membaca pikiranku). Kamu bertanya akan alasan bukan? Mengapa kamu hidup? Apakah semua yang kamu lakukan dalam hidup berguna? Apakah hidup kamu ada artinya untuk dilanjutkan atau tidak. Itu kan?”

“leon, tau kah kamu kalau kehidupanmu saja sudah jadi alasan bagi orang lain. Kau lihat layar itu tadi. Kau ingat bagaimana kelahiranmu? Hadirmu sendiri adalah arti! Kelahiranmu saja sudah memberikan arti lebih untuk ibu dan ayahmu. Ibu dan ayahmu yang mati-matian membesarkanmu. Kalau kau perhatikan detail kehidupanmu kau pasti sadar kalau hidupmu memberikan alasan dan arti bagi orang-orang disekitarmu, memberikan beragam rupa, beragam warna. Baik dan buruknya”

“baiklah aku akan berikan satu contoh saja. Kalau kau lihat detail hidupmu tadi pasti kau ingat 4 tahun lalu, saat kau menjadi tutor bahasa di sekolah dasar sana bukan? Apa kau tahu ada anak perempuan kecil dipojokan sana yang begitu terpesona dengan cerita-ceritamu. Memutuskan untuk menjadi seperti ceritamu saat dia besar nanti. Bahkan menulis besar-besar di buku nya bahwa dia sangat berterima kasih akan cerita-ceritamu diwaktu itu.. Kau tidak tahu itu bukan?

Dahi ku mengerenyit. Benarkah hal itu? Bukankah aku cuma menjadi tutor sekali di sekolah dasar itu. Masa iya ada yang begitu terpengaruh akan ceritaku? Lagian contoh macam apa ini? Apakah kejadian ini begitu penting?

“ya hal itu benar adanya leon. Contoh itu adalah alasan mengapa aku datang sekarang”. Lagi-lagi bapak tua itu menimpali.

“contoh ini memang kejadian kecil, kau jadi tutor pun hanya sekali. Tapi contoh kecil ini menciptakan rantai ke peristiwa lainnya. Perbuatan sederhana mu hari itu memberikan semangat untuk anak kecil itu. Anak kecil itu hanyalah anak kecil biasa dari orang tua yang kurang mampu. Telat bayar spp berbulan-bulan itu biasa bagi nya. Telat makan apa lagi. Biasa sekali. Bagaimana bisa pendapatan orang tua nya yang hanya 20 ribu itu mencukupi 5 anaknya plus sekolahnya? Kekurangan adalah makanan sehari-hari. Menempanya yang susah hidup setiap hari. Anak kecil itu sadar dia tidak berhak bermimpi. Hal itulah yang membuat dia muram berhari-hari disekolah. Teman-temannya tidak pernah melakukan atau bahkan mengoloknya tapi dia mengucilkan dirinya sendiri”

“kau tahu apa yang membuat dia berubah? Hanya cerita mu. Cerita karanganmu tentang seorang anak muda yang kau aku-aku sebagai temanmu. Bagaimana dia yang berasal dari kaum tak mampu bisa ikut kuliah bersamamu. Bahkan akhirnya mampu untuk menjadi doktor di universitas terkemuka di kampus ternama itu. Mengangkat derajatnya. Merubah martabatnya. Cuma dengan kemauan dan mimpi untuk bertahan”

“ Anak itu benar-benar terpesona oleh janji itu. Janji bahwa pasti akan ada kehidupan yang lebih baik menanti. Asal mau dan bermimpi. Membuat dia kembali bersemangat dan akhirnya mendapat ganjaran beasiswa akan semangat belajarnya. Sampai sekarang pun dia masih merenda hidup cuma dengan pegangan cerita yang kau karang itu” tenang saja bapak itu berkata. Tak ada nada untuk mencoba meyakinkan. Dia hanya seakan memberitahukan. Tak lebih, tak kurang.

Tuhan, apa benar cerita itu? Aku tergugu. Benarkah hal itu? Aku sendiri sebenarnya lupa akan kejadian itu, tidak mempedulikannya tepatnya.

“kau sibuk bertanya alasan saat kau sedang bermasalah. Tapi apakah kau sadar bahwa semua yang kau lakukan, dari mulai lahir, hidup, belajar, berinteraksi, bahkan saat kematian pun akan menjadi alasan terhadap orang lain. Memberikan arti hidup yang membedakanmu dengan orang lain di dunia ini. Seperti kepada anak itu. Dan itu hanya satu contoh saja. Ada ribuan bahkan jutaan hal lainnya yang tercipta hanya karena secuil perbuatan atau perkataan darimu yang sangat banyak itu. Tak akan cukup waktu dunia untuk menjelaskan akibat dari semua perbuatanmu dan perkataanmu saja. Tak akan cukup mengurai semua arti serta kegunaan dari perbuatan dan perkataanmu”

“yah itulah alasan kenapa kita hidup. Untuk menjadi alasan bagi orang lain. Untuk menjadi kegunaan bagi orang lain. Tidak mengikat tapi saling menyokong dengan interaksi, perkataan, perbuatan. Percayalah itu menciptakan sangat banyak alasan bagi orang lain. Alasan untuk membenci. Alasan untuk menjadi baik. Dan lainnya...”

tenang.. bapak itu menghela nafas. layar itu pun tidak menayangkan apa-apa lagi. Dan tanpa aku sadari aku sudah berada di suatu ruangan. Disini cuma ada aku, bapak tua ini, seorang perawat dan satu tempat pembaringan. Hei, itu aku yang berbaring disana! Menyedihkan, badan kurus penuh tertusuk belalai infus dan peralatan lainnya.

“leon...” bapak itu kembali memanggil namaku.

pelan bapak tua ini memegang bahuku. Tersenyum kepadaku. Dan entahlah tiba-tiba aku merasa sangat tenang. Seakan ada satu kekuatan mengalir dari tangannya yang memberikan aku ketegaran.

“sesungguhnya kalau engkau bertanya untuk alasan apa engkau terus hidup, dan apakah hidupmu sudah memiliki arti maka semuanya itu dijawab dengan semua tindakan dan perkataanmu sendiri. Baik maupun buruk. Itulah yang menjadi alasan kamu untuk hidup. Itu pulalah yang menjadi arti akan hidupmu. Semua akibat dari perbuatan dan perkataanmu sendiri. Percayalah sekecil apapun yang kau lakukan atau katakan maka itu akan menciptakan akibat yang tak terduga. Bisa jadi memberikan kekuatan untuk orang lain, memberi warna, atau malah memberi darah.”

“Tak usah kau pusingkan semua akibat dari perbuatan dan perkataanmu. Alasan-alasan itu dan apakah itu cukup untuk memberi arti bagi hidupmu. Semuanya rumit. Semuanya terlalu banyak. Tak akan terpikirkan oleh pikiranmu bahkan oleh pikiranku. Hanya DIA yang tahu! Sang maha kuasa dengan segala kearifan pikirannya. Jadi buat apa kau pikirkan sesuatu hal yang sangat teramat jauh dari jangkauanmu, bisa gila pikiranmu. Jalanilah hidupmu. Jangan putuskan untuk mengakhirinya begitu saja seperti itu...”

Mataku basah. Hei, apa aku menangis? Entahlah tiba-tiba aku merasa sangat tenang, tersadar akan sebuah kenyataan yang bapak ini ucapkan.

“bukankah dulu engkau selalu bilang untuk lebih baik mati mencari arti daripada mati berdiam diri. Ingatkah janji lama yang kau ucapkan waktu itu? Satu tantangan kepada DIA yang kau katakan saat kau frustrasi dulu. Alasan sehingga kau mampu pergi kemana saja, melakukan semuanya, walau sesepi apapun, sesusah apapun. Bahkan itu juga mampu menciptakan arti dan memberikan alasan bagi semua orang yang berada didekatmu. Mungkin kau telah lupa janji itu. Maka aku datang saat ini khusus untuk mengingatkanmu kembali akan janji lama itu...”

“akan aku beritahukan satu lagi rahasia yang akan menutup semua pertanyaanmu. Kau pikir kenapa aku datang kepadamu? Kenapa? Semuanya seperti yang aku bilang tadi adalah satu rantai akibat. Kau menjadi tutor, mengarang cerita, membuat seorang anak kecil terpesona oleh cerita itu, dan akhirnya mendoakanmu. Ya kedatanganku hanya karena satu doa. Doa yang diucapkan dari mulut mungil anak kecil itu, dia sudah kelas 4 sekarang. Tiap malam dia mendoakan mu. Berterima kasih akan kedatanganmu waktu itu. Kau lihat bagaimana rantai itu berkembang bukan? Sangat menarik. Itulah indahnya kehidupan. Tidak terduga. Tak mampu dipikirkan oleh akal dan rasa.”

