Catatan (calon) Guru: chapter 1, Tantangan, ditantang, menantang..

Posted by median | Posted in

Kukira hari ini suasana sekolah akan seperti biasanya. Ditengah-tengah lumpur yang menggenang sana sini (karena hujan deras dari malam tadi) sekolah akan tetap berlangsung membosankan seperti sedia kala. Bagaimana tidak membosankan? Kami semua harus belajar dari buku lusuh fotokopian. Membayangkan peralatan praktek yang tak pernah kami pegang. Guru yang mengajar seakan tak pernah makan sarapan, loyo! Selalu terlihat loyo.

Kujejakkan kaki dengan hati-hati. Berjalan di sisi tebing nan licin seperti ini bisa kapiran kalau tak hati-hati. Salah-salah jatuh berdebam berguling-guling menuju jurang. Oi, ritual biasa yang harus aku tempuh menuju SMK ku demi menuntut ilmu.

“Ri, cepatlah! Matahari sudah mulai meninggi. Alamat kita dihukum lagi kalau telat begini”. Gema suara seseorang diujung sana.

“Sabar! Tak sabar sekali kau ini. Tak lihat kau jalan jelek ini. Lumpur merah plus balok-balok kayu bertebaran dimana-mana. Hujan sialan. Untung saja tak longsor, kalau longsor tambah susah saja jalan mau ke sekolah” Balasku.

Ya itulah rute yang harus kami tempuh, 3 kilo perjalanan demi sekolah di satu-satunya sekolah SMK yang ada di kampung kami. SMA atau SMK lainnya? Ada di kecamatan. Mana kesana harus menempuh 2 hari 3 malam perjalanan. Kampung ini terletak di salah satu lereng gunung. Listrik saja susah diadakan (harus pakai genset bertenaga air sungai itu juga). Jadi 5 kilo perjalanan masih jauh lebih baik bukan? Jadi sudah biasa. Sudah biasa saja semuanya.

..............................................................................................

“Buset..dah pagi lagi...”

Kukucek mataku. Berdiri perlahan meluruskan tulang dan merenggangkan sendi-sendiku. Perjalanan menuju ke sekolah ini sungguh menyiksa. 2 hari tiga malam, tidur di sisi hutan, seadanya, naik motor trail pula. Sudah kayak mau ke medan perang saja. Perjalanan dari ibukota, kecamatan, kemudian kampung ini benar-benar menguras tenaga.

Kubuka pintu belakang rumah reot ini. Rumah tembok tanpa pelitur beralaskan semen seadanya yang akan menjadi tempat tinggalku selama 6 bulan ini. Berjalan setengah terpejam menuju kamar mandi. Berhenti tepat didepannya dan membelalakkan mata tak percaya.

“Yaelah, kamar mandi setengah tiang gini?”. Celotehku melihat kamar mandi bertembok setengah badan ini.

Isinya? Ember bekas cat dua biji (kosong tanpa air tentunya), sumur timba plus gayung seadanya. Lah WC nya mana? Ku edarkan pandangan memperhatikan sekitar. Nah tuh dia diujung deket pohon. Kepisah. WC jongkok alakadarnya. Tiba-tiba entahlah, melihat itu semua sudah menghilangkan hasrat untuk mandi membersihkan diri (walau 2 hari 3 malam perjalanan blom kena air bersih sama sekali).

Kucuci mukaku, usap-usap badan pake handuk basah cukuplah pikirku. Mengenakan stelan kemeja lengan panjang, menggulung lengannya, menyemprotkan parfum (yang banyak). Tak lupa menyelipkan dompet plus rantainya (bodo mau dibilang guru preman juga). Dipikir-pikir ganjil juga rasanya berpakaian serapih ini. Ya sudahlah, mending aku menghadap kepala sekolah secepatnya.

..............................................................................................

“Oi Cing, benar ada guru baru datang kesekolah kita?” Kugaruk kepalaku sambil bertanya. Ganjil sekali perkara ini. Dari awal aku bersekolah sampai kelas tiga sekarang belum pernah kulihat guru lain yang mengajar disini. Mana ada yang mau mengajar di sekolah kampung seperti ini. Sudah jauh. Gaji kecil. Fasilitas seadanya. Tapi ini? Masih ada rupanya yang mau mengajar disini. Bingung aku dibuatnya.

