Like father like son.... (chapter ke empat novel saya)

Posted by median | Posted in

..........................................
"Kau tau abang? ayahmu ini dulu tergolong nekat. Hampir semua pelosok indonesia di sumatra, jawa, kalimantan dan sulawesi sudah pernah bapakmu ini hampiri. Tak takut mati selalu itu yang bapakmu ini pegang dulunya. Berani! Apapun itu pasti bisa dihadapi!" ayah berkata sambil menyeruput kopinya.

Kupermainkan kunci mobil, memandang ke arah perkebunan sawit yang sudah lama tak ku kunjungi ini. Tak terlalu kudengarkan cerita beliau yang sedang duduk di bale-bale bambu di sebelahku. Sudah sangat sering aku mendengar cerita perantauan, plus seribu satu pengalaman lainnya. Biasa saja. Sudah terlalu sering kudengarkan. Kebal rasanya,haha.

"Tak terbilang pula berapa kali Ayah mu ini berkelahi. Mengambil resiko besar pada saat ikut dalam suatu proyek sudah biasa. Dan kau harus tau abang, kalau Ayah mu ini dulu playboy. Haha, urusan wanita itu gampang saja bagi Ayah. Tapi tau kah kau abang bagaimana dulu waktu bapak bertemu Ibu mu? Oi, pertama kali aku bertemu dengannya yang Ayah lakukan cuma bengong macam orang bego saja. Kaku badan Ayah cuma untuk mengulurkan tangan berkenalan. Dan Ibu mu hanya tertawa saja. Amboi mati kutu ayah sekali itu."

Ku alihkan pandanganku ke Ayah. Nah loh, cerita ini yang tidak pernah diceritakan. Soal perantauan sudah biasa, soal kenekatan mengambil proyek beresiko apalagi, soal ke playboy-an bahkan sampai hapal jurus-jurusnya beliau saat merayu, tapi soal cerita bagaimana berkenalan dengan ibu? Sumpah mati baru kali ini baru kudengar dari mulutnya sendiri.

Ayah diam. Pelan mengepulkan asap rokoknya. Senyap. Yang terdengar cuma suara-suara pekerja yang sedang memanen tandur buah sawit dan suara binatang hutan.

"Ayah sudah pernah berpacaran dengan banyak perempuan abang. Mau yang pintar dari ibukota sampai yang sederhana juga sudah. Yang cantik jelita atau yang biasa saja juga pernah. Tak ada satupun yang mampu membuat ayahmu ini sampai mati kutu seperti itu. Ayah ingat pula saat pertama kali ngapel kerumah ibu, wuah macam bunyi genderang perang saja jantung ayah. Dag dug dag dug dag dug. Berdiri di depan gerbang rumah ibumu. Berat kali rasanya untuk melangkah masuk. Belum lagi kakek mu dulu, galaknya wuah macam harimau saja waktu itu."

"Untuk pertama kalinya dalam hidup ayah ada wanita yang mampu membuat ayah bergetar. Hangat terasa dalam dada. Membuat ayah mabuk kepayang merindukannya. Walau kakek mu awalnya tak setuju tapi ayah kejar terus ibu mu. Yah kakekmu dulu tidaklah setuju, putus asa kali ayah dulu waktu ibu mu bercerita sambil menangis bahwa kakekmu marah tidak setuju akan hubungan kami". Raut muka ayah menjadi sedikit sendu. Membuatku berfikir, sebegitunya kah kakek tidak setuju akan hubungan ayah dengan ibu?

Ayah menghela nafas panjang, menyunggingkan senyuman kecil kemudian menyeruput kembali kopinya.

"Ayah berfikir abang, bahwa hal ini harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Karena ayahmu ini cinta ibumu. Benar-benar cinta. Jadi ayah siapkan hati, ayah datang ke rumah kakek. Datang mengaku kepada kakekmu. Bahwa bapakmu ini memang bukanlah orang yang paling baik, bukan pula orang paling kaya, tapi sungguh mati ayah berani bilang paling cinta kepada ibu mu dari laki-laki lain diluar sana. Ayah sungguh ingin mempersunting ibu mu! Dan untunglah sejak saat itu kakek mu melunak, terutama saat melihat ibumu menangis terharu mendengar perkataan ayahmu. Sebulan kemudian ayahmumu ini sudah duduk dipelaminan dengan ibu, amboi bahagia kali hati ayah di saat itu".

Ada bulir air mata di pelupuk mata ayah. Aku yakin itu air mata kebahagiaan. Tak menyangka ternyata ayah sedemikian tidak berdayanya waktu itu untuk mendapatkan ibu. Berusaha dengan sangat keras saking cintanya. Membuat aku kali ini tersenyum, berkata dalam hati dengan bangga "itu ayahku!!!"