“Tahukah bagian yang lucu? Anak kecil itu bahkan tidak ingat nama mu, dia hanya memanggilmu Pak guru saja. tapi bagi anak itu kamu adalah pak guru spesial. Cerita-cerita dari mu telah memberi cahaya dalam hidupnya. Dan murni karena doa yang terucap dari mulutnya lah aku datang kali ini atas izin_Nya. Memperlihatkan detail kehidupanmu, memberikan sedikit jawaban akan pertanyaanmu, mengingatkan kembali akan janji yang kau ucapkan dulu. Karena setiap malam dia berdoa untuk kebaikanmu.”

Air mata ini semakin deras mengalir. Ya tuhan, benarkah hal itu? Selama ini aku selalu bertanya dan tidak menyadari. Tidak menyadari bahwa sebenarnya arti itu aku ukir dengan perbuatan dan perkataanku sendiri.

“kau lihat... Bagaimana secuil perbuatan dan perkataanmu menciptakan rantai akibat yang begitu indah bukan? Bagaimana perbuatan dan perkataanmulah yang telah mengukir arti hidupmu sendiri bagi anak itu dan bagi keberadaanmu.”

“ secuil cerita dan perbuatanmu akhirnya mampu membuat dia setiap malam selalu setia mendoakanmu. Mengingat kembali semua cerita-ceritamu. Membuat dia bersemangat kembali menatap hari esok yang tak pernah pasti. Jadi kembalilah leon... jangan pernah sia-siakan kehidupanmu lagi. Ingatlah untuk banyak-banyak berterima kasih dan bersyukur. Itu akan membuatmu semakin “kaya” daripada hanya bertanya tak tentu arah. Pergilah...” pelan sang bapak berkata. Memberikan senyuman yang biasa aku lihat saat perpisahan itu tiba menghampiri diri.

wuuuuuutttttssss, semuanya terasa berputar..
Gelap...
Sakit sekali..
aku merasa tak bertenaga..

Ku buka perlahan mataku. Silau. Perih mataku diterpa cahaya lampu. Dimana ini? Aroma obat ini. Apa ini rumah sakit?

“keadaannya membaik dok..subhanallah, dia ternyata bisa melewati masa-masa kritisnya” terdengar suara seorang wanita.

“ya sus..keadaannya membaik.. tanda-tanda vitalnya juga tidak mengkhawatirkan lagi..suster tetap pantau dia yah..”

“baik dok...”

ah, ternyata benar ini rumah sakit. Perlahan mataku sudah bisa beradaptasi dengan cahaya lampu. Ku edarkan pandangan mendapati ruangan yang sama dengan yang aku lihat saat bersama dengan bapak tua tadi. Dan aku tersenyum. Kepalaku masih sakit, teramat sangat malah. Jariku bahkan tak bisa aku gerakkan. Tapi entahlah hati ini seakan penuh dengan ketenangan. Penuh dengan kekuatan. Mendapati semua hal yang telah aku dapatkan barusan. Jauh dari kata logika tapi jujur saja menjawab semuanya. Terima kasih tuhan.. setelah sekian lama tampaknya malam ini aku bisa tidur tenang kembali.

Kupejamkan mataku sambil mengucap janji untuk kembali kesekolah itu. Mencari anak perempuan itu dan hidup dengan penuh semangat kembali seperti dulu. Menjadi arti yang akan kuukir sendiri..



…............................................



di satu pojok kamar petak sempit di pinggiran kota.

“tuhan yang baek.. pak guru sehat gak ya? Kok gak datang kesekolah lagi? Kan dedek pengen liat pak guru lagi.... pengen denger cerita pak guru... tar dedek janji deh kalo pak guru datang nanti dedek gak bakal diem kayak dulu.. dedek pengen cerita banyak juga ke pak guru..udah ya tuhan, dedek pengen bobo.. jagain dedek ya tuhan.. jagain pak guru juga...amiiiinnnn........” lantunan doa dari mulut mungil itu terucap kepada_Nya. Dan tertidurlah mereka berdua, leon dan anak perempuan kecil itu. Menutup malam dengan satu janji. Janji untuk menjalani hidup dengan penuh semangat kembali...




banyak dari kita yang mengeluh
banyak dari kita yang bertanya
banyak juga dari kita yang hanya berdiam diri dipojokan sana
tapi sedikit sekali yang mencari arti
sedikit sekali yang bergerak memberi arti
padahal arti itu tercipta oleh perbuatan dan perkataan kita sendiri
tanpa kecuali kita bisa mengukir takdir kita sendiri... read more..

Like father like son.... (chapter ke empat novel saya)

0

Posted by median | Posted in

..........................................
"Kau tau abang? ayahmu ini dulu tergolong nekat. Hampir semua pelosok indonesia di sumatra, jawa, kalimantan dan sulawesi sudah pernah bapakmu ini hampiri. Tak takut mati selalu itu yang bapakmu ini pegang dulunya. Berani! Apapun itu pasti bisa dihadapi!" ayah berkata sambil menyeruput kopinya.

Kupermainkan kunci mobil, memandang ke arah perkebunan sawit yang sudah lama tak ku kunjungi ini. Tak terlalu kudengarkan cerita beliau yang sedang duduk di bale-bale bambu di sebelahku. Sudah sangat sering aku mendengar cerita perantauan, plus seribu satu pengalaman lainnya. Biasa saja. Sudah terlalu sering kudengarkan. Kebal rasanya,haha.

"Tak terbilang pula berapa kali Ayah mu ini berkelahi. Mengambil resiko besar pada saat ikut dalam suatu proyek sudah biasa. Dan kau harus tau abang, kalau Ayah mu ini dulu playboy. Haha, urusan wanita itu gampang saja bagi Ayah. Tapi tau kah kau abang bagaimana dulu waktu bapak bertemu Ibu mu? Oi, pertama kali aku bertemu dengannya yang Ayah lakukan cuma bengong macam orang bego saja. Kaku badan Ayah cuma untuk mengulurkan tangan berkenalan. Dan Ibu mu hanya tertawa saja. Amboi mati kutu ayah sekali itu."

Ku alihkan pandanganku ke Ayah. Nah loh, cerita ini yang tidak pernah diceritakan. Soal perantauan sudah biasa, soal kenekatan mengambil proyek beresiko apalagi, soal ke playboy-an bahkan sampai hapal jurus-jurusnya beliau saat merayu, tapi soal cerita bagaimana berkenalan dengan ibu? Sumpah mati baru kali ini baru kudengar dari mulutnya sendiri.

Ayah diam. Pelan mengepulkan asap rokoknya. Senyap. Yang terdengar cuma suara-suara pekerja yang sedang memanen tandur buah sawit dan suara binatang hutan.

"Ayah sudah pernah berpacaran dengan banyak perempuan abang. Mau yang pintar dari ibukota sampai yang sederhana juga sudah. Yang cantik jelita atau yang biasa saja juga pernah. Tak ada satupun yang mampu membuat ayahmu ini sampai mati kutu seperti itu. Ayah ingat pula saat pertama kali ngapel kerumah ibu, wuah macam bunyi genderang perang saja jantung ayah. Dag dug dag dug dag dug. Berdiri di depan gerbang rumah ibumu. Berat kali rasanya untuk melangkah masuk. Belum lagi kakek mu dulu, galaknya wuah macam harimau saja waktu itu."

"Untuk pertama kalinya dalam hidup ayah ada wanita yang mampu membuat ayah bergetar. Hangat terasa dalam dada. Membuat ayah mabuk kepayang merindukannya. Walau kakek mu awalnya tak setuju tapi ayah kejar terus ibu mu. Yah kakekmu dulu tidaklah setuju, putus asa kali ayah dulu waktu ibu mu bercerita sambil menangis bahwa kakekmu marah tidak setuju akan hubungan kami". Raut muka ayah menjadi sedikit sendu. Membuatku berfikir, sebegitunya kah kakek tidak setuju akan hubungan ayah dengan ibu?

Ayah menghela nafas panjang, menyunggingkan senyuman kecil kemudian menyeruput kembali kopinya.

"Ayah berfikir abang, bahwa hal ini harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Karena ayahmu ini cinta ibumu. Benar-benar cinta. Jadi ayah siapkan hati, ayah datang ke rumah kakek. Datang mengaku kepada kakekmu. Bahwa bapakmu ini memang bukanlah orang yang paling baik, bukan pula orang paling kaya, tapi sungguh mati ayah berani bilang paling cinta kepada ibu mu dari laki-laki lain diluar sana. Ayah sungguh ingin mempersunting ibu mu! Dan untunglah sejak saat itu kakek mu melunak, terutama saat melihat ibumu menangis terharu mendengar perkataan ayahmu. Sebulan kemudian ayahmumu ini sudah duduk dipelaminan dengan ibu, amboi bahagia kali hati ayah di saat itu".