“iya, tadi kulihat guru baru itu di ruang kepala sekolah. Laki-laki. Putih, wangi, berpakaian rapih. Sudah kayak orang kaya di jakarta saja”. Balas Arief “kucing” kawanku. Mulutnya tak henti mengunyah tempe goreng sarapannya.

“kau tau guru itu mengajar apa? Tinggal dimana guru itu? Kapan dia datang kesini?” rentet tanyaku saking penasarannya.

“Mengajar apa? Mana ku tau mengajar apa. Lihat saja nanti dia mau mengajar apa dikelas kita. Kudengar guru itu datang tadi malam. Sekarang dia tinggal di rumah diujung jalan dekat kelas kita”

“Rumah itu? Rumah itu kau bilang?”. Kuteguk ludah tak percaya. Alamak tak salah dengar kupingku.

Dan kawanku yang ditanya itu cuma mengangguk saja. Tak peduli walau dia sendiri ku yakin ngeri mengetahuinya. Guru itu tinggal disana? Rumah yang bahkan warga sinipun tak berani mendekatinya. Kira-kira seperti apa guru baru ini. Penasaran kali aku dibuatnya.

Teng... Teng.. Teng..

Lonceng tua itu akhirnya berbunyi juga. Telat lebih setengah jam dari jadwal yang seharusnya. Harusnya jadwal masuk itu setengah delapan. Tapi tampaknya urusan guru baru ini benar-benar menjadi perhatian sampai-sampai masuk pun telat dibuatnya. Kami sendiri senang-senang saja. Asyik kumpul bercerita diwarung mak ijah, warung satu-satunya yang ada di dekat sekolah. Kapan lagi coba? Pak Indra, Kepala sekolah kami itu benar-benar disiplin waktu orangnya.

“Cing, Ari, Cepat Masuk!! pelajaran akan segera dimulai.”. Teriak Guci, salah satu kawan sekelasku. Haeh, pelajaran nan membosankan akhirnya akan dimulai juga.

..............................................................................................

“Ini semua surat-surat yang sekiranya diperlukan pak. Ada surat pengantar dari diknas, ada surat pengantar dari kampus saya, dan berkas-berkas lain yang mungkin sekiranya diperlukan. Terus sekarang saya langsung mengajar ya pak?”. Tanyaku kepada sesosok orang yang berada didepanku. Perawakannya kecil, kepala setengah botak, berkulit gelap, berkumis besar melintang berpandangan gahar. Kalau tak ada tanda kecil dimejanya yang bertuliskan “Kepala Sekolah” plus seragam PNS-nya mungkin orang ini sudah ku anggap preman pasar saking sangarnya.

“Ya.. Kau mulai mengajar sekarang. Di kelas 3 otomotif diujung kiri sana. Masuklah, Pak Ridwan sedang tak mengajar menjaga istrinya yang hamil tua. Maaf bapak tak bisa mengantar kau berkeliling. Kau lihat-lihatlah keadaan sekolah ini, kenalan dengan guru-gurunya, jangan sungkan menggunakan apa yang ada disini. Bapak sebentar lagi mau pergi, ada undangan rapat desa. Jadi lagi tak bisa menemani”. Suaranya tegas. Kaku (Cocoklah dengan penampilan beliau pikirku). Diambilnya map berisi berkas-berkas yang kuserahkan. Diperhatikannya dengan seksama. Kemudian kembali berkata-kata.

“Oh, kau sampai tadi malam? Maaf bapak tak sempat menjemputmu ke kecamatan, mendadak sekali pemberitahuan dari orang-orang atas sana. Kau taulah untuk turun ke bawah saja harus menempuh perjalanan yang tak dekat jaraknya. Jadi tolonglah harap maklum. Kau boleh tinggal di rumah ujung sana. Itu sudah kami sewa untuk masa tugasmu 6 bulan ini. Kalau ada apa-apa jangan sungkan kau hubungi bapak ya”.

“iya pak, saya sampai tadi malam. Saya sendiri mohon maaf kalau merepotkan bapak dan staff guru lainnya. Kalau ada apa-apa saya pasti akan memberitahukan bapak” tegasku kepada Pak Indra.

Tiiiinnnnnn Tiiinnnnn......suara klakson menggema dari arah depan.

“Nah tuh dia jemputannya. Bapak berangkat dulu ya. Bapak pulang paling siang nanti.” Pak indra berdiri. Menepuk pundakku sedikit. Bergegas keluar menghampiri suara klakson tadi.