"Jadi tolong ingat abang, kalau engkau menemukan wanita yang mampu membuatmu seperti itu. Ayah tau bagaimana susahnya bahkan untuk berkata. Menggerakkan jari pun macam mau menggoyang tembok beton saja. Tapi berusahalah abang. Jangan menyerah. Karena semuanya harus diusahakan sampai titik darah penghabisan. Sampai benar-benar waktunya habis. Camkan itu!!".

....................................................................................

Like father like son. Begitu pula alasan aku sedang berdiri di udara yang membeku didepan pintu gerbang panti ini. Kurapatkan jaket kulitku. Melirik kearah jam tanganku. Bah, Jarum jam sudah menunjuk angka 6 tepat tapi tetap saja bandung dipagi ini udaranya dingin menyesap ke tulang. Membuat orang-orang tak mau beranjak dari pembaringan, hari libur pula. Hari ini aku harus masuk kedalam panti. Mengetahui apakah benar itu dia, permata yang kucari selama ini.

Ku pencet bel gerbang. Mendengar suara dari dalam sana. Beberapa lama kemudian pintu panti terbuka. Satu sosok laki-laki yang kutaksir umurnya 50-an datang menghampiri tergopoh-gopoh.

"Assalamualaikum kang.." sapa ku. Bersikap seramah mungkin (plus berusaha menenangkan degup jantung yang semakin tak menentu. Toh sebentar lagi aku mungkin saja akan bertemu dia didalam)

"Waalaikumsalam A, aduh punten ya A lama. Anak-anak lagi siap-siap mau kebersihan di dalam. Ada apa ya A?

"mmmmmh, begini pak. Sya Tian. Rencana saya mau menyumbang untuk panti bapak. Tapi ya sya mau liat-liat dulu keadaan panti. Boleh kita bicara didalam saja kang?". Sudah ku susun strategi untuk mendapatkan info sebanyak mungkin tentang keadaan panti. Lagipula kebetulan perusahaanku memang mau membayar zakat, jadi sekalian saja ku gunakan sebagai alasan untuk mendapatkan info tentang panti ini.

Dengan cekatan bapak-bapak ini membuka gerendel kunci gerbang panti. Membuka slot penguncinya. Berkata dengan ramah.

"Wuah kami sangat senang sekali A. Mari silahkan masuk kedalam"

..................................................................

Hoooo, ternyata dalamnya panti ini lumayan menyenangkan. Yah tidak banyak barang-barang yang ada disini. Tapi menyenangkan. Hawanya tentram. Dari ruangan ujung sana terdengar suara anak-anak kecil yang sedang bersih-bersih kamarnya. Celetukan. Tawa. Satu dua terdengar rengekan manja.

"Wuah kang lagi rame-ramenya ya anak-anak?". Kuedarkan pandangan keliling ruangan. Berusaha mencari sekilas sosoknya. Atau apapun yang berkaitan dengan dia. Foto mungkin atau apapun.

"Ah biasa A. Biasa namanya juga anak-anak. Mari duduk A. Teteh tolong minumanya. Ada Tamu..". Kang yayat menyilahkan duduk.

Ahhh, tidak ada foto apapun yang menunjukkan sosok dia di dinding ruang tamu ini. Setengah kecewa aku segera duduk untuk menenangkan pikiran. Apa benar sosok yang aku liat beberapa hari kmaren adalah sosok permata? Coba aku tanya pelan-pelan saja, mudah-mudahan ada kabar tentang permata. Aku harus tenang..

"Kang, dah berapa lama pantinya berdiri? Terus sekarang ada berapa anak yang diasuh disini?". Mulai kupasang taktik "interogasi" ku.

"Ah sejak dulu. Akang sama teteh cuma meneruskan menjaga. Lagi pula kami tidak punya anak, rasanya tentram disini. Berasa punya anak yang banyak". Canda kang yayat kepadaku. Seorang wanita paruh baya keluar membawa nampan berisi dua cangkir teh panas. Oh, ini istrinya kang yayat rupanya.

"Mari a, diminum. Maaf cuma ada ini saja". Sapa istri kang yayat kepadaku.

"Iya teh, nuhun"

"oh ya kang, yang jaga cuma akang berdua? Atau ada orang lain?". Pancingku. Semoga saja mereka menyebutkan nama dia, permata.

"memang ada beberapa orang yang menjadi sukarelawan disini A. Mereka sering berganti-ganti datang kesini". Ahaaa, ini dia. Petunjuk kesana. Harus pelan-pelan saja mengorek petunjuk seperti ini. Salah salah akan dicurigai malah.