Ada bulir air mata di pelupuk mata ayah. Aku yakin itu air mata kebahagiaan. Tak menyangka ternyata ayah sedemikian tidak berdayanya waktu itu untuk mendapatkan ibu. Berusaha dengan sangat keras saking cintanya. Membuat aku kali ini tersenyum, berkata dalam hati dengan bangga "itu ayahku!!!"

"Jadi tolong ingat abang, kalau engkau menemukan wanita yang mampu membuatmu seperti itu. Ayah tau bagaimana susahnya bahkan untuk berkata. Menggerakkan jari pun macam mau menggoyang tembok beton saja. Tapi berusahalah abang. Jangan menyerah. Karena semuanya harus diusahakan sampai titik darah penghabisan. Sampai benar-benar waktunya habis. Camkan itu!!".

....................................................................................

Like father like son. Begitu pula alasan aku sedang berdiri di udara yang membeku didepan pintu gerbang panti ini. Kurapatkan jaket kulitku. Melirik kearah jam tanganku. Bah, Jarum jam sudah menunjuk angka 6 tepat tapi tetap saja bandung dipagi ini udaranya dingin menyesap ke tulang. Membuat orang-orang tak mau beranjak dari pembaringan, hari libur pula. Hari ini aku harus masuk kedalam panti. Mengetahui apakah benar itu dia, permata yang kucari selama ini.

Ku pencet bel gerbang. Mendengar suara dari dalam sana. Beberapa lama kemudian pintu panti terbuka. Satu sosok laki-laki yang kutaksir umurnya 50-an datang menghampiri tergopoh-gopoh.

"Assalamualaikum kang.." sapa ku. Bersikap seramah mungkin (plus berusaha menenangkan degup jantung yang semakin tak menentu. Toh sebentar lagi aku mungkin saja akan bertemu dia didalam)

"Waalaikumsalam A, aduh punten ya A lama. Anak-anak lagi siap-siap mau kebersihan di dalam. Ada apa ya A?

"mmmmmh, begini pak. Sya Tian. Rencana saya mau menyumbang untuk panti bapak. Tapi ya sya mau liat-liat dulu keadaan panti. Boleh kita bicara didalam saja kang?". Sudah ku susun strategi untuk mendapatkan info sebanyak mungkin tentang keadaan panti. Lagipula kebetulan perusahaanku memang mau membayar zakat, jadi sekalian saja ku gunakan sebagai alasan untuk mendapatkan info tentang panti ini.

Dengan cekatan bapak-bapak ini membuka gerendel kunci gerbang panti. Membuka slot penguncinya. Berkata dengan ramah.

"Wuah kami sangat senang sekali A. Mari silahkan masuk kedalam"

..................................................................

Hoooo, ternyata dalamnya panti ini lumayan menyenangkan. Yah tidak banyak barang-barang yang ada disini. Tapi menyenangkan. Hawanya tentram. Dari ruangan ujung sana terdengar suara anak-anak kecil yang sedang bersih-bersih kamarnya. Celetukan. Tawa. Satu dua terdengar rengekan manja.

"Wuah kang lagi rame-ramenya ya anak-anak?". Kuedarkan pandangan keliling ruangan. Berusaha mencari sekilas sosoknya. Atau apapun yang berkaitan dengan dia. Foto mungkin atau apapun.

"Ah biasa A. Biasa namanya juga anak-anak. Mari duduk A. Teteh tolong minumanya. Ada Tamu..". Kang yayat menyilahkan duduk.

Ahhh, tidak ada foto apapun yang menunjukkan sosok dia di dinding ruang tamu ini. Setengah kecewa aku segera duduk untuk menenangkan pikiran. Apa benar sosok yang aku liat beberapa hari kmaren adalah sosok permata? Coba aku tanya pelan-pelan saja, mudah-mudahan ada kabar tentang permata. Aku harus tenang..

"Kang, dah berapa lama pantinya berdiri? Terus sekarang ada berapa anak yang diasuh disini?". Mulai kupasang taktik "interogasi" ku.

"Ah sejak dulu. Akang sama teteh cuma meneruskan menjaga. Lagi pula kami tidak punya anak, rasanya tentram disini. Berasa punya anak yang banyak". Canda kang yayat kepadaku. Seorang wanita paruh baya keluar membawa nampan berisi dua cangkir teh panas. Oh, ini istrinya kang yayat rupanya.

"Mari a, diminum. Maaf cuma ada ini saja". Sapa istri kang yayat kepadaku.

"Iya teh, nuhun"

"oh ya kang, yang jaga cuma akang berdua? Atau ada orang lain?". Pancingku. Semoga saja mereka menyebutkan nama dia, permata.

"memang ada beberapa orang yang menjadi sukarelawan disini A. Mereka sering berganti-ganti datang kesini". Ahaaa, ini dia. Petunjuk kesana. Harus pelan-pelan saja mengorek petunjuk seperti ini. Salah salah akan dicurigai malah.

"mmmh, begitu rupanya. Begini kang. Saya punya niatan untuk menyumbang uang dan peralatan untuk panti. Kalau diperbolehkan, saya ingin melihat anak-anak langsung boleh kang? Jadi bisa tau kira-kira butuhnya apa. Yah sambil nyantai saja sekarang, gak usah nyuruh anak siap-siap segala". Pertama-tama aku harus memeriksa anak kecil yang kulihat bermain dengan permata waktu itu.

"Mari A kalau begitu. Kita ke kamar anak-anak". Kang Yayat beranjak dari tempat duduknya mempersilahkan ku masuk kedalam.

.....................................................................

Mereka semua sedang sibuk bersih-bersih. Liatlah dipojokan sana dua anak sedang mengelap jendela kamar, ada yang sedang menyapu, ada yang sedang membereskan tempat tidur. Ada pula yang malah asyik saling melempar bantal ke yang lain. Riuh sekali, Haha, anak-anak. Mau dimanapun mereka berada tetap saja anak-anak.

"yah begini A, anak-anak. Rata-rata masih SD yang paling besar masih SMA A". Jelas kang yayat.

Kuperhatikan dengan seksama, mencoba mencari sosok anak kecil lucu nan imut yang kuliat waktu itu. Aha, itu dia sedang tersuruk-suruk tertawa di bagian bawah tempat tidur. Sedang bermain rupanya.

"Anak-anak cepetan bersih-bersihnya. Sebentar lagi sarapan!". Kang yayat berkata dengan suara yang sedikit keras.

"kang, boleh sya masuk? menyapa anak-anak?" tanyaku.

"silahkan saja A, sya tinggal sebentar. Mau mengecek kebelakang. Tidak apa-apa kan A?"

Kuanggukkan kepalaku. Bagus, malah aku lebih gampang mengorek keterangan dari anak itu kalau gak ada kang yayat.

Mendengar perkataan Kang Yayat tadi, anak-anak semakin semangat menyelesaikan bersih-bersihnya. Tak terlalu mempedulikan aku yang mulai masuk kedalam ruangan. Ah, paling cuma sukarelawan atau tamu yang baru datang melihat-lihat. Mungkin itu pikiran mereka (mana kutau benar atau salah, haha)

"wuah, adek ngapain ni dibawah kasur? Maen petak umpet tah?". Sapaku kepada anak kecil perempuan nan lucu yang masih sembunyi dari tadi di bawah ranjang ini.

"aaaaahhh, atuh aa. Nanti arum ketauan ngumpet dibawah kacur. Disuruh bercih-bercih nanti kan capek arumnya". Manyun. Anak kecil bernama arum ini merengek manja.

Haha, mau ketawa aku dalam hati. Jelas-jelas keliatan gitu sembunyinya juga. Masa gak ketauan dari tadi. Paling anak-anak yang lain membiarkan arum gk kerja karena dia masih kecil. Makanya mereka diam saja gk menyuruh arum bekerja.

Aku duduk di ranjang tempat anak kecil itu bersembunyi. Membungkuk sedikit ke arah anak itu "oh ya, aa ngmg pelan-pelan klo gitu. Biar gk ketauan yah? Oh yah, aa juga ada hadiah kecil nih. Mau gk?"

Kusorongkan satu batang coklat yang kuambil dari saku jaket ku. Salah satu bagian strategiku, coklat. Sogokan kecil. Anak kecil mana yang bisa menolak coklat batangan sebesar ini coba?

"wuaaaah, aciiiikkkk.. Makacih aa cakep. Tapi diam-diam aja yah? Tar arum mau bagi. Kacih kejutan ke yang lainnya". Mata anak ini berbinar-binar menerima coklat sebesar ini. Mengerjap-ngerjap dengan lucu. Cadel pula.

