sepi itu ada..

3

Posted by median | Posted in


Entahlah rasa apa yang ada malam ini
sepi,sendiri,susah,tak dipercaya
campur aduk tak mengerti berapa besar persentasinya
bingung oleh pertnyaan kenapa?
malas dengar pertanyaan bagaimana bisa?
muak pula dengan pertnyaan karena apa?

mungkin..
aku hanya ingin ditemani
dipercya sepenuh hati tanpa ada yang ditutupi

oleh mereka..
orang-orang yang kuanggap berharga
pura2 tidak tahukah mereka?
walau aku sudah meneriakannya sekuat tenaga.....

jadi sudahlah..nikmati saja..
kesendirian itu nanti pasti akan diganti oleh_Nya

mungkin saja
walau tak kuketahui kapan waktunya..


read more..

torehan peringatan akan satu hubungan..

0

Posted by median | Posted in

satu catatan untuk dia


Catatan ini hanya a tuliskan untuk kamu. Anggaplah ini pengakuan. Suatu harapan. Suatu keinginan. Untuk hubungan kita. Untuk hubungan yang jujur saja tak terpikirkan akan dijalin oleh_Nya. Jadi tolong dengarkan hal ini, renungi, camkan dalam hati kita yang sedang menjalin kisah ini.

A tahu a tak pandai menjalin hubungan. Sering kali menjalin hubungan dan putus di tengah jalan. Dan disnipun a tak mau menyalahkan siapa-siapa atas hal itu. Mana a peduli apa itu salah a ataupun salah mantan-mantan a. A hanya bisa mengira, mengumpulkan garis-garis samar yang masih membekas dan menyisa. Memberi tahukannya pada mu demi satu harapan yang ingin kita bina. Yah demi rasa percaya yang sedang kembali a bangun untuk sebuah asa.

Tolong ingat bahwa kita semua ingin dimengerti. Ingin disayangi. Ingin dicintai. Bukankah untuk itu kita menjalin hubungan? Yang ingin a sampaikan cuma kita harus paham saat meminta itu. Ada saatnya kamu ingin merengek manja minta dimengerti. Tapi ada saatnya pula a terlalu lelah untuk berdiri. Membutuhkan sandaran untuk belaian yang menguatkan hati dan pikiran ini.

Ada saatnya pula kamu membutuhkan kabar a. Darimana? Dengan siapa? Sedang apa? Ya akan a jawab semua itu. Tapi tolong berilah kepercayaan lebih kepada sosok yang km bilang kamu sayangi ini. Bahwa walau a hilang kabar (entah karena sibuk, habis batere, atau mungkin maaf kata sedang malas balas saja) a tetap sayang km. Percaya bahwa a bisa menjaga diri dan menjaga perasaan yang sedang kita jalin bersama-sama ini. Bukankah itu yang terpenting? Mensupport dengan sebuah kepercayan. Dan itu jauh lebih penting daripada sekedar kata-kata kurang penting mengenai kabar bukan?

Jangan pernah sungkan kepada a. Mau masalah apapun itu. Ceritakan. Karena a gak mau ada noda kebohongan yang nanti akan menciptakan suatu hal yang menggoyahkan. Bukankah kita pacar? Saling sayang? Dan apakah pantas untuk sungkan atau malah menutupinya dengan kebohongan justru kepda orang yang kita sayang tersebut? Jangan sampai ada hal seperti itu yah? Karena itu fatal. Teramat sangat malah.

Ingat kita haruslah siap saling memberi. Saling berbagi. Saling sayang. Saling mengerti. Saling kompromi. Bukan merubah kamu menjadi apa yang a ingin. Tapi kita harus berkompromi dan mengalah demi suatu kelanggengan. Ada waktunya dimana kamu harus meredam manjamu yang sedang ingin diperhatikan, ada pula waktunya a untuk membuang ego a untuk selalu dimenangkan. Dan itu bukan berarti merubah watak bukan? Karena tidaklah mungkin dua hal yang berbeda bisa sama kalau tidak ada kompromi dan saling mengalah dari kitanya. Begitu saja.

Dan satu hal lagi ya sayang. A ingin ingetin bahwa ada kalanya kita pasti berantem. Dan bukannya mendoakan kita akan berantem. Tapi camkan kalau lagi-lagi hal itu tidaklah terelakkan. Pasti terjadi maksudnya. A cuma mau berpesan. Jangan sampai bila kita berantem malah akhirnya kita saling menyalahkan. Saling mengungkit kejadian-kejadian lalu. Saling maki dengan kata-kata kasar yang menyakiti.

Sebaliknya a mau kita saling instrospeksi. Mengaku saja masing-masing tanpa harus dituduh. Bukankah kita sudah cukup dewasa untuk tahu apa saja kesalahan yang telah kita lakukan. Alih-alih saling tuduh. Lebih baik kita saling tanya, diskusi sebenarnya. Mengaku salah pabila memang ada yang salah. Dan akhirnya saling komit tidak mengulanginya. Mencari solusi dari kondisi sesulit apapun yang telah ada. Lebih baik bukan?? dari pada berteriak, menangis tak tentu, marah-marah tak keruan kepada a ataupun kepadamu.

