Aku mengenal beliau di suatu senja..

Posted by median | Posted in ,

Aku mengenal beliau di suatu senja. Ringkih terbatuk-batuk sambil menghisap rokok, beliau duduk pojokan sana menunggu pelanggan datang membeli dagangannya. Badannya kurus, raut muka yang terlihat tua. Tapi entahlah, sesuatu di matanya berkata beda.

Dan senja itu akhirnya membuat perkenalan ini ada, nama beliau rohmat. Sederhana saja. Mengaku sudah tak punya kampung halaman, hidup sebatang kara di tengah kota yang makin lama terasa makin ganas menghimpit penghuninya.

“bagaimana pula bapak punya kampung halaman lagi nak? Apa yang ada? Semuanya sudah tidak ada. Istriku tercinta sudah lama meninggal. Anak-anak merantau tak pernah pulang. Tak ada kabar berita. Satu pun sampai sekarang. Maka bapak putuskan untuk mencoba mencari mereka disini, hasilnya? Nihil. Bapak berjualan untuk menopang hidup bapak sampai sekarang. Ahh, kalau diingat-ingat sudah lebih dari 10 tahun bapak disini”. Itulah intro awal percakapan kami di senja itu.

Yah, sesederhana itu alasan beliau untuk berada disini. Sendiri di kota sebesar ini hanya untuk mencari. Untuk memperjuangkan apa yang dia percaya dan dia yakini. Walau aku tau, kemungkinannya nyaris mendekati mustahil untuk menemui anaknya. Lah bagaimana bisa? Menemukan tiga anak-anaknya yang merantau kekota? Dengan cuma bermodal nama, foto pun tak ada. Tapi beliau tetap percaya dan berusaha.

Kok bisa yah? Memperjuangkan sesuatu yang sebenarnya beliau sendiri tau hampir mustahil untuk digapai.

“nak, bukan masalah apakah itu mustahil atau bukan. Yang penting berusaha. Hati bapak bilang cari, jadi daripada bapak “gila” berdiam diri saja. Maka lebih baik bapak mencari disini. Matipun tak apa. Setidaknya bapak mati karena mencari, bukan karena berdiam diri saja”.

Oi, belum pernah diriku menemukan orang yang seperti ini. Berani membela apa yang dia yakini. cuma dengan modal kepercayaan saja maka beliau tak peduli dengan susahnya, beliau berusaha. Tak peduli resikonya. Dan saat itu juga kutaruh respekku pada level tertinggi untuk beliau. Ah, memang benar belajar itu bisa dimana saja dan dari siapa saja. Asal ada kesempatan maka raihlah.

Maka sekali dalam seminggu aku menyengajakan diri untuk menemui beliau. Duduk santai bersama beliau. Terkekeh-kekeh bercerita (tentunya sesudah itu beliau batuk hebat sampai terlihat tersengal nafasnya). Berbagi cerita apa saja. Menghabiskan waktu sampai beliau terlihat lelah (dan akupun pamit, tak enak pula mengganggu beliau yang lelah).

Suatu hari, batuk itu semakin hebat. Kuputuskan membawa beliau ke dokter. Tapi apa yang dia katakan?

“sudahlah nak, bapak tak mau merepotkan. Lagian bapak tau batuk ini terutama datang karena rokok ini yang nyaris tak henti bapak hisap”. Sembari tersenyum beliau mengusap punggungku.

Aku protes. Beliau menggeleng. Ah, apa perlu aku pukul beliau dan menggendongnya ke dokter? (yang tentunya aku tak berani melakukannya). Sekeras apapun aku protes beliau tak mau. Bahkan obat-obat yang aku bawa pun dia tak mau menyentuhnya (apalagi meminumnya).

Maka aku mencoba mengalihkan permintaan menjadi “pak, apa bisa bapak berhenti menghisap rokok? Atau setidaknya menguranginya”. Tak tega aku melihat beliau yang saban kali merokok, saat itu juga batuk yang kadang kala membuat aku khawatir saking terlihat parahnya.

Dan lagi-lagi aku mendapat jawaban yang membuatku tertohok dengan kerasnya. Sepele, tapi nyaris membuatku menangis mendengarnya.