"keluar atuh, ngobrol ma aa. Masa dibawah terus. Pan capek aa nya bungkuk terus. Tuh anak-anak bentar lagi juga mau beres bersih-bersihnya". Bujukku.

"Anak-anak, sudah kan bersih-bersihnya? Bersihkan diri kalian. Langsung ke ruang makan. A nanti ikut kita sarapan saja". Dari ujung sana Kang yayat berkata dengan suara keras.

Arum langsung keluar. Tergopoh-gopoh memasukkan coklatnya kedalam baju. Berteriak "iya, arum tar kecana...". Membuatku tertawa kecil saja, ekspresif sekali anak ini.

Dan arum pun menarik tanganku. Berkata "aa ikut arum yuk. Mam ma arum cama yang lainnya".

Yaaaah, mau gak mau aku pun ikut saja. Toh memang benar-benar menyenangkan ternyata.

...................................................................

Ruangan makan ini tidak cukup besar, maka tak heran cuma ada meja yang mampu memuat paling banyak delapan orang. Padahal kalau aku hitung-hitung anak-anak mencapai tiga puluh orang lebih. Semuanya mengantri dengan tertib untuk mengambil jatah makanannya.

Aku masih berbincang-bincang dengan kang yayat, teh lilis sibuk menyiapkan makanan, arum malah sibuk bergelayut manka dikaki ku. Tampak senang sekali karena mendapatkan sogokanku itu. Berceloteh riang.

"mari A, kita makan dulu. Anak-anak sudah mengambil jatah sarapannya" lembut teh lilis berkata sambil mengisyaratkan tangannya ke arah arum untuk menghampirinya.

Arum menggeleng, bersembunyi di belakangku. "gak mau.. Mau bareng aa cakep ajah".

"ya udah hayu arum mam bareng kita". Kang yayat berkata ramah.

Dan suasana sarapan pagi ini benar-benar menentramkan. Makan bareng dengan Teh lilis, kang yayat, arum kecil. Benar-benar seperti keluarga sendiri. Mendengarkan cerita masa muda kang yayat dan teh lilis, celotehan-celotehan arum. Sampai saat arum berkata.

"tar arum mau kenalin aa cakep cama teteh permata. Padahal aa cocok ma teteh permata yang cantik. tapi cayang teteh dah punya aa ridwan". Celoteh arum yang kesekian kalinya. Berceloteh riang sambil menyendokkan makanannya. Belepotan. Khas anak kecil umumnya.

Uhhuk, aku yang sedang mengunyah makananku tersedak dibuatnya. Tanpa dikorek pun malah info ini datang dengan sendirinya. Ridwan, pacar permata memang dia. Ah, itu ternyata memang benar dia. Sosok permata yang kuliat kemarin bukanlah khayal semata.

"permata? Siapa ya teh?" tanyaku.

"permata, dia sukarelawan disini. Deket banget dengan arum. Udah kayak adik sendiri. Makanya arum kalau ada apa-apa pasti larinya ke permata". Jelas teh lilis.

I see, sekarang semuanya sudah jelas. Pantas aku tidak melihat dia disini hari ini. Statusnya cuma sukarelawan jadi kemungkinan besar dia pulang dulu hari ini. Untunglah, berarti aku masih bsa mempersiapkan hati untuk bertemu dia.

............................................................

"mari kang, insyaallah maksimal dalam dua hari kedepan sya sudah datang kesini dengan bantuan yang dibutuhkan". Kusalami kang yayat dan teh lilis. Ku acak-acak sedikit rambut arum. Pamitan kepada bocah kecil nan lucu ini.

"tar yah arum. Tar aa datang lagi aa bawa coklat yang banyak deh"

"horeeeeeee, janji ya aa". Arum mengulurkan kelingking kanan kepadaku. Memasang senyumnya yang paling manis. Aeh kalo gak ada kang yayat ma teh lilis mungkin sudah kubawa pulang ni anak, haha..

Kuulurkan kelingking ku, mengaitkannya dengan kelingking arum. Berkata pelan dan mantap "janji.."

Dan aku pun pamit, aku sudah tau mau kemana kalau harus mencari permata. Secepatnya aku akan kesini lagi.

Kubuka pintu gerbang, mengarahkan pandangan ke arah kang yayat, teh lilis dan arum. Melambaikan tangan. Membalikkan badan dan sumpah terkejut setengah mati karena tanpa aku sadari permata sudah berada didepanku. Dekat sekali. Baru kali ini aku melihat dia sedekat ini.

Sialan, aku gk bisa berkata apa-apa. Pipiku panas (pasti mukaku memerah). Tampangku bengong macam orang bego saja. Kaku badanku bahkan hanya untuk mengulurkan tangan bersalaman.

Yang mampu ku ucapkan hanyalah

"hai....."

Dan permata yang kulihat pun juga terpaku seperti ku. Diam saja. Tak bergerak. Mungkin tak enak bertemu ku yang tiba-tiba mungkin datang mengganggu.

Kutundukkan kepalaku, menarik nafas panjang, berusaha menenangkan degup jantung yang sudah macam genderang perang. Berkata pelan sambil tertunduk.

"Dua hari lagi aku akan datang lagi kesini. Tolong, kuharap engkau ada disini..."

Ku paksa kakiku yang terasa berat untuk melangkah. Melewatinya. Melangkah dan segera menaiki motor yang kuparkir di belakangnya. Menekan tombol starter dan segera pergi. Berfikir dan menggumam dalam hati,

"sepertinya aku paham perasaan ayah sewaktu bertemu ibu pertama kali dulu........." read more..

Sungguh abang sayang Ibu.. selalu....

0

Posted by median | Posted in

"Pulanglah secepatnya.. Ibu sakit keras!! Ajak pula istri dan anakmu, waktunya mungkin tak lama lagi...” Isi pesan yang tidak lebih dari 50 karakter itu sudah cukup membuat seluruh jantungku bergetar tak karuan. Duhai, berita apa pula ini? Ibu yang setangguh itu? Ibu yang tak pernah terlihat sakit parah satu kalipun olehku (beliau paling hanya masuk angin, hari ini dikerik keesokannya sudah asyik lagi mengajar dan bercocok tanam diladang bersama ayah). Bagaimana bisa?? Mendadak pusing kepalaku dibuatnya.

“Ria, tolong kau cancel semua pertemuan sampai waktu yang tak bisa ku tentukan. Ibuku sakit keras. Aku harus pulang! Kau atur saja dahulu semua masalah, berikan laporan kepadaku secara ringkas saja setiap harinya”. Kukemasi barang-barangku (tepatnya malah asal mengambil dan memaksa semua barang itu masuk kedalam tas secepatnya). Bisa kapiran masalah ini kalau sampai aku telat menjenguk ibu tersayangku.

“Siap Pak.. tak usah khawatir. Semuanya akan saya handle. Sya akan segera telpon juga istri Bapak dan mengirimkan jemputan ke sekolah Tuan Muda”. Ucap halus Ria kepadaku. Seorang perempuan cantik dengan dandanan elegan yang telah 5 tahun menjadi sekretarisku. Orang kepercayaan yang benar-benar bisa diandalkan, bahkan dia langsung mempersiapkan jemputan untuk anakku yang masih bersekolah (baru masuk tahun ini pula).


Kuraih tas kerjaku. Melesat secepatnya melewati pintu ruanganku. Bergegas setengah berlari melewati para bawahan (yang masih saja menyapa dan mengangguk hormat menegurku), melewati lorong ruangan, menekan tombol lift , masuk dan dengan tergesa menekan tombol turun. Ah kenapa lama sekali lift ini turun? (hal yang bodoh untuk ditanyakan mengingat bangunan korporasiku ini memiliki 36 lantai). Entahlah pikiranku kalut sekali kali ini.

AKU HARUS SEGERA PULANG!! HARUS....

.....................................................................................................

Aku terlahir di salah satu daerah kampung di satu Provinsi yang dinamakan Bengkulu (bahkan teman-temanku yang lulusan luar negeri sana masih sering menanyakan “Mmmh, Bengkulu itu diprovinsi Kalimantan bukan?”. Kayaknya karena bersekolah diluar negeri mereka bahkan sampai lupa geografi negeri sendiri). Lahir di lingkungan desa yang asri, dimana semua orang adalah keluarga. Saling menyapa, bertegur kata dengan senyum diwajah. Dan hal yang benar-benar harus disyukuri ialah aku terlahir di keluarga yang sangat bersahaja. Ibu yang luar biasa, ayah yang bersahabat dan bertanggung jawab akan keluarganya.

Ayahku Seorang Kepala Kampung dan ibuku seorang guru TPA biasa. Berpenghasilan pas-pasan dan itupun harus ditambah dengan bercocok tanam di sepetak ladang. Tapi kami bahagia! Sangat bahagia. Masih teringat jelas bagaimana aku dulu bermain di ladang bersama ayah (Ibu sedang mengajar diwaktu itu).