Cuma itu saja yang a ingin sampaikan. Tak banyak yang a tuliskan (walau a mampu untuk itu). A tak mau terkesan merayu ataupun mengada-ada demi rasa yang ada di drimu. Anggap saja tulisan ini semacam titik awal mula. Sebuah torehan untuk memperingatkan. Sehingga pada saat kita jenuh, marah dan mungkin ingin berpisah maka titik ini akan mengingatkan kembali akan komitmen awal yang kita jalin ini. Satu torehan peringatan untuk menghilangkan kejenuhan, meredakan kemarahan, menghapuskan rasa untuk kata haram seperti perpisahan. Semoga kita bisa selalu langgeng ya sayang... berdoa dan berusaha..amin... read more..

dan dua tali takdir itu telah dipilin kembali (chapter tiga..)

0

Posted by median | Posted in

chapter 3 novel sya "dan semua ada waktunya.."



Pagi hari ini sejuk. Mentari muncul malu-malu. Burung-burung keluar dari sangkarnya, bercengkrama dengan sejuknya udara. Inilah mereka, tian dan permata. Berada di dua tempat yang berbeda. Melewati malam-malam yang penuh dengan doa. Malam-malam doa yang panjang. Memohon sungguh-sungguh kepada_Nya. Permohonan untuk dipertemukan. Permohonan untuk satu takdir kebersamaan. Dua manusia yang terpisah oleh tempat, terpisah oleh kenyataan, terpisah oleh getirnya pilihan. Dan sungguh beruntunglah mereka karena pagi ini dua tali takdir itu mulai dipilin kembali oleh_Nya. Sedikit demi sedikit. Erat berputar menjadi satu kesatuan lagi. Maka sungguh bebal otak kita yang suka berkilah akan janji_Nya. Manusia yang lupa bersyukur saat janji itu tiba. Manusia yang selalu mengumpat saat dirundung masalah. Percayalah bahwa Dia, Yang kuasa, akan memenuhi semua doa. Dengan semua keadilan_Nya. Dengan semua pertimbangan_Nya. Bersyukurlah. Terimalah nikmatilah karena semua selalu ada waktunya.

….........................

..........................




Hotel, at bed 08:17 AM..

“you've got a message.....”.

Aku terbangun. Menggerutu. Mengomel setengah terpejam. Sepagi ini di hotel ini seharusnya aku bisa bangun tinggi hari. Bermalas-malasan sekali sekali. Toh flight time kebandung masih sore, sengaja aku memesan jam segitu karena ada janji dengan teman lama ku. Seorang pengusaha muda di bagian real estate yang ingin menunjukkan proyek barunya. Proyek yang ambisius itu. Beberapa kali masuk headline utama dan menjadi percakapan hangat diantara para pengusaha properti. Masih teringat jelas suaranya sewaktu menelponku

“Datanglah ke proyekku, sekali ini saja teman. Sudah lama kita tak bertemu. Datanglah sebelum matahari terbenam. Kan lu dari dulu suka melihat langit? View disini bagus sekali jam segitu. Oke? Gue tunggu..”.

Dan lihatlah sekarang, aku malah terbangun oleh satu sms sialan di pagi hari. Kuraih communicatorku, dengan mata setengah terpejam kubuka sms sialan itu.

“syg kemana? Kok dari kemaren gk kasih kabar siy? Sms-sms aku gk dibales. Telpon gk diangkat. Kapan pulang? Kasih kabar yah kamu lagi ngapain. Kangeeen..”

Sialnya ternyata itu satu sms dari para wanitaku. Sialan. Mata mengantuk. Kepala yang masih terasa pusing karena wine semalam yang ku teguk. Tambah lagi pesan singkat yang intinya sama saja dengan “laporan”. Memuakkan. Aku sudah pernah berdekatan dengan beragam jenis wanita. Intelek, model, orang biasa, orang alim, cantik, biasa saja, atau malah yang bertipe bitchy sekalipun aku pernah. Tapi kenapa satu pun aku tidak menemukan wanita yang bisa memberikan kepercayaan penuh kepadaku. Alih-alih mengirimkan pesan yang mensupport, joke ringan yang membuatku tersenyum dan selalu mengingat mereka ini malah meminta laporan setiap saat. Memangnya aku ajudan mereka? Sedikit sedikit musti laporan. Tak tahukah mereka kami kaum laki-laki tidaklah suka merasa seperti itu. Merasa dianggap seperti musang. Musang yang bila tidak “dikontrol” dengan baik maka akan langsung berpaling memangsa yang lain. Jadi buat apa mereka mau menjalin hubungan bila tidak percaya? Menggelikan.