Akupun ikut berdiri, berjalan mengantarkan Pak indra kedepan (bersopan santun sedikit tak apalah, itu pesan dosen ku sebelum berangkat). Melewati ruangan guru yang sepi sekali (hanya ada dua orang staff TU) ke arah parkiran.

Diparkiran sudah ada satu motor bebek semi trail plus seseorang yang tak kukenal. Didekatnya kuperhatikan juga ada beberapa motor lagi terparkir rapih. Dua motor GL, beberapa motor bebek lainnya plus satu Honda C70 lawas yang menarik minatku.

“Bekjulnya bagus. Motor bapak?”. (Isengku kumat jadi kutanyakan saja). Kupegang stang bekjul itu dan baru ngeh kalau motor ini tak dikunci stangnya.

“iya motor bapak. Sudah ya, Bapak pergi dulu. Kau masuklah. Anak-anak sudah menunggu disana”. Sejurus kemudian mesin motor dihidupkan, memutar arah dan langsung berangkat meninggalkan aku (dan keisenganku yang sedang kumat akan bekjul ini). Haha, yah pecinta otomotif sejati susah melihat barang lawas. Di rumah saja aku mengkoleksi puluhan motor dan mobil tua.

Kuperhatikan semuanya. Buset ni motor orisinalan semua. Cuma kotor saja. Mesinnya? Kucoba menyelah engkolnya. Nah loh kok langsung hidup? Geleng-geleng kepala aku dibuatnya, gk dikunci stang, trus sekali engkol langsung nyala. Gak takut dicuri apa?

Kutinggalkan bekjul lawas itu. Tinggal kembali ke ruang guru sebentar, mengambil tas, langsung bergegas menuju kelas.

WAKTUNYA MENGAJAR.....!

..............................................................................................

Inilah aku didepan kelas. Meletakkan Tas, membacakan buku absen dan bengong sejenak melihat isi kelas. Papan tulis biasa. meja, kursi, tak ada pajangan sama sekali. Sebenarnya tak ada yang ganjil untuk urusan peralatan dan perlengkapan kelas. Yang membuat aku bengong ialah MURID-nya. Sekilas memperhatikan tak ada tampang polos disini, semuanya bertampang kaku, keras (tampaknya kehidupan benar-benar menempa mereka sedemikian rupa), cuek, bahkan ada yang terlihat terkantuk-kantuk dipojokan sana.

“assalamualaikum...” Sapa pembukaku (dipikir-pikir, jarang sekali aku mengucapkan salam seperti ini kalau dikota).

“waalaikumsalam pak...” koor menggema menjawab salamku.

Kududuki meja guru (ah stelan santai saja, malas juga aku duduk manis di kursi guru saja). Mengedarkan pandangan memperhatikan satu persatu raut muka murid-murid 6 bulanku. Kelas ini kecil berisikan 20 orang murid (kurang dua yang tak masuk).

“Perkenalkan nama Bapak, Dian, Dian Swarna Dipa. Asli Jakarta dan sya akan menjadi guru kalian untuk 6 bulan kedepannya”.

Muka-muka cuek itu sedikit banyak mulai memperhatikanku. Yang terkantuk mulai mengusap-usap mukanyua. Yang sibuk bercanda mulai mengurangi aktivitasnya. Semuanya mulai fokus menatapku (Hooo, jadi ini rasanya jadi guru. Menjadi pusat perhatian dan pusat ilmu. Menarik. Sangat menarik).

“Bapak berkuliah di jurusan permesinan. Bertugas disini dalam rangka program Diknas pusat. Jadi bapak enam bulan kedepan akan fokus membagikan ilmu permesinan kepada kalian. Baik teori maupun prakteknya. Kalau ada yang ak...........”

“Pak.....” Satu tangan terangkat memotong pembicaraanku.

“yok, ada apa?”(kesel juga sebenarnya, belom apa-apa sudah ada yang seenaknya memotong pembicaraan)

“Kalau bapak lihat workshop (bengkel praktek) sekolah ini nyaris tak berisi apa-apa. Peralatan pun cuma itu-itu saja. Jadi bapak mau mengajar praktek apa? Praktek menulis?” Pungkas murid tadi yang mengacungkan tangannya. Berambut cepak berbadan kekar, santai saja murid yang satu ini berkata dengan sinisnya.

“hooooo, kamu mau praktek?” Tanyaku.

Anggukan malas menyambut pertanyaanku. Jelas sekali murid ini tak mengharap banyak akan kedatanganku.