Bermain menciptakan rumah-rumahan dengan menggunakan apa saja yang ada disana. Memotong batang pohon singkong untuk tiangnya, memakai atap rumbia bilik tempat biasa aku dan ayah berteduh, mengikatnya dengan serat kelapa dan yang lainnya. Dan setelah mengacak-acak banyak hal diladang dan mengotori nyaris semua pakaianku, dengan “angkuhnya” ku tarik tangan ayah yang sedang asyik menyiangi rumput liar disela-sela alur ladang . Menunjukkan maha karyaku. Membuatku tersenyum kecil membayangkan bagaimana hidungku kembang kempis kegirangan akan pujian ayah diwaktu itu

“bagus sekali bang!! suatu saat kau akan jadi arsitek ternama. Membangun dan punya gedung besar bertingkat-tingkat tentunya. Jangan lupa nanti kau buatkan satu untuk Ayah dan Ibu ya” puji ayah diiringi senyum bangga dan sesudahnya mengelus-ngelus rambutku dengan ringannya. Amboi, serasa terbang aku diwaktu itu.

“Kita kemana Pak??” satu pertanyaan dari sopirku memecah lamunanku.

“Ke rumah saja dulu, jemput istri dan anakku. Setelah itu kita langsung bersiap ke bandara. Kita pulang!”. Perintahku sambil mengusap mukaku. Duhai, kaku sekali pikiranku. Mukaku terlihat kusut. Entahlah, stress karena mega proyek sekalipun tak pernah melebihi stress ku kali ini. PULANG! Cuma itu yang bisa menenangkanku sekarang.

.....................................................................................................

“Sayang, Ibu kenapa?”. Tanya istri tercintaku. Tangannya sibuk melipat-lipat baju dan memasukkan barang-barang lainnya.

“aku sendiri tak sanggup memikirkan kemungkinannya sayang. Begitu mendapatkan sms dari ayah saja aku sudah nyaris jantungan, bagaimana pula aku sanggup menanyakan apa sakitnya ibu kepada ayah?”. Suara ku tercekat serak, nyaris menyerupai orang yang menahan tangis. Ah sesak sekali dada ini, sungguh sesak sekali.

Istriku mengelus punggungku. Mencoba memberikan sedikit kekuatan dan menenangkan. Tuhan, sungguh nyaris tumpah air mataku kali ini. Berikan aku kesempatan untuk bertemu ibuku ya Tuhan, sungguh berilah aku kesempatan itu.

“PAPAAAAAA... Ryo pulang..” Lantang suara anakku menggema dari depan. Beberapa detik kemudian terdengar derap langkah berlari menghambur kearah kamarku.

“Kita ke tempat nenek ya Pah? Mang nenek kenapa?Oh ya tadi disekolahnya rameeeeee, Ibu gurunya baik. Tapi masih kalah jago bercerita dibanding nenek”. Celoteh anakku sambil sibuk berganti pakaian dengan pakaian yang telah disiapkan istriku untuknya.

“Gak kenapa-kenapa kok adek. Nenek sedang sakit aja, jadi kita jenguk nenek. Biar cepat sembuh neneknya” sahutku sambil melempar senyum. Senyum hambar sebenarnya, tapi setidaknya aku tak ingin menampakkan kekhawatiranku yang begitu besar kepada anakku yang masih sangat belia.

“Asiiikkk, ketemu nenek!! ketemu kakek!! main diladang lagi.. oh yah, ryo bawa gambar nenek dan kakek yah? Tadi ryo bikin di sekolah, pasti nenek nanti cepet sembuh kalo liat gambar ryo”. Sahut riang anakku.

“Iya bawa gih. Jangan ada yang ketinggalan ya dek.” ku rapihkan koperku, menyeretnya keluar dan menyerahkannya kepada sopir. Mengambil HP, Dompet, melupakan laptop kesayanganku (bah, bagaimana aku bisa mengerjakan tugas sedangkan ibuku sedang sakit keras??). Berkata dengan intonasi buru-buru kepada istri dan anakku.

“Ayo kita berangkat. Sudah tak ada yang ketinggalan kan?”

.....................................................................................................

Yang paling melekat erat di ingatanku ialah senyuman Ibu. Bagaimana senyuman itu selalu bisa menenangkan disaat aku tersuruk-suruk ketakutan sebelum tidur (gara-gara mendengarkan cerita hantu dari teman-temanku), bagaimana senyuman itu selalu teriring bahkan disaat aku bandel pulang dengan lumpur dinyaris seluruh bagian tubuhku, bagaimana senyuman itu selalu menyambutku kepulanganku. Senyuman itu.. Yah itulah yang benar-benar tak bisa kulupakan (tentunya dengan beragam hal lainnya yang tak mampu kusebutkan satu persatu)

Ibulah yang mengajariku untuk berani bermimpi. Mengajarkan arti pengorbanan sesungguhnya untukku. Dulu ibu ringan tangan saja menggadaikan perhiasan, harta lainnya bahkan cincin kawinnya pemberian ayah untuk membiayaiku.

Masih teringat jelas bagaimana aku menangis menginginkan seragam baru karena punyaku sudah terlihat kusam dan lusuh (iri hatiku waktu melihat anak-anak lainnya memiliki seragam mengkilap, serta hal-hal baru lainnya), mendekap erat membisikkan pinta untuk memiliki seragam sambil terisak di punggung ibuku yang langsung dibalas oleh ucapan “tunggulah permataku, besok ibu akan membelikan yang baru”.

Dan keesokannya benar saja satu stel seragam, bahkan sepatu dan tas yang baru sudah ada menyambutku sepulang sekolah. Membuatku melompat kegirangan dirumah. Berkali-kali mengucapkan terimakasih kepada ibu. Menunjukkan dengan bangga kepada ayah “Ayah, lihat.. bagus bukan??”.

Kegirangan yang bahkan membuatku tak bisa tidur malamnya. Tak sabar menunjukkannya kepada teman-temanku disekolah. Kurapatkan selimut mencoba memejamkan mata. Ah pagi kenapa lama sekali tiba ya tanyaku dimalam itu.

“Tak apa kau gadaikan kalungmu Bu??”. Sayup-sayup kudengar suara ayah dari bilik kamarnya.

“Tak apalah Yah. Tak tega hatiku mendengar rengekan Anakku itu. Lagian memang sudah waktunya dia memiliki seragam baru. Tak usah dipikirkan kalung itu, kalau sudah ada rejeki lebih nanti kita bisa beli lagi”. Lembut suara ibu menanggapi pertanyaan ayahku.

Saat itu, dimalam itu, yang kurasakan pipiku hangat. Ya aku menangis! Mataku basah. Malu kali diriku. Bodoh! Kegirangan setengah mati sampai-sampai tak kulihat lagi di leher Ibuku sudah tak ada lagi kalung itu. Tas itu, seragam itu, sepatu itu harus aku tebus oleh kalung yang selalu dipakai ibu? Kugigit bibirku, menahan tangis yang kurasakan semakin tak terbendungkan (tak mau aku tangisku terdengar ibu). Tuhan... Sungguh aku sayang Ibuku..

Keesokannya, sesudah mandi, aku dipakaikan seragam yang baru itu, entahlah girang itu seakan lenyap begitu saja. Diriku diam. Hening tak banyak celoteh seperti biasa. Sarapan dengan cepat. Dan sebelum berangkat ibuku menyandangkan tas baruku, memasangkan sepatu mengkilapku, merapihkan rambut dan menyelipkan sedikit uang ke sakuku. Tersenyum dan mencium kedua pipiku seperti biasa sebelum melepas kepergianku ke sekolah.

Ku putar badan melangkahkan kaki. Bergerak beberapa langkah kemudian berhenti. Mengepalkan kedua tangan terdiam sebentar kemudian berkata setengah berteriak....

“BU.. ABANG JANJI SUATU HARI NANTI AKAN ABANG GANTI KALUNGNYA IBU! YANG LEBIH MEWAH! YANG LEBIH MENGKILAP! YANG LEBIH......”

kata-kataku menggantung tak terteruskan, tangisku sudah tak mampu kubendung lagi (bodo mau dikatakan anak cengeng juga oleh teman-temanku nanti disekolah).