Aku abaikan pesan singkat itu. Memikirkan satu kemungkinan, bahwa sepertinya wanita ini juga akan masuk daftar mantanku berikutnya. Tersenyum dengan satu fakta yang baru hinggap di pikiranku “perasaan belum pernah aku berpacaran mencapai setengah tahun lebih. Sering kali hanya sebulan dua bulan saja”. Ku letakkan kembali communicatorku ke sisi bantal, beringsut sedikit dari pembaringan, menggeliat mengucek mata. Berdiri. Segera pergi mandi. Berfikir mungkin dengan guyuran air maka aku bisa segar kembali. Yah mungkin...


Hotel, bathroom 08:24 AM..
Kuputar kran shower. Membiarkan aliran air hangat membasahi sekujur tubuh. Menyenangkan juga mandi dengan air hangat sepagi ini. Pusing ku sudah mulai menghilang. Pikiranku mulai terasa benderang. Hanya pada saat-saat seperti inilah aku bisa bersantai, tidur sampai siang hari (walau toh tetap saja kalau ada masalah sedikit maka para bawahan akan langsung menelpon tergopoh-gopoh), bermalas-malasan sedikit sebelum rutinitas itu datang. Berurusan dengan semua orang. Sangat banyak orang. Tapi anehnya entah kenapa semuanya terasa semakin kosong. Tak sanggup segala urusan menghilangkan rasa itu. Merasa sendiri.

Sejak jauh dari DIA aku memutuskan untuk semakin tenggelam dalam kesibukan, aku ikuti beragam organisasi, mendatangi beragam acara, total dalam membesarkan usaha-usaha yang kurintis. Tempat baru. Wanita baru. Orang-orang baru. Rekan baru. Teman-teman baru. Banyak, teramat banyak. Tapi kekosongan itu semakin besar saja. Sesak aku dibuatnya. Sering kali merasa sendiri justru saat aku berada di keramaian semua orang. Dan sejujurnya aku tidak terlalu menganggap semua orang itu bisa dianggap teman yang baik atau setidaknya bisa dipercaya. Ah entahlah, mungkin aku masih kurang menjelajah. Masih kurang mencoba hal baru. Masih kurang tenggelam dengan rutinitas-rutinitas yang ada. Atau mungkin aku hanya membutuhkan DIA? Permata itu? Entahlah, pusing kembali kepalaku hanya dengan memikirkannya saja.

Selesai mandi aku segera berpakaian. Seadanya. Jeans robek plus kaos hitam polos cukuplah. Keluar dari kamar hotel. Memutuskan untuk mencari satu atau dua novel bagus di mall depan sana. Hitung-hitung jalan-jalan berolahraga. Berapa minggu yah aku tidak berolahraga? Latihan di dojo seperti biasa. Seingatku hampir dua bulan lebih aku tidak datang.

Tersenyum masam mengingat sensei akan memarahiku (dan hal itu berarti sparing serta bantingan yang banyak). Belum terhitung rengek manja si kecil laras, astri, aster, opik dan yang lainnya, “om tian kemana aja? Gak mau tau pokoknya tar anterin pulang. Traktir makan juga. Kalo gak musuh!!! om tian jahat!!”. Dan untuk ini aku tersenyum riang. Selalu terasa menyenangkan latihan beladiri bersama mereka. Ksatria-ksatria kecil (walau dalam beberapa hal malah terasa mirip seperti penjahat kecil, haha).

Mall ini, baru dibuka pun sudah penuh dengan pengunjung. Wanita terutama. Selidik punya selidik ternyata ada SALE? Haha, pantas saja. Lihatlah mereka bergerombol seperti semut cuma untuk rebutan satu dua pasang sepatu yang didiskon (aku bahkan ragu apakah itu benar “diskon”. Karena toh harganya sama-sama saja). Saling sikut berdesakan cuma untuk satu dua potong pakaian. Saling tarik plus umpatan untuk mendapatkan satu dua pasang sepatu. Ah bagian mananya dari indonesia yang disebut “krisis” kalau melihat hal ini? Sibuk mereka belanja beberapa potong pakaian, memborong beberapa pasang sepatu. Aku bahkan ragu apa itu akan dipakai sepanjang tahun? Atau hanya dua tiga kali dan ujung-ujungnya dianggap usang. Masuk gudang! Dengan santai bilang “mode fashion sudah ketinggalan zaman teman”. Terkadang untuk beberapa urusan aku tidak pernah mengerti jalan fikiran manusia. Terutama untuk urusan seperti ini. Aneh, benar-benar aneh.

Akupun melenggang masuk ke salah satu toko buku di mall ini. Toko yang bagus. Musik yang cozy, penataan rak yang apik, warna yang terkesan hangat. Akupun langsung berjalan menuju rak buku baru. Mencari beberapa novel bagus, syukur-syukur kalau mendapatkan novel filsafat yang bagus (yeah, I really luv philosophy). Melihat-lihat dan memutuskan untuk mengambil satu novel yang menarik hati setelah membaca resensinya. Beranjak ke kasir. Membayar sejumlah uang dan langsung pergi ke cafe terdekat. Tujuan selanjutnya: sarapan plus membaca tentunya.