Kusunggingkan senyum. Nyaris tertawa malah. Bujang, aku datang jauh-jauh kesini bukan cuma bermodal keberanian. Sedikit banyak sudah kupersiapkan semuanya. Akupun berdiri, menekankan jari-jariku ke bangku murid, menarik nafas panjang dan berkata dengan intonasi lantang.

“Bapak mau tanya lagi. SIAPA SAJA YANG MAU PRAKTEK??NGACUNG!!!”.

Dan lihat. Lihatlah semua mata itu sekarang sempurna mengarah kepadaku. Lengkap dengan tangan yang terangkat. Tak ada lagi mata yang mengantuk. Tak ada lagi yang sibuk bermain. Umpan tantangan itu sempurna menarik perhatian mereka.

“Kamu yang bertanya tadi. Pergi ke ruang guru. Ada Kardus disana. Kamu ambil, bawa ke workshop. Yang lain bawa tas kalian, kita ke workshop sekarang! Praktek akan segera dimulai!”

Sedetik kemudian anak-anak ini sudah berlarian keluar kelas. Ada yang terjatuh pula(lah jelas-jelas licin bekas hujan semalam).

Dan aku hanya tertawa kecil melihatnya, berkata pelan

“sabar, sabar. Gak bakal lari workshopnya juga..”

..............................................................................................

Semua sudah berkumpul. Duduk mengelilingku dengan rapih. Muka-muka antusias yang menyenangkan.

“Ini pak Kardusnya”. Sorong murid yang kusuruh tadi. Sedikit banyak kulihat caranya berbicara dan memandangku sudah mulai berubah. Menjadi lebih menurut.

“Terimakasih...mmmmh, siapa namamu tadi? Bapak lupa padahal baru tadi mengabsen kalian semua”

“Agung Pak.. Nama saya Agung”. Selesai menjawab agung pun bergabung dengan yang lainnya.

Kubuka penutup kardus ini, mengeluarkan isinya. Dua tas peralatan perbengkelan. full set. “peralatan tempurku”. Hobi balap, kuliah Teknik Mesin, orang tua yang super berkecukupan, sebenarnya wajar saja kalau aku memiliki semua ini.

Tapi berbeda dengan murid-muridku. Mata-mata itu membulat melihat beragam peralatan baru itu. Berbisik. Saling sikut. Jelas sekali tertarik oleh peralatan itu.

“Tenang.. semua akan pake alat-alat ini. Jadi santai saja”. Sahutku menenangkan keadaan.

Kususun alat-alat berjejer disamping tempatku. Memancing antusiasme itu semakin meninggi. Bukankah guru itu harus seperti itu? Harus tau saatnya untuk menaikkan antusiasme, harus tau caranya untuk membangkitkan semangat, demi kemajuan dan perkembangan murid-muridnya. Ya ini semua kupelajari langsung dari “master”nya.

“Semuanya sudah tau kan prosedur Tune Up standar? Masa kelas tiga belum dapet materi Tune Up motor standar? Sudah hapal kan runtut prosedurnya?” Tanyaku.

“Sudah Pak..”. Kompak semuanya menjawab. Jelas sekali tak sabaran.

“Oke, kalau begitu hari ini kita tune up motor. Kita bagi empat tim bergant....” dan lagi-lagi belum sempat kuselesaikan kata-kataku, agung sudah mengacungkan lagi tangannya. Kembali bertanya.

“Pak.. Motornya mana? Disekolah ini tak ada mesin motor untuk praktek”.

Kukerenyitkan keningku. Tak ada? Masa iya separah itu. Kalau alat tak lengkap wajar saja, banyak sekolah bahkan didaerah jawa pun begitu adanya. Tapi mesin praktek gak ada? Masa iya? Jadi selama ini nih anak-anak praktek apa? Nulis? (apa ini penjelasan kenapa agung bisa berkata sesinis itu)

“bener-bener tak ada? Masa?”

“ada pak sebenarnya. Tapi mesin gelondongan. Gak bisa nyala pula. Selama ini cuma dipakai praktek untuk bongkar dan pengenalan mesin saja” terang agung kepadaku.

Halah, gawat juga. Kupikirkan semua opsi yang ada, tak mungkin juga kutarik kata-kataku untuk praktek di hari ini. Apalagi anak-anak sudah seantusias ini. Sampai pemikiran itu tiba. Ah bodo dengan resikonya, yang penting praktek!