"mmmh, begitu rupanya. Begini kang. Saya punya niatan untuk menyumbang uang dan peralatan untuk panti. Kalau diperbolehkan, saya ingin melihat anak-anak langsung boleh kang? Jadi bisa tau kira-kira butuhnya apa. Yah sambil nyantai saja sekarang, gak usah nyuruh anak siap-siap segala". Pertama-tama aku harus memeriksa anak kecil yang kulihat bermain dengan permata waktu itu.

"Mari A kalau begitu. Kita ke kamar anak-anak". Kang Yayat beranjak dari tempat duduknya mempersilahkan ku masuk kedalam.

.....................................................................

Mereka semua sedang sibuk bersih-bersih. Liatlah dipojokan sana dua anak sedang mengelap jendela kamar, ada yang sedang menyapu, ada yang sedang membereskan tempat tidur. Ada pula yang malah asyik saling melempar bantal ke yang lain. Riuh sekali, Haha, anak-anak. Mau dimanapun mereka berada tetap saja anak-anak.

"yah begini A, anak-anak. Rata-rata masih SD yang paling besar masih SMA A". Jelas kang yayat.

Kuperhatikan dengan seksama, mencoba mencari sosok anak kecil lucu nan imut yang kuliat waktu itu. Aha, itu dia sedang tersuruk-suruk tertawa di bagian bawah tempat tidur. Sedang bermain rupanya.

"Anak-anak cepetan bersih-bersihnya. Sebentar lagi sarapan!". Kang yayat berkata dengan suara yang sedikit keras.

"kang, boleh sya masuk? menyapa anak-anak?" tanyaku.

"silahkan saja A, sya tinggal sebentar. Mau mengecek kebelakang. Tidak apa-apa kan A?"

Kuanggukkan kepalaku. Bagus, malah aku lebih gampang mengorek keterangan dari anak itu kalau gak ada kang yayat.

Mendengar perkataan Kang Yayat tadi, anak-anak semakin semangat menyelesaikan bersih-bersihnya. Tak terlalu mempedulikan aku yang mulai masuk kedalam ruangan. Ah, paling cuma sukarelawan atau tamu yang baru datang melihat-lihat. Mungkin itu pikiran mereka (mana kutau benar atau salah, haha)

"wuah, adek ngapain ni dibawah kasur? Maen petak umpet tah?". Sapaku kepada anak kecil perempuan nan lucu yang masih sembunyi dari tadi di bawah ranjang ini.

"aaaaahhh, atuh aa. Nanti arum ketauan ngumpet dibawah kacur. Disuruh bercih-bercih nanti kan capek arumnya". Manyun. Anak kecil bernama arum ini merengek manja.

Haha, mau ketawa aku dalam hati. Jelas-jelas keliatan gitu sembunyinya juga. Masa gak ketauan dari tadi. Paling anak-anak yang lain membiarkan arum gk kerja karena dia masih kecil. Makanya mereka diam saja gk menyuruh arum bekerja.

Aku duduk di ranjang tempat anak kecil itu bersembunyi. Membungkuk sedikit ke arah anak itu "oh ya, aa ngmg pelan-pelan klo gitu. Biar gk ketauan yah? Oh yah, aa juga ada hadiah kecil nih. Mau gk?"

Kusorongkan satu batang coklat yang kuambil dari saku jaket ku. Salah satu bagian strategiku, coklat. Sogokan kecil. Anak kecil mana yang bisa menolak coklat batangan sebesar ini coba?

"wuaaaah, aciiiikkkk.. Makacih aa cakep. Tapi diam-diam aja yah? Tar arum mau bagi. Kacih kejutan ke yang lainnya". Mata anak ini berbinar-binar menerima coklat sebesar ini. Mengerjap-ngerjap dengan lucu. Cadel pula.

"keluar atuh, ngobrol ma aa. Masa dibawah terus. Pan capek aa nya bungkuk terus. Tuh anak-anak bentar lagi juga mau beres bersih-bersihnya". Bujukku.

"Anak-anak, sudah kan bersih-bersihnya? Bersihkan diri kalian. Langsung ke ruang makan. A nanti ikut kita sarapan saja". Dari ujung sana Kang yayat berkata dengan suara keras.

Arum langsung keluar. Tergopoh-gopoh memasukkan coklatnya kedalam baju. Berteriak "iya, arum tar kecana...". Membuatku tertawa kecil saja, ekspresif sekali anak ini.

Dan arum pun menarik tanganku. Berkata "aa ikut arum yuk. Mam ma arum cama yang lainnya".

Yaaaah, mau gak mau aku pun ikut saja. Toh memang benar-benar menyenangkan ternyata.

...................................................................