Mall, cafetaria 11:35 AM

Ah menyenangkan. Duduk di cafe yang sepi nan nyaman, bertemankan novel bagus. Plus sedikit cemilan plus minuman. Memanjakan pikiran sebentar (mengingat dalam beberapa jam lagi aku akan kembali sibuk dengan pekerjaan). Cuma membutuhkan dua jam kurang untuk menghabiskan 354 halaman novel ini. Maka aku duduk rileks, memakan cemilan yang dari tadi tidak terlalu dipedulikan (kebiasaan. Kalau aku sudah asyik dengan satu hal maka aku akan tidak mempedulikan banyak hal. Apalagi ini cuma sekedar cemilan). Mengedarkan pandangan dan memperhatikan pengunjung lainnya. Mmmmh, ada beberapa pengunjung. Dua bangku didepanku ada seorang wanita. Di pojok kiri juga wanita. Di ujung pojok sana ada pasangan yang sedang bercengkrama.

Sambil menghirup minuman aku memperhatikan wanita yang berada dua bangku didepanku. Cantik juga. Rambutnya hitam panjang. Berkacamata. Terlihat intelek pula. Terlihat sedang menyantap makanannya. Dan akupun memutuskan untuk melihat kemungkinan menggodanya (nah ini juga kebiasaan lama,haha). Tidak banyak yang aku lakukan. Hanya memperhatikan dia selama kurang lebih 20 menitan (ibarat pemburu maka observasilah terlebih dahulu) melihat “tanda” yang dia berikan baru membuatku memutuskan untuk langsung mendekati “buruan”. Hunting time..

“Tanda”? ya “tanda”. Salah satu teori konyol yang aku ciptakan sendiri. Dari pengalamanku (sekian lama perantauan, berkomunikasi dengan banyak orang, berpacaran dengan banyak wanita dan lainnya) aku tahu suatu fakta bahwa semua orang kadang kala berprilaku sama. Memiliki “tanda” yang sama.. “Tanda” yang diberikan pabila tertarik terhadap seseorang atau sesuatu. Ambil contoh seperti sekarang, dalam dua puluh menitan aku tahu kalau wanita dua bangku di depanku ini tertarik padaku. Bagaimana caranya? Gampang lihat saja tandanya. Ingatlah kalau segala sesuatu di dunia ini diciptakan tuhan dengan “tanda”nya masing-masing. Tinggal kita saja yang mau atau tidak membacanya.

“Tanda” nya apa? Gampang, lihatlah wanita itu. Perhatikan dengan seksama. Apakah wanita itu sempat melihat? Memperhatikan wajah dan bersitatap mata langsung maksudku? Satu kali melihat, ah itu biasa saja. Nothing special. Wajar saja intinya. Coba perhatikan kembali, apakah dia melihat kembali and yupz, she did that. Melihat ku untuk kedua kali. Dan itu berarti dia merasa aku rada “beda”. Rada menarik setidaknya. Maka perhatikan dia lebih seksama lagi, apakah dia melihat kembali untuk ketiga kalinya? And voila, she did that again. Tiga kali “strike”. Plus lagi sengaja berpura-pura membuang muka saat bertemu mata.

Sederhana bukan? Hanya membutuhkan 20 menitan untuk mengetahuinya. Apalagi kalau orang tersebut melihat berkali-kali (atau malah sambil menyunggingkan selarik senyum). Sengaja nian melakukannya. Sekarangpun aku tidak merasa sedang melakukan hal aneh. Membuat orang-orang merasa wajar untuk melihat ke arahku. Jadi aku yakin kalau wanita tadi melempar pandangan karena setidaknya rada tertarik kepadaku. Sederhana bukan ?

Aku ambil minumanku. Menenteng ringan novel yang telah selesai aku baca itu. Menghampirinya. Berkata sambil tersenyum ringan,

“hai..boleh aku duduk disini. Rasanya kurang menyenangkan duduk sendirian tanpa teman. Yah, itupun kalau kamu berkenan dan kamunya sendiri tidak sedang menunggu seseorang”

Dia mengangguk pelan. Merah muka malu tersipu. Mungkin tak menyangka aku akan menghampiri. Kutaruh minumanku dimeja. Duduk bertatapan muka dan mulailah pembicaraan diantara kami.

Okay, first rule on talking to women. Tanyalah hal-hal kecil tentangnya dan lingkungannya, timpali hal itu dengan ringan (dengan humor kalau perlu), pujilah hal-hal kecil tersebut atau detail kecil dari penampilannya (lebih baik daripada merayu fisiknya langsung, terkesan kayak playboy kampungan kalau begitu). And it always works for me, pembicaraan diantara kami berjalan menyenangkan. Banyak tawa, banyak cerita yang tersampaikan. Akrab sekali. Mmmmmh, bahkan aku mendapatkan banyak info tentangnya. Namanya sherry, bekerja di salah satu bank terkenal di kota bandung (well, kebetulan yang lagi-lagi menyenangkan), umur 23 tahun, berada di sinipun karena kantor yang menugaskan, serta beberapa puluh keterangan lain yang aku dapatkan.