“Gung.. kamu jaga kelas sebentar. Ada yang harus bapak ambil! Anak-anak yang lain langsung bagi kelompok. Per kelompok 5 orang dan ingat alat-alat jangan dulu diapa-apakan. Paham?” tanyaku yang langsung dijawab oleh anggukan.

Akupun keluar. Mengambil satu “hal” yang tadi terlintas dipikiran. Ya kadang mengambil resiko perlu juga sekali-sekali.

..............................................................................................

“anak-anak. Grup satu dan dua pengenalan alat. Bapak mau grup satu dan dua mencatat semua nama peralatan yang bapak bawa lengkap dengan kegunaannya. Kelompok tiga silahkan menonton video tentang tune up otomotif. Semuanya melaksanakan sesuai dengan yang bapak arahkan!! nanti bergantian semua akan mendapat giliran” Kukeluarkan laptopku. Menghidupkannya dan menyetel videonya (untung baterenya masih penuh).

“Kelompok empat kesini”

Agung, dan empat orang lainnya mendekatiku. Jelas sekali raut muka cemas tergambar dimuka mereka, kontras dengan grup lain yang sudah riuh asyik melaksanakan tugasnya.

“kelompok empat langsung praktek Tune Up motor”. Ke jejerkan satu tas peralatan lengkap didekatku. Mempersiapkan semuanya.

“Tapi... Tapi Pak.. Kita masa pakai motor ini?”. Pungkas salah seorang murid.

Motor ini? Ya motor ini. Satu motor bekjul yang awalnya terparkir rapih diparkiran depan tadi. Satu motor bekjul lawas milik Pak Indra lah yang sekarang kujadikan “korban” praktek kali ini. Wajar saja anak-anak ini cemas, motor kepsek yang bertampang galak itu dipake praktek? (Agung yang sinis dan cuek itu bahkan jelas memperlihatkan muka tak percaya).

Saat keluar tadi ku pergunakan untuk “meminjam” motor ini. Tak ada kunci stang, tak perlu konci kontak untuk menghidupkan menjadikannya sangat cocok dijadikan motor untuk praktek. Lupakan dulu urusan izin, lah Pak Indra-nya lagi pergi. Lagian bukankah tadi beliau bilang untuk “jangan sungkan menggunakan apa yang ada disini” Jadi ku bawa saja kesini. Simpel (maaf ya pak, motornya tak pinjem dulu).

.”halah, kalian cowok bukan?”

“Ya cowo pak!!” sahut mereka.

“Jadi kenapa gak berani? Bukankah tadi kalian semua bilang ingin praktek? Lagian bapak juga sudah dapat izin khusus dari Pak Indra. Urusan kalian sekarang praktek. Urusan lainnya? Percayakan sama bapak! Paham?” Ya lagi-lagi, “tantangan” khusus (plus bohong sedikit) untuk membangkitkan keberanian dan antusias anak-anak. Tantangan yang menjadikan muka-muka cemas itu menjadi tenang dan bersemangat kembali.

Kusodorkan selembar kertas plus pulpen ke agung.

“sekarang kalian semua tulis nama kalian dikertas ini. Sesudah itu mulai prosedur tune up standar. Ingat hati-hati. Kalau ada yang tidak mengerti jangan asal bongkar, tanya dulu ke bapak. Dan agung kau jaga semuanya jangan sampai ada yang salah” Ujarku yang disambut anggukan mantap agung dan keempat murid lainnya.

Haha, tampaknya aku mulai menyukai peran baru ku ini.

..............................................................................................

Lima menit. Sepuluh menit. Setengah jam lebih pun berlalu tanpa kusadari. Dipojokan kanan, grup satu dan dua antusias sekali mencatat peralatan dan fungsinya, memegangnya (plus bermain pura-pura menggunakannya), bahkan ada beberapa orang murid yang asyik menggambar juga. Tampaknya peralatan yang aku bawa itu benar-benar berhasil menghipnotis perhatian mereka.

Dipojok kiri, grup tiga sedang terpukau melihat video tune up standar, video biasa sebenarnya. Kukombinasikan sedikit dengan beberapa info baru tentang teknologi terbaru di bidang otomotif dan permesinan. Tapi tampaknya anak-anak ini sangat menyukainya (satu dua kali malah terdengar celoteh kagum dan komentar-komentar lainnya).

Grup empat? Hoho, lancar sekali melakukan seluruh prosedur tune up standar. Agung mengatur dengan baik pembagian pekerjaan. Ternyata walau terlihat nakal, ceplas ceplos asal ngomong, agung sangat bisa diandalkan. Mungkin pembawaannya saja yang begitu. Ku baca kertas absen grup empat. Agung, Ari, Arif, Sigit dan Guci. Anak-anak menarik. Kita lihat saja enam bulan kedepan hal apa lagi yang akan terjadi.