Ruangan makan ini tidak cukup besar, maka tak heran cuma ada meja yang mampu memuat paling banyak delapan orang. Padahal kalau aku hitung-hitung anak-anak mencapai tiga puluh orang lebih. Semuanya mengantri dengan tertib untuk mengambil jatah makanannya.

Aku masih berbincang-bincang dengan kang yayat, teh lilis sibuk menyiapkan makanan, arum malah sibuk bergelayut manka dikaki ku. Tampak senang sekali karena mendapatkan sogokanku itu. Berceloteh riang.

"mari A, kita makan dulu. Anak-anak sudah mengambil jatah sarapannya" lembut teh lilis berkata sambil mengisyaratkan tangannya ke arah arum untuk menghampirinya.

Arum menggeleng, bersembunyi di belakangku. "gak mau.. Mau bareng aa cakep ajah".

"ya udah hayu arum mam bareng kita". Kang yayat berkata ramah.

Dan suasana sarapan pagi ini benar-benar menentramkan. Makan bareng dengan Teh lilis, kang yayat, arum kecil. Benar-benar seperti keluarga sendiri. Mendengarkan cerita masa muda kang yayat dan teh lilis, celotehan-celotehan arum. Sampai saat arum berkata.

"tar arum mau kenalin aa cakep cama teteh permata. Padahal aa cocok ma teteh permata yang cantik. tapi cayang teteh dah punya aa ridwan". Celoteh arum yang kesekian kalinya. Berceloteh riang sambil menyendokkan makanannya. Belepotan. Khas anak kecil umumnya.

Uhhuk, aku yang sedang mengunyah makananku tersedak dibuatnya. Tanpa dikorek pun malah info ini datang dengan sendirinya. Ridwan, pacar permata memang dia. Ah, itu ternyata memang benar dia. Sosok permata yang kuliat kemarin bukanlah khayal semata.

"permata? Siapa ya teh?" tanyaku.

"permata, dia sukarelawan disini. Deket banget dengan arum. Udah kayak adik sendiri. Makanya arum kalau ada apa-apa pasti larinya ke permata". Jelas teh lilis.

I see, sekarang semuanya sudah jelas. Pantas aku tidak melihat dia disini hari ini. Statusnya cuma sukarelawan jadi kemungkinan besar dia pulang dulu hari ini. Untunglah, berarti aku masih bsa mempersiapkan hati untuk bertemu dia.

............................................................

"mari kang, insyaallah maksimal dalam dua hari kedepan sya sudah datang kesini dengan bantuan yang dibutuhkan". Kusalami kang yayat dan teh lilis. Ku acak-acak sedikit rambut arum. Pamitan kepada bocah kecil nan lucu ini.

"tar yah arum. Tar aa datang lagi aa bawa coklat yang banyak deh"

"horeeeeeee, janji ya aa". Arum mengulurkan kelingking kanan kepadaku. Memasang senyumnya yang paling manis. Aeh kalo gak ada kang yayat ma teh lilis mungkin sudah kubawa pulang ni anak, haha..

Kuulurkan kelingking ku, mengaitkannya dengan kelingking arum. Berkata pelan dan mantap "janji.."

Dan aku pun pamit, aku sudah tau mau kemana kalau harus mencari permata. Secepatnya aku akan kesini lagi.

Kubuka pintu gerbang, mengarahkan pandangan ke arah kang yayat, teh lilis dan arum. Melambaikan tangan. Membalikkan badan dan sumpah terkejut setengah mati karena tanpa aku sadari permata sudah berada didepanku. Dekat sekali. Baru kali ini aku melihat dia sedekat ini.

Sialan, aku gk bisa berkata apa-apa. Pipiku panas (pasti mukaku memerah). Tampangku bengong macam orang bego saja. Kaku badanku bahkan hanya untuk mengulurkan tangan bersalaman.

Yang mampu ku ucapkan hanyalah

"hai....."

Dan permata yang kulihat pun juga terpaku seperti ku. Diam saja. Tak bergerak. Mungkin tak enak bertemu ku yang tiba-tiba mungkin datang mengganggu.

Kutundukkan kepalaku, menarik nafas panjang, berusaha menenangkan degup jantung yang sudah macam genderang perang. Berkata pelan sambil tertunduk.

"Dua hari lagi aku akan datang lagi kesini. Tolong, kuharap engkau ada disini..."

Ku paksa kakiku yang terasa berat untuk melangkah. Melewatinya. Melangkah dan segera menaiki motor yang kuparkir di belakangnya. Menekan tombol starter dan segera pergi. Berfikir dan menggumam dalam hati,

"sepertinya aku paham perasaan ayah sewaktu bertemu ibu pertama kali dulu........." read more..

Related Posts by Categories



Comments (0)

Posting Komentar

Posting Komentar