Disela pembicaraan kulirik sedikit kearah jam tangan. Oh, shit. Sudah jam 1 kurang sepuluh. Satu jam setengah lagi aku sudah harus di bandara. Harus segera bersiap. Dan akupun permisi pamit, cepat menjelaskan kalau dalam waktu satu jam lebih sedikit aku sudah harus berada di bandara. Tak lupa pula sempat bertanya kepada dia..

“mmmmh sher, boleh minta kontaknya gk? Siapa tau nanti kita bisa bertemu lagi dibandung. A date perhaps?”

Yah, seperti yang diduga maka ringan saja sherry memberikan sederet angka kepadaku. Menitipkan pesan sambil tersenyum riang.

“jangan lupa ya a, kalau ada waktu telpon sherry”.

Akupun bergegas ke hotel. Tergesa-gesa karena harus secepatnya sampai di bandara. Mengemasi pakaian, laptop, dan beberapa berkas-berkas. Memasukkannya ke ransel besarku (jangan heran, karena dari dulu sampai sekarang aku tidak pernah suka menggunakan koper untuk bepergian. Tidak praktis). Check out. Memanggil taksi, masuk dan langsung berpesan kepada sopirnya

“Bandara pak! Ngebut secepatnya. Sya bayar dua kali lipat dari argonya!”




Sky, at plane 14:45 PM..

“Bapak tidak apa-apa? Atau butuh sesuatu?” Sapa ramah dari pramugari cantik disebelahku

“oh tidak terima kasih mbak. Sya tidak apa-apa dan tidak butuh sesuatu sekarang”. Sahutku kepada pramugari cantik itu.

Yah kali ini aku kembali berbohong. Bagaimana mungkin aku tidak apa-apa. Muka pucat. Rada berkeringat. Kedua telapak tanganku bahkan rada gemetar tidak bisa diam. Pramugari itu bahkan bisa langsung melihat hal itu.

Aku sebenarnya tidak pernah menyukai naik pesawat. Ganjil terasa. Teringat dulu saat pertama kali aku naik pesawat dari tempat asalku. Waktu itu aku masih SMA, bisa naik pesawat karena mendapatkan tugas membela daerah. Ikut dalam satu kejuaraan bahasa inggris pula. Sampai sekarang pun aku suka tertawa mengingatnya, bagaimana aku yang tergolong udik ini bisa-bisanya kok dapat tugas itu. Naik pesawat pula. Bagaimana aku pertama kali (dan itupun berlangsung sampai sekarang) merasa mual. Perutku terasa diaduk-aduk. Telingaku berdenging-denging mendengar bunyi mesin menderu-deru.

Waktu itu tidak ada pesawat boeing seperti ini, hanya ada pesawat kecil berkursi belasan saja. Pesawat kecil khas daerah. Rapuh berderit-derit saat mau mengudara. Menambah rasa mual, pusing tambah pula trauma takut mati melihat pesawat serapuh ini. Sekarang? Tak ada lagi pesawat kecil itu. Berganti dengan yang besar berkursi banyak. Gagah juga rupanya. Tapi semuanya masih sama saja. Puluhan kali aku naik burung besi rasanya tetap saja sama. Yah sepertinya tubuh udik ini benar-benar tidak bisa kompromi.

Cepatlah sampai ya tuhan, sebelum aku terlanjur muntah disini...




Bandung, site area 18:32 PM

Baru satu jam kurang aku sampai dibandung. And here I am. Duduk di site lantai 12 sebuah bangunan yang akan jadi apartemen mewah dengan total 24 lantai nantinya. Bertemankan segelas kopi, sedikit makanan dan seorang kawan lama. Duduk selonjoran begitu saja.

“wuah, makin sukses aja lu Gi. Perasaan baru kemaren-kemaren kita maen bareng. Ngeceng anak-anak SMA bareng waktu kuliah. Ditolak bareng juga. Haha, maklum dulu masih kere kitanya. Kalo sekarang cewe mana yang berani nolak elu Gi. Pengusaha muda, ganteng, bisa bikin apartemen setinggi ini pula. Gila lu! Gue kira sumpah lu dulu untuk bikin apartemen cuma ngomong doang”

Sosok yang kusapa Egi itupun tertawa, “ya elu tiap kali gua ngomong kagak pernah percaya. Mentang-mentang dulunya gue cuma maen mulu. Kalo gue ngmg bakal bikin ya mati-matian gue cari sela nya. Kalo dah dapet pasti gue bikin. Nih buktinya! Biar semua yang dulunya ngeremehin kita pada percaya! Pada hormat! Eneg gue ma kelakuan orang-orang dulu yang pernah mandang remeh kita.. inget gak lu?”