“Pak...” Agung tiba-tiba sudah berdiri didepanku.

“yok? Kenapa gung?”

“Semua sudah beres. Tinggal dicek sama bapak.”

Sebenarnya aku nyaris mau tertawa. Melihat raut muka agung yang kaku itu (apa masih cemas takut kena marah pak indra y?). Tambah lagi mendengar caranya melapor. Kok berasa kayak sedang upacara bendera ya?

Kuhampiri bekjul korban praktek ini. Ari, Arif, Guci, dan Sigit duduk mengelilinginya. Kuperhatikan blok mesin. Tak ada yang rembes (bagus juga mengingat mereka baru pertama kalinya praktek resmi). Rantai kencang. Yang lain-lainnya juga baik-baik saja. Kuselah enkolnya. Hidup ternyata! (Hebat juga ni anak-anak)..

Oke, saatnya mengevaluasi pikirku. Hal yang dulu sering beliau lakukan dan sekarang akan aku tiru. Ku isyaratkan mereka semua untuk duduk melingkar mendekat kearahku. .

“Sebelumnya bapak mau memberi tahu kalian bahwa bapak datang kesini untuk berbagi sedikit ilmu. Kalau ada yang ingin kalian tanya, jangan sungkan bertanya. Gak ada yang bakalan marah. Jangan sungkan pula untuk main ke rumah bapak. Untuk enam bulan kedepannya saya akan menjadi guru kalian. Jadi mohon bantuannya ya.” selorohku (menyambung perkenalan tadi dikelas yang terpotong gara-gara agung tadi)

Kuperhatikan muka-muka mereka. Agung yang awalnya tak acuh sudah sempurna mengubah sikapnya. Terlihat hormat sekarang. Arif yang kusadari sebagai murid yang terkantuk-kantuk dipojokan kelas sudah bersemangat raut mukanya, begitupun dengan Ari, Sigit dan Guci. Raut muka cerah. Tampaknya “penampilan perdana” ku sebagai guru berjalan dengan sukses.

Kusunggingkan satu senyum, berkata dengan nada setengah berbisik ke arah mereka.

“Mau tau satu hal lagi?”

“apa pak?” tanya agung.

“motor ini bapak pinjem tanpa izin langsung sebenarnya...” aku sengaja menggantung kata mendramatisir suasana. Memperhatikan bagaimana rasa cemas itu kembali hinggap di raut muka mereka.

“Dengan kata lain motor ini bapak asal bawa saja. Tapi jangan khawatir, bapak akan bicara langsung nanti dengan pak indra. Kalian tidak akan kenapa-kenapa. Percaya sama bapak. yang ingin bapak tegaskan disini ialah, jangan ragu untuk mengambil resiko untuk hal yang lebih baik. Jangan pula menunda kesempatan. Kalian tadi ingin praktek bukan? Kalau bapak menunda-nunda dan minta izin dulu bisa-bisa baru esok lusa kalian praktek. Itu juga kalau diberi izin. Kalau tidak? Seperti yang kau bilang tadi kan gung, sampe sekarang kalian tidak akan pernah praktek bukan?”. Kulihat agung dan yang lainnya mengangguk. Yah semoga saja yang kusampaikan ini akan masuk kedalam pemikiran mereka.

“itu saja yang ingin bapak sampaikan... Oh ya, kerja yang bagus! Rapih. Kalian semua memang calon-calon mekanik handal! Sekarang rapihkan bekas prakteknya, buat laporan langkah-langkah praktek tadi. Dan jangan lupa kembalikan motor pak Indra keparkiran”. Kataku sambil melepas senyuman. Menyenangkan. Melihat bagaimana muka-muka ini buncah mengembang oleh rasa senang (haha, agung bahkan sudah tersenyum lebar).

Yak misi mengajar di hari pertama lancar. Melihat anak-anak ini se-antusias ini ternyata sangatlah menyenangkan (pantasan saja beliau begitu menyenangi dunia mengajar). Kira-kira hari kedepannya akan bagaimana ya? Ah bodo.. Liat nantilah. yang penting sekarang nikmati saja raut muka mereka yang ceria.... read more..

Related Posts by Categories



Comments (0)

Posting Komentar

Posting Komentar