Kuayunkan kakiku secepatnya berlari meninggalkan pekarangan rumah (secepatnya pergi, tak mau aku ibu tau kalau aku menangis). Keberangkatan ku dipagi itu diiringi sahutan suara serak ibu “hati-hati abang jangan lari-lari....” (entahlah, kupikir ibu juga menangis diwaktu itu)

Yah ibu rela mengorbankan semua hal untukku. Ringan saja. Tak pernah senyum itu hilang walau aku tau saat aku naik jenjang ke SMA kembali beliau menggadaikan anting-anting dan gelangnya (dan akhirnya cincin kawin serta sertifikat rumah pun digadaikan saat aku naik jenjang kuliah). Tak henti pula rela bekerja membantu ayah. Demi apa? Demi memberikan hal-hal terbaik yang dirasa penting untuk kupunya.

Dan lihatlah aku sekarang? Menjadi seperti ini karena usaha ibu dan ayahku. Dan bahkan walau aku sudah menjadi seperti ini mereka tetap tak mau merepotkan aku, menolak halus pemberian-pemberianku, tak mau menempati rumah yang kubangun mewah untuk mereka, tak menyentuh kendaraan yang kubelikan diwaktu itu, bahkan tabungan yang kuberikan oleh mereka tak disentuh. Mereka merasa sudah cukup itu saja alasannya. Hidup dari hasil ladang, gaji kecil perangkat desa ditambah gaji guru TPA sudah cukup bagi mereka. Ah kadang aku bingung memaksanya (kadang pemberianku kutinggalkan begitu saja, perkara mau digunakan atau disimpan digudang pun terserah saja).

“Pah mah.. Udah mau turun kapal terbangnya. Ayo cepetan! Ryo dah kangen ma nenek, kakek juga..” tarik anakku sekaligus membuyarkan lamunan.

Kuusap sudut mataku yang basah. Melempar senyum dan berkata “Iya dek, ayo.. kita ketempat nenek dan kakek”

.....................................................................................................

Sampai di Bandara Fatmawati Bengkulu, kami masih harus menempuh 2 jam perjalanan darat untuk menuju desa kami. Desa Talang Panjang. Desa kecil kelahiranku. Yah mau bagaimana lagi, memang seperti itulah ibu dan ayahku. Tak mau menempati rumah ditengah kota yang relatif dekat dari semuanya, lebih asyik memilih menghabiskan masa tua di Desa saja.

Ku buka pintu mobil yang baru saja berhenti di depan rumah panggung nan asri, rumahku! Tempatku menghabiskan masa kanak-kanakku. Di halaman sudah ramai oleh tetangga dan banyak sanak saudara. Aku pun turun diiringi istriku (ryo sendiri sudah menghambur girang menaiki tangga rumah sambil berteriak memanggil kakek neneknya, mana peduli dia dengan yang lainnya).

Ku coba menghela nafas menguatkan hati. Menggenggam tangan istriku dan pelan menaiki tangga rumah setelah bersalaman dengan sanak saudara lainnya. Mencium takzim tangan ayah didepan pintu rumah sambil pelan bertanya “Yah,bagaimana keadaan ibu?”.

Kulihat mata dari sosok tangguh itu redup, jelas terlihat rona sedih menggantung disana, di pelupuk mata ayahku yang terlihat sedih (aku yakin ayah habis menangis). “Kau temuilah Ibumu dikamar, ingin sekali dia bertemu denganmu. Berbincang-bincanglah dengan ibumu..” serak sekali suara itu. Tampak sekali perpisahan itu sudah didepan mata bagi ayah.

“iya yah, Abang ke kamar Ibu dulu.....” Getar suaraku berkata.
.....................................................................................................

Aku duduk disisi ranjang ibuku yang tergolek lemah namun masih tetap saja tersenyum menyambut anaknya. Ryo dan istriku diujung yang lainnya (ryo yang biasanya selalu aktif pun menjadi diam melihat kondisi Ibu, walau tak tahu sakit apa, tampaknya dia paham bahwa kali ini neneknya sakit yang cukup parah).

“Kangen kali Ibu melihatmu abang.. kemana saja kau? Jarang kali menjenguk Ibu..” kata ibu memecah keheningan yang ada.

“Ada bu, lagi ada beberapa proyek besar abangnya. Jadi belum bisa datang kesini..” lemah aku jawab kata-kata ibu. Sambil tertunduk muka pula. Tak tega hatiku melihat ibu yang tercinta tergolek tak berdaya.

“Tambah sukses saja anak Ibu. Tapi.. Jangan kau lupakan anak istrimu. Jangan mentang-mentang kau sibuk kau telantarkan mereka itu. Berapa kali kau sempat bermain bersama ryo dalam seminggu? Berapa kali kau sempat bercengkrama bersama istrimu? Jangan sampai hanya soal harta kau telantarkan keluargamu...”. Lirih, suara itu terdengar lemah tak bertenaga.

Ku anggukkan kepalaku mengiyakan kata ibu. Istriku diujung sana sudah mengusap sudut matanya. Terharu. Dan ya aku sadar. Kesibukan ini sudah seringkali membuatku seakan lupa akan keluargaku.

“Abang, Ibu cuma ingin berpesan sedikit untukmu.. Kau kerja untuk siapa? Untuk kebahagiaan keluarga bukan? Tapi ingat harta mu itu tidak bsa memberikan kebahagiaan untuk keluargamu... Kau bisa membelikan rumah.. kau bisa membelikan mobil.. tapi kau tak bisa membeli cinta dan kepercyaan keluarga.. untuk apa kau menumpuk harta kalau akhirnya anakmu malah menjadi terasing darimu. Istrimu menjadi dingin karena kesibukanmu... Untuk apa rumah megah kalau kau tak pernah mengisinya? Untuk apa mobil mewah besar nan megah kalau isinya hanya kau tanpa ada ryo atau istrimu yang tercinta? Semuanya dingin kesepian... Jadi tolong ingat pesanku ya nak..ingat pesanku..” tersengal, ucapan ini seakan dikeluarkan dengan sepenuh tenaga yang tersisa.

Kugenggam tangan ibuku. Kuusap wajah beliau yang masih saja tersenyum untukku. Ah bahkan disaat ini pun beliau tak mau menunjukkan kepayahan kepada anaknya walau mata itu sudah terlihat meredup kehilangan cahaya.

“Ah anak Ibu sudah besar..sungguh sudah besar..terima kasih ya sayang ibu..Terima kasih Tuhan sudah memberikan kehidupan yang sangat menyenangkan... Sungguh hambamu ini berterima kasih kepada-Mu...” suara itu putus putus. Tersengal lirih, berbisik dan akhirnya terhenti...

Lihatlah... Mata ibu sudah tertutup. Seulas senyum bahagia terukir indah di wajahnya. Denyut nadinya sudah tak kurasakan lagi. Mataku sudah bercucuran airmata dari tadi. Tampaknya Ibu benar-benar menahan semuanya hanya untuk bertemu dengan anaknya. Berpesan sedikit dan bercerita untuk anaknya yang dulu bandel sekali ini.

Kukecup kening ibu yang kucintai, pelan membisikkan isak kata

“terimakasih ibu... sesungguhnya abanglah yang harus berterimakasih kepada Ibu...”

.....................................................................................................

Acara pemakaman pun dilaksanakan ditengah mega mendung. Para pengantar sudah beranjak pergi. Tinggallah aku, Ryo, istriku, serta ayah disini. Memandang gundukan tanah merah dengan penuh arti. Baru kali ini kusadari sepenuhnya walau hidup itu nyatanya sampai bertahun-tahun (atau malah berpuluh tahun) ternyata terasa singkat sekali. Perasaan baru kemarin sore aku mengucapkan Janji kalung itu kepada Ibu, dan sekarang Ibu sudah pergi meninggalkan ayah, aku, istriku serta cucu kesayangannya.

Ayah yang berjongkok didepan makam ibu berkata pelan.

“Ibu mu meninggalkan bungkusan kecil untukmu dilemarinya. Jangan sampai tak kau bawa. Itu hal terakhir yang beliau beri untukmu”

Ku sentuh pundak ayah. Tertunduk takzim pelan berkata “iya Yah.. ayo kita pulang ke rumah”.

.....................................................................................................

Kupandangi bungkusan titipan ibu yang ditaruh di tas plastik itu. Baru sekarang di dalam pesawat berani kusentuh, tak sampai hati aku menyentuhnya saat aku dirumah bersama ayah (ayah menolak ikut denganku, seperti ibu, ayah memilih untuk tetap tinggal didesa). Entah dengan alasan apa tak sanggup aku membukanya.

“Gak dibuka saja yah??” Pelan istriku berkata (takut membangunkan ryo yang terlelap karena kelelahan).

Akupun tersenyum. Hambar. Sesak itu kembali menjalar didada. Tangan-tangan ini pun terasa kaku. Kupaksa syaraf-syaraf tangan bergerak membuka lembaran dua bungkusan sederhana berbalut koran itu, membukanya.. Melihatnya.. dan tak tertahankan lagi tangis inipun tumpah menggenang begitu saja..

Lihatlah..