Pelan kuseruput moccachinoku, mengingat kembali semua kenangan dulu. Yah zaman dimana kami masih benar-benar sengsara dulu. Egi dan aku sama-sama mahasiswa perantauan. Berasal dari daerah yang berbeda. Beda karakter sifat pula. Tapi kami tahu bahwa kami pernah sama-sama sengsara dan melewatinya bersama. Itulah mengapa kami benar-benar dekat sampai sekarang.

Masa-masa itu masa yang pahit bagi kami. Bagaimana kami dulu dengan uang hanya dua puluh ribu bertahan hidup selama seminggu. Teringat juga bagaimana aku dan egi terpaksa ngutang sana sini waktu itu. Bagaimana juga kami beradaptasi dengan budaya, makanan, dan cuaca yang benar-benar berbeda disini. Saling jaga, saling berbagi, bahkan sama-sama diremehkan oleh orang-orang waktu itu. Yah karena kekurangan harta kami waktu itu.

“iya gue tahu. Dulu karena sering kali ngutang kita ampe diomelin yah sama mbak itu. Waktu awal-awal tahun dibandung. Saat kita gak punya teman-teman banyak. Tapi sudahlah gak usah ungkit lagi hal begituan. Ada waktunya kita kurang harta dan gak bisa bergaul. Dan kita buktikan juga ada saatnya kita sekarang memiliki cukup harta bukan? Untuk pergaulan juga begitu. Kalo gak ada ya tinggal buat aja dengan usaha, gitu kan prinsip kita dulu. Eh ngomong-ngomong gimana cewek lu sekarang? Jadi lu nikah tahun depan?”

sambil menyedot rokoknya Egi menimpali, “nikah? Ya jadilah. Mending nikah gue mah. Kebelet ni, lagian dah bosen gue maen ce mulu. Mu nyoba yang halal. Katanya mah lebih enak, hehe. Lu sendiri mau nikah kagak? Umur dah cukup tuh. Uang dah punya. Mobil ada. Mau nunggu apa lagi lu? Jangan bilang lu masih nunggu tuh cewek. Siapa tuh anaknya, lupa gue namanya.”

“beuh, gebleg lu. Nikah kok pake nyoba-nyoba. Yang serius lah. Nikah mah sekali aja men. Dikutuk baru tau rasa lu.....”

ku tarik nafas panjang. Pelan terdiam. Mencoba mengumpulkan tenaga untuk menyebut nama dia. Ya nama itu. Nama yang benar-benar berarti bagi ku.

“Namanya Permata Gi. Lu mah lupa mulu. Kalo soal nikah entahlah Gi. Gue masih bingung mau nikah kapan. Ortu dah sewot tuh nanya kapan gue nikah. Dan alasan kenapa gue bingung mau kapan nikah bukan karena Permata. Gue aja gak tau dia ada dimana sekarang. Atau malah dah nikah sama cowok nya dulu. Mana gue tau. Tar aja deh.. masih pengen seneng-seneng aku mah”

Melalui sudut mataku bisa kulihat kalau sobat yang kukenal 7 tahun lebih ini tersenyum getir. Mungkin merasa tidak enak mengungkit tentang dia lagi. Sosok yang dari dulu sering kali aku ceritakan kepadanya. Sosok wanitaku yang begitu berharga.

“sori bro, gue dah ngungkit-ngungkit dia lagi. Gue cuma ingetin sebagai sodara. Lu itu cowok men. Kalo memang mau sama tuh cewek cari dia! Kalo emang mau nyerah ya jangan mikirin dia lagi lah. Maaf kata ya, gue heran sebenarnya ce tuh apanya yang hebat. Ampe lu jadi kayak gini. Berantem jago, ngerayu apa lagi, tapi ma tuh cewek kok bisa-bisanya lu jadi bego gini? Realistis men. Gue gak mau lu kayak gini mulu

Malam menjelang. Suasana kota bandung pun semakin gelap. Begitu pula perasaanku. Entahlah untuk ke berapa kalinya Egi mengingatkanku akan hal ini. Tak bosan-bosan. Yah mungkin kali ini aku harus benar-benar mencari dia. Supaya rasa ini menjadi jelas. Mau dibawa kemana. Apakah percuma atau rasa ini tidaklah sia-sia. Maka hari ini, detik ini. Sambil memandang langit malam di kota bandung ini aku berjanji kepada_Nya

“tuhan, berikan aku kesempatan untuk bertemu sosok dia. Untuk memastikan rasa yang kau sisipkan ini. Biar jelas semuanya. Biar tak ada lagi asa yang sia-sia. Tolong... berikan kesempatan itu. Dan aku berjanji untuk tidak akan lari lagi kali ini. Akan kuhadapi sampai benar-benar habis waktunya nanti”

akupun beringsut dari tempat dudukku. Berdiri. Berkata kepada sosok sobatku yang masih diam di ujung sana.