“nak kau tahu latar belakang bapak, kehidupan bapak? Nyaris tak ada kemewahan selain senyuman anak-anakku yang telah lama hilang, atau belaian sayang istri tercinta yang telah lama meninggal. Bagi kamu mungkin inilah yang membuat bapak sengsara, batuk tak henti dengan parahnya. Tapi itu bagi kamu. Tak pandang usia tua, muda, kaya, miskin, Semuanya kebanyakan merokok bukan? rokok adalah satu “kemewahan” yang bisa bapak capai. Bapak tak dapat menikmati kemewahan lain, bapak tak punya rumah, tak punya harta. Bukan, bukan bapak menyesalinya. Tapi biarkan bapak menikmati hal ini, rokok ini, kemewahan ini. Selagi bisa”

Dam aku terdiam, nyaris meleleh tangisku. Bagai makan buah simalakama. Yah aku tau bahwa inilah yang membuat beliau susah. Sakit demikian rupa. Tapi beliau yang tau itu bersedia mengambil itu dengan alasannya. Jadi apa alasanku lagi untuk memaksanya berhenti? Saat itu aku sadar, untuk tak pernah memandang lagi hanya dari satu sisiku sendiri. Jangan pernah memandang sesuatu hanya dari benar dan salah. Karena pengalaman hidup itu berbeda-beda, jalan itu tak semuanya mulus dalam setiap kehidupan individu. Bolehlah aku mengingatkan, tapi meminta berhenti? Apa pula hakku?

Dan kembali aku merasa penuh oleh pelajaran, bertemu beliau yang hidup dengan falsafah sederhana membuatku merasa bertambah kaya.. bukankah seseorang yang mampu menyederhanakan hidup yang rumit, dan mempraktekkan kesederhanaan itu didalam hidup adalah seorang yang hebat.

Ah, macam-macam yang kupelajari dari beliau. Aku tau bagaimana dia yang dulunya seorang preman besar, ditakuti dan disegani, kekayaan apalagi. tetapi sekarang malah menjadi begini. Satu-satu semuanya menghilang dari kehidupan beliau. Dan lagi-lagi dia hanya berpesan “ingat nak, segala sesuatu sudah ada waktunya. Apa yang sudah ada dan diterima ya terima saja dengan ikhlas. Akui. Jangan jg engkau menghindar dan tak mengakui keberadaanmu, masa lalumu”.

Jadi tak pantas aku mengatakan iba atau kasihan untuk beliau, baik kisahnya maupun hidupnya. Toh beliau sendiri tidak mengasihani atau meratapi apa yang ada di dirinya (walaupun itu susah, sangat susah malah). Aku hanya bisa salut akan sikapnya yang ada sekarang. Dan ini hanyalah secuil, ada seribu satu hal lain yang kupelajari dari beliau. Menyenangkan. Selalu menyenangkan untuk belajar.

Suatu senja aku kembali berniat mendatangi beliau. Hari biasa, tak ada kejadian istimewa. Saat itu langit gerimis kecil (walau langit tidaklah gelap seperti hujan sebagaimana biasanya). Ku datangi tempat biasa, lapak biasa sang bapak berjualan. Yang kutemui hanyalah gerobak jualan dia biasanya. Kosong. Tak ada minuman. Sepi. Sosok beliau tak ada.

Bingung. Hilir mudik aku bertanya kepada orang-orang. Adakah yang melihat bapak rohmat? Kemana dia pergi? Siapa tahu saja ada yang melihat. Dan lagi-lagi nihil. Tak ada yang melihat. Beliau pergi begitu saja, entah apakah ingin mencari anaknya ditempat lain atau apa.

Aku duduk. Menghela nafas. Sibuk berfikir kemana beliau. Kehilangan (walau anehnya aku tak merasa sedih sebagaimana umumnya perpisahan). Karena seperti apa yang dikatakan oleh beliau “percyalah dan lakukan”. Maka aku percaya kepergian beliau pun memang ada waktunya. Seperti perkataan beliau diwaktu itu..

“Segala sesuatu sudah ada waktunya. Jadi ya terima saja..”

Kutatap langit senja. Kusunggingkan senyum tipis akan suatu keganjilan. Aku mengenal beliau di suatu senja dan aku berpisah dengan beliau juga di saat senja. Jadi percayalah! walau jalan yang diatur olehNya sungguh tak terduga oleh kita para makhluknya. read more..

Related Posts by Categories



Comments (0)

Posting Komentar

Posting Komentar