Lihat isi bungkusan ini.. .

Satu stel seragam baru... Tas punggung lengkap dengan peralatan didalamnya.. Bungkusan yang satu lagi berisi sepasang sepatu baru untuk anakku..

Tuhan..... bahkan diujung hidupnya Ibu masih saja menyisihkan hartanya untuk menyenangkan hati cucunya.

Teringat saat terakhir percakapan via telepon itu dilakukan. Bagaimana Ryo berceloteh riang berkata bahwa dia akan sekolah minggu depan kepada neneknya (dan semakin kegirangan setelah mendengar neneknya menjanjikan hadiah untuknya, hadiah untuknya yang sudah mulai bersekolah). Rupanya ini hadiah terakhir dari ibu.....

Deras air mataku tercurah tak tertahankan lagi.

Kelabatan kenangan lama itu kembali tercetak jelas di memori ini.

Membuatku pelan bergumam sambil terisak tak tertahankan...

“Selamat jalan Ibu.. terimakasih untuk semuanya.. Sungguh abang sayang Ibu.. selalu....” read more..

lihat, cermati, resapi hal-hal yang sering kali luput tak tersadari..

0

Posted by median | Posted in

Bekerja di salah satu pusat kegiatan organisasi olahraga yang langsung bersebelahan dengan GOR serta lapangan plus lintasan lari membuat sya hapal dengan tingkah polah atlet. Apa kegiatannya. Bagaimana kegigihan dan kedisiplinannya berlatih demi cita-cita mereka. Dan inilah sedikit cerita tentang mereka, cerita ini sya dedikasikan untuk orang-orang yang memiliki mental baja akan pilihannya dan semangat juang tinggi dalam keterbatasan yang ada.

Saat itu sedang jam istirahat. Hari panas terik. Sya memilih duduk di tribun GOR (rada adem disana) sambil menikmati semangkuk bakso. Nyantai saja sambil melihat-lihat kegiatan di lapangan lintasan. Dilapangan ada yang sedang berlatih lompat jauh. Ada yang sedang lari. Ada yang sedang latihan lempar cakram dan lainnya. Hal rutin biasa (lah wong namanya jg lapangan GOR wajar kan atlet pada latian). Lama kemudian sya baru sadar akan satu peristiwa. Diujung situ, lah kok ada atlet lempar cakram tapi tepat didepannya ada orang lain yang bertepuk tangan keras-keras, apa gk takut kena lempar? (walau jaraknya lumayan jauh).

Penasaran membuat sya bertanya kepada atlet lain yang kebetulan duduk didekat sya. Hasilnya? Ternyata sya baru tau kalau atlet itu buta dan yang didepannya adalah pelatihnya. Memberikan instruksi ke arah mana sang atlet hrus melempar cakramnya dengan cara bertepuk tangan sekeras-kerasnya. Ya sya baru sadar hal itu, walau sya sering kali melihat ada yang latihan di lapangan tapi sering kali yang sya lakukan ya hanya sekedar melihat dan sekedar lewat. Mana sya tau kalau yang berlatih dengan giat itu atlet yang cacat.

Dan sore itu menjadi sangat bermakna bagi sya. Alih-alih menikmati bakso sya lebih tertarik memperhatikan lagi secara seksama. Mendapati fakta bahwa atlet lompat jauh diujung sana menerima instruksi dengan bahasa isyarat. Atlet yang sedang pemanasan diujung lainnya tak punya tangan. Bahkan ada atlet buta yang lari berdampingan dengan pelatihnya. Beragam hal lainnya yang membuat sya takjub akannya. Benar kata orang-orang tua, sekali waktu coba pandangilah sekelilingmu dengan seksama. Lihat, cermati, resapi hal-hal yang sering kali luput tak tersadari. Ada berjuta makna yang sering kali kita abaikan begitu saja kawan.

Sya bru tau akan diadakan PORCADA (pekan olahraga orang cacat daerah) Jabar. Maka tak heran pula bahwa atlet-atlet tersebut semakin sering latihan. Yang bikin sya geleng-geleng kepala ialah, atlet-atlet tersebut tetap latian dengan giat. Bahkan dua kali porsi dari biasanya di tengah hari terik begini.

Pelatih taekwondo yg deket sama sya aja bilang “gila yah, gk capek apa?tengah terik gini lari terus. Dua kali porsi latian biasa pula”.

Saat pulang kerja sya menjadi kefikiran banyak hal. Merenung (halah, lagaknya sudah kayak pemikir kelas berat saja, hehe) bagaimana sya sering mengeluh dalam melakukan sesuatu atau sesudah mencapai sesuatu merasa cukup, bangga dan kadang suka berbesar hati akannya. Tapi apabila sya lihat perjuangan para atlet ini entahlah keluhan sya terasa kerdil sekali. Didalam keterbatasan mereka tetap berusaha (tak ada keluhan atau tingkah yang menunjukkan kepayahan saat latihan), sedangkan sya yang dilimpahi keleluasaan malah seringkali mengeluh inilah itulah (lagaknya sudah kayak yang paling kesusahan saja).

Rasa cukup, bangga dan berbesar hati itu terasa sangat kerdil setelah melihat mereka. Apa yang sya banggakan? Sedangkan sya mencapainya dengan banyak kemudahan. Kalau sya seperti mereka kira-kira apakah sya sanggup untuk mencapainya? Membayangkannya saja jerih hati sya. Bagaimana sya membayangkan sya kehilangan kedua tangan sya atau penglihatan sya tetapi bisa tetap berjuang seperti mereka, tak sanggup sya membayangkannya. Sungguh.. lihatlah mereka, tetap berupaya maksimal bahkan dua kali lipat dari biasanya untuk mencapai segalanya. Lah sya? Walah, mau apa-apa aja suka malas. Tidur saja dibanyakin. Latihan suka berleha-leha. Belom termasuk yang lainnya. PEMALAS sekali.

Selain itu sya belajar banyak dari satu sosok lainnya, sosok sang pelatih alias guru bagi para atlet ini. Sya cari tanya-tanya dan sya ketahui kalau dia adalah seorang atlet nasional yang memilih mendedikasikan dirinya untuk melatih atlet-atlet cacat. Lagi-lagi yang membuat sya super takjub ialah melatih atlet biasa saja sudah susah bukan maen capeknya. Blom hal lain yang sering kali suka membuat naik darah (entah karena atletnya bandel, alat yg terbatas, dan lainnya). Lah ini? Malah mendedikasikan dirinya untuk melatih atlet seperti ini. Ni orang punya stok kesabaran segimana?

Sya tersenyum saat menyadari bahwa seorang pelatih itu menjadi super spesial saat dia rela berkorban lebih untuk murid-muridnya. Bagaimana seorang pelatih itu harus bisa memiliki kesabaran super extra hanya untuk membuat muridnya mengerti dan paham maksud dari instruksinya, harus mau bersusah payah belajar bahasa isyarat pula, bahkan ikut terjun langsung lari bersama saat prakteknya.

Kira-kira seperti itulah seharusnya guru. Tak segan berkorban. Tak malu harus slalu mengupdate atau menambah kapasitas dirinya demi kemajuan muridnya. Serta tak kenal lelah untuk ikut dalam kegiatannya. Demi apa? Ya demi keberhasilan muridnya, demi senyum senang muridnya saat berhasil nantinya. Ya itulah sosok guru bukan? Bukan sosok yang malah segan untuk berkorban, bukan pula sosok yang merasa sudah cukup dengan ilmunya dan slalu mrasa sudah paling benar, atau malah sosok yang cuma bsa menyuruh sedangkan sendirinya sendiri tak mau turun bahkan hanya untuk sekedar mencontohkan saja.

Hari itu sya tutup dengan satu kesimpulan dari satu pertanyaan sebelum tidur menjelang“kira-kira sanggupkah sya menjadi seperti mereka?”. Menjadi orang yang tak cengeng akan keterbatasan. Menjadi orang yang rela berkorban demi kemajuan sesama yang membutuhkan bantuan. Sanggupkah sya??????


p.s: bagaimana dengan anda? Sanggupkah? read more..

generasi manja???

0

Posted by median | Posted in

Sya nyaris tersedak mendengarkan satu pernyataan di televisi kalau generasi sekarang adalah generasi yang manja. Manja? Manja kenapa? Manja karena sekarang rata-rata hanya bisa berkata-kata saja. prihatin dengan keadaan A, turut bersimpati terhadap kejadian B, atau malah geram dengan kasus C. tapi ya itu tadi, hanya sibuk dengan kata dan apakah dengan kata-kata itu maka A, B, dan C itu akan berubah?