“Gi, gue cabut dulu yah. Tar gue maen lagi kesini. Musti ngontrol anak-anak jam segini mah. Oke bro. Oke bro, tar kalo ada apa-apa kasih tau gue yah. Mau urusan gawean atau urusan nikahan gue pasti datang”

“Tian, tian.. ya udah buru berangkat sono. Tenang aja soal laporan gue pasti kasih tau elu. Sori untuk yang tadi. Elu taulah gue cuma mau ngingetin. Kita sodara bro. Selalu!”

Dan akupun tersenyum. Ya aku tahu kalo sosok didepanku ini adalah sodara, yah bukan sodara kandungku. Tapi hubungan kami lebih dari sekedar kakak adek. Saling menjaga. Saling ngingetin. Susah senang bersama-sama. Sodara selamanya.

“gk papa gi. Gue pamit. Salam buat tania..........”



Bandung, at residence street near site area 19:15 PM

Aku berjalan. Sendiri menyusuri jalan suatu perumahan didekat tempat proyek Egi. Bingung. Sunyi. Merasa sendiri. Dan inilah kebiasaanku dari dulu. Saat merasakan hal ini selalu merasa harus pergi jalan-jalan entah kemana. Jalan kaki atau naik motor kesayangan biasanya. Membuatku bisa jernih berfikir dan merenungi.Yah aku harus mengakui kalau kata-kata egi tadi sepenuhnya benar. 5 tahun telah berlalu dan hampir setiap hari aku selalu memikirkan dia. Sosok itu. Permata itu. Tapi apa yang aku lakukan? Hanya diam. Tak mau pula mencoba mencari dia. Aku bahkan bingung apakah saat bertemu dengan dia aku bakal bisa bersikap normal seperti biasa. Atau malah terserang penyakit gugup. Sukar berkata-kata. Melihat wajahnya dulu pun aku merasa mukaku memerah. Panas sedemikian rupa.

Apakah dia masih seperti dulu? Matanya masih berpendar indah berkilauan. Senyumnya yang manis dan menawan. Rambut hitam lurus yang mempesona itu. Tingkah lakunya yang lembut. Gerak gerik raganya yang memikat itu. Keelokan salah satu ciptaanMu. Tuhaaaaaaaaann, aku rindu dia. Tolong pertemukan aku dengan dia.

Dan langit pun mendadak cerah. Rembulan dan bintang bersinar lebih terang. Seisi semesta bertasbih untuk_Nya. Yah kali ini di malam ini pun tuhan kembali bersabda, sabda yang tak akan diketahui oleh kita umat ciptaannya “Nikmatilah pertemuan kalian. Tali takdir itu telah kupilin kembali. Sungguh aku akan merasa malu bila tidak mengabulkan doa kalian. Doa umat yang benar-benar meminta sepenuh hati....”
“Arum jangan nakal cepetan masuk kedalam. Dah malam ini juga. Tar ada yang nyulik loh. Udahan maennya”. Aku mendengar suara seorang perempuan dari rumah didepan. Cukup keras setengah berteriak. Suara siapa ini? Aku merasa pernah mendengarnya. Tak asing ditelinga.

“Gak mau teteh. Arum masih mau maen ayunan.. teteh dorongin yah???”. Kali ini suara anak kecil yang terdengar.

Aku berjalan tepat ke arah rumah tempat asal suara tadi. Penasaran akan suara yang rada kukenal tadi membuatku berhenti tepat didepan pagarnya. Rumah yang tidak begitu besar tapi memiliki penataan yang bagus. Ya walau kurang penerangan dihalamannya. Bahkan didekat pagar inipun penerangannya hanyalah seadanya. Remang-remang saja. Palang bertuliskan panti asuhan Muhammadiyah. Halaman yang rada besar plus taman bermain kecil didepannya. Disana aku melihat seorang anak kecil lucu sedang sibuk maen ayunan. Anak kecil ini yang sepertinya berbicara tadi. Tangannya pun melambai-lambai memanggil seseorang yang berada didalam rumah.

Seorang perempuan keluar dari dalam rumah. Berjalan tergesa kearah anak kecil tadi berkata dengan nada lembut kepada dia “arum mah nakal. Teteh jewer nanti. Cepet masuk, nanti sakit lagi”. Memangku lembut bocah yang disebut arum tadi. Menjewernya pelan. Tertawa. Dan langsung berbalik arah. Masuk kembali kedalam rumah.

Aku terpana. Aku terpana oleh suatu sosok yang sangat kukenal “ITU DIA!!!!PERMATA yang ku rindu selama ini”. Tak akan mungkin aku melupakan sosok itu. Sosok yang slalu aku bayangkan dalam tidurku. Sosok yang selalu kurindu. Mata ku tak mampu berkedip. Kakiku tak mampu bergerak . Mulutku tak mampu berkata-kata. Sempurna gagu seperti yang aku perkirakan sebelumnya. Dadaku sesak oleh fakta ini. Berkata pelan sungguh-sungguh didalam hati

“Tuhan.. terima kasih. Sungguh sekali ini aku benar-benar berterima kasih.........”
read more..

menebus kesalahan?????

0

Posted by median | Posted in

Kali ini sya cuma pengen curhat. Otak sya lagi butek. Mampet. Tersumbat. Jadi disini sya cuma ingin menuliskan suatu kontemplasi saja, suatu hal kecil yang sering kali sya alami dalam hidup ini. Uneg-uneg pribadi malah. Uneg-uneg tentang sesuatu hal yang menyangkut kesalahan yang tercipta atas ketidak sempurnaan kita sebagai manusia.

Kamu, mereka, anda semua. Saya yakin pernah melakukan kesalahan bukan? Yah sya paham akan hal itu. Manusiawi untuk sering kali khilap akan suatu hal. Lumrah. Sudah biasa. Apapun efeknya, kesalahan tetaplah kesalahan. Karena kita tidaklah sempurna. Begitu bukan? Yah sya lagi-lagi menyadari akan hal ini. Kita sebagai manusia sangatlah sering melakukan kesalahan. Sengaja ataupun tidak hal itu sudah digariskan olehNya. Pasti terjadi. Pasti dialami. Dalam tulisan ini pun sya tidak ingin membahas tentang berjuta-juta macam kesalahan yang pernah dilakukan oleh manusia. Terlalu banyak pastinya. Tak bakal habis ratusan halaman untuk menuliskannya.

Sya cuma ingin sedikit mengingatkan akan tindakan kita. Tindakan yang berlandaskan akan suatu pertanyaan “bagaimana kita memutuskan untuk menebus kesalahan yang telah kita lakukan”. Mencoba mengajak kita semua sedikit merenung dan berfikir lebih akan hal ini. Bahwa terkadang kata maaf tidaklah cukup untuk menebus kesalahan kita.

Oke.. Anggap saja sya menabrak orang. Tidak sengaja. Bahkan itu juga karena orang tersebut nyelonong nyebrang begitu saja. Orang tersebut jatoh, lecet-lecet, baju sobek. Maka sya punya kewajiban bukan untuk menebus kesalahan saya tersebut (walau sya tahu sya tidak sengaja dan sya tidak bermaksud begitu). Bagaimana caranya? Ya mungkin cara yang paling sederhana. Sya beri uang yang sekiranya cukup untuk orang tersebut berobat. Atau kalau mau lebih baik lagi, saya anterin kerumah sakit. Sya tanggung biaya perawatannya. Sya anterin pulang kerumah (dengan resiko kena marah keluarganya pula). Baru sya minta maaf kepada semuanya.

Itu juga dengan catatan loh. Bahwa sya melakukan itu semua walau sya tahu kesalahan itu tidaklah disengaja. Apalagi klo sya sengaja. Wuah berabe, sengaja nabrak orang bisa-bisa sya masuk penjara. Dan semua itu harus sya terima untuk apa? Untuk menebus kesalahan sya tentunya.

Nah ntu kan kesalahan yang bersangkutan dengan fisik. Kalo yang berhubungan dengan hati dan jiwa bagaimana? Sama saja bukan? Mau itu sya menyakiti hati orang oleh kata-kata pedas dari mulut sya, sya sudah membuat orang menunggu kedatangan sya seharian, sya sudah tidak menepati janji kepada pasangan sya. Atau yang lainnya pun begitu. Kita sudah berbuat dzholim kepada orang. Mungkin beberapa urusan cukup dengan kata-kata minta maaf saja. Sya tidak pungkiri hal itu. Tapi mungkin lebih baik lagi kalau kita selain meminta maaf juga melakukan sesuatu untuk menebusnya. Mentraktir teman yang sudah tersakiti hatinya oleh kata-kata sya, memberi sedikit kue untuk teman yang sudah menunggu lama, atau bisa juga datang membawa bunga dan mengajak dinner sang pasangan yang sudah cemberut karena tidak tepatnya janji sya. Setelah itu, maka meminta maaf setulus hati plus janji sungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi barulah pantas untuk dikatakan.

Bukankah tindakan seperti itu jauh lebih baik daripada hanya dengan kata-kata minta maaf saja bukan? Bahkan rasul kita saat mengetahui bahwa umurnya tidak panjang lagi sempat bersabda “apabila ada kesalahan yang telah aku lakukan kepada kalian, wahai para sahabat. Baik sengaja maupun tidak. Maka beritahukanlah kepadaku. Akan kutebus kesalahan itu dengan hukuman apapun yang menurut kalian pantas untuk ku terima”. Rasul sekalipun yang sebenarnya cukup dengan kata-kata minta maaf saja niscaya dimaafkan oleh para sahabat pun berani berkata begitu. Siap untuk menebus kesalahannya. Dengan apapun hukumannya. Maka kita selaku umatnya pun harus bisa begitu. Siap dan mampu untuk itu.

Menebus kesalahan itu perlu. Tapi tolong diingat