Sya tercenung. Otak sya berputar dengan beragam hal, memikirkan beragam contoh, mengingat dan teringat dengan banyak kejadian. Mereka-reka dan akhirnya menyadari satu dua hal. Apa?yah untuk permulaan saya akan share satu dua kejadian yang sya alami. Setelah itu sya rasa kaupun dapat mencari contoh sendiri di sekitarmu duhai kawan.

Saat itu sore hari. Kebetulan saya sekedar main saja, melihat-lihat kira-kira ada kejadian apa dikampus sya hari ini. Rupanya di salah satu pojok PKM (pusat kegiatan mahasiswa) sedang ada acara bertema nasib buruh dan petani. Maka sya pun “menyusupkan” diri disana. Tertarik juga ingin dengar apa yang diceritakannya (yah sya memang seperti itu kawan, suka “masuk” kedalam kegiatan orang,).

Yang sya dengar dari awal sampai akhir cuma protes dan keprihatinan. Protes akan pemerintah yang tidak mensejahterakan buruh dan petani. Keprihatinan akan nasib mereka yang tak kunjung membaik dari masa ke masa. Yah itu saja, protes, sumpah serapah akan kapitalisme, dan ujung-ujungnya menyerukan pemerintah untuk lebih memperhatikan buruh dan petani.

Sejujurnya saya nyaris tertawa mendengarnya (tentunya saya tahan daripada digebukin orang-orang,hehe). Kenapa? Karena banyak hal yang janggal bagi saya. Janggal yang bagaimana? (Oi, baca dlu cerita ini sampai akhirnya nanti juga akan tahu sendiri bagian yang janggal kawan).

Atau satu kejadian sederhana lainnya. Waktu itu sya lagi jalan-jalan autis. Nongkrong di foodcourt. Nulis-nulis. Cuci mata. Dan lainnya. Di sebelah sya ada empat orang, stelan kantoran, laptop diatas meja, konci mobil tergeletak, pesen juga yang mewah-mewah. gak kayak sya yang nongkrong paling mesen kentang goreng atau jus saja, hemat (bahasa halus dari kere tentunya,hehe).

Mereka berbincang-bincang tentang pekerjaan, pasangan, joke ini itu, smpai tibalah ke bagian yang seru. “ah jalanan semakin macet sekarang, ni mobil-mobil dah kebanyakan. Sumpek. Pemerintah bego kali y, gk bisa control apa-apa, seharusnya gini.. dan bla bla bla”. Jujur lagi, rasanya waktu itu mau sya timpuk juga rasanya tuh orang. Karena lagi lagi sya merasa janggal dengan apa yang dikatakan.

Dua contoh itu kalau kita lihat dengan jeli sebenarnya sudah memperlihatkan sesuatu hal. Apanya? Bahwa kebanyakan kita hanya bsa menjadi generasi manja, generasi peminta, generasi yang hanya mau memprotes dan menyalahkan saja tanpa mau turun serta mengambil peran untuk perubahan yang mereka harapkan.

Mahasiswa tadi? Apanya yang janggal? Kenapa buruh, petani atau masyarakat kecil lainnya tetap sengsara? selain pemerintah sebenarnya mahasiswa juga berperan serta menurut sya. Loh? Kok bisa? Bgini saja, mahasiswa saat jadi mahasiswa kebanyakan idealis, blg ganyang ini, dobrak sana, protes itu, tapi saat lulus dan jadi orang besar bagaimana? Sedikit sekali yang mau ingat idealisme mereka dulu untuk menolong orang-orang yang nun jauh di daerah sana, buruh petani atau yang lainnya. Kebanyakan malah menjadi seperti pemerintah yang mereka protes dulu sewaktu muda, diam saja, acuh tak acuh. Tak mau turun lagi kelapangan. Kebanyakan begitu bukan?

Kedua, kenapa sya bilang janggal. Apakah dengan diskusi yang ujungnya Cuma menyalahkan pemerintah, protes ini itu, meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan masyarakat kecil itu akan mampu merubah keadaan? Apakah otak kita mahasiswa tidak bsa diarahkan untuk mencari solusi ala mahasiswa dari pada menyalahkan saja? Setelah solusi itu sudah ada, maka pelan-pelan diwujudkan dilapangan. Yah pelan-pelan sesuai dengan kemampuan dan financial mahasiswa. Bukankah itu jauh lebih baik daripada menyalahkan? (dan saat sya tanyakan di sesi tanya jawab diskusi tadi malah tak bisa dijawab dengan baik, dan malah kembali menyalahkan pemerintah)

Trus untuk kejadian kedua, kenapa saat itu sya mau timpuk orang-orang itu? Perhatikan deh kata-katanya “kemacetan dan mobil semakin banyak…..”. dan jujur saja, dari empat orang yang ada, sya perhatikan seksama, semuanya bawa mobil! Empat orang pake empat mobil dan ngmg gitu? Mau sya timpuk juga deh.

Kenapa? Lagi-lagi yang sya bilang, mereka mau menyalahkan (meminta pemerintah untuk bias memecahkan masalah macet dan hal lainnya) tapi berkorban sedikit saja atau ikut andil untuk apa yang mereka inginkan saja tak mau. Mbok ya pake mobilnya satu aja dari pada empat sekaligus kan bisa? Bilang mobil kebanyakan bikin jalanan macet tpi sendirinya sndiri tak mau memulai gerakan untuk mengurangi kemacetan. Ya wajar toh jalanan macet (blon lagi menghitung orang-orang lain yang juga berperilaku seperti itu).

Jadi apa yang ingin sya sampaikan sekarang? Simple saja, janganlah hanya meminta dan menyalahkan padahal kita sendiri patut untuk dipinta dan disalahkan. Banyak hal, hampir di sekililing kita. Saat banjir, kita sering ngedumel banjir lagi banjir lagi, pemerintah kerja paan sih? Tapi sendirinya buang sampah sembarangan semaunya dan menjadikan dirinya sendiri salah satu penyebab banjir yang dia omelin sendiri (piye toh?). Masih banyak kejadian lainnya coba deh kita perhatikan dengan seksama.

Saat siang bolong dan hawa bener-bener berasa panas, yang sya dengar sering kali. PANAS BENER! Dan beberapa hal lainnya (entah umpatan, keluhan dan lainnya). Coba deh ambil bagian untuk action dan mencoba mengurangi efek panas tadi, nanam pohon kek, kurangi penggunaan kendaraan bermotor, atau apalah. Lebih efektif dan jelas gunanya bukan daripada ngedumel aja?

Tolong juga perhatikan benar apa yang namanya hak dan kewajiban. Apakah saat kita meminta hak kita sebagai warga negara kita sudah melakukan kewajiban kita sebagai warga Negara yang baik misalnya? Janganlah dulu berpendek akal untuk hanya meminta dan menyalahkan padahal sendirinya tidak mau berpartisipasi (dan kalau ditanya kenapa gak ikut berpartisipasi malah jawab “yah khilaf” atau paling parahnya malah bilang “suka-suka gue dong”). Kalau memang kewajiban sudah dilaksanakan trus meminta hak yah sya mah setuju saja, tapi kalau belum atau tidak maksimal bagaimana?

Sya disini bukanlah berpendapat untuk membela pemerintah, bukan. Bukan juga mau sok-sokan mengajari. Sya murni berpendapat karena saya percya bahwa kita juga harus berubah, bukan hanya meminta perubahan dari pemerintah atau hanya sibuk misuh-misuh menyalahkan keadaan yang ada. Bahwa kita generasi muda bukan hanya generasi manja yang bsa meminta dan menyalahkan saja, kita juga sangat mampu untuk menjadi motor dan mengambil bagian daripada hanya sibuk berprotes ria. Apa yang menurut kita kurang dan bisa kita ubah ya ubahlah (daripada hanya menunggu atau protes akan sesuatu yang lama baru terlaksana, atau malah mungkin tak terlaksana).

Ingat loh, saat kita menunjuk ke sesuatu, satu jari memang menunjuk kesana, tapi ada jari lainnya yang menunjuk ke arah kita (walau tertekuk posisinya). Artinya apa? Bahwa kita juga memiliki andil dalam beragam hal, termasuk kedalam hal yang sering (atau malah selalu) kita salahkan.

Coba deh sama-sama kita renungkan, mulai sama-sama mengubah diri, menjadi generasi yang benar-benar mandiri dan kreatif. Sya yakin bahwa tiap individu bisa mengambil bagian dalam hal apapun, memulai pergerakan kecil untuk perubahan besar sesuai dengan apa yang diimpikan. Marilah bergerak kawan, berhentilah hanya mengoceh, meminta atau menyalahkan. Mari bergerak untuk apa yang kita impikan :) dan semoga saat kita mendapat giliran untuk menjadi pemimpin di pemerintahan nantinya benar-benar bisa menciptakan perubahan. Karena kita bukanlah generasi manja, benar begitu kawan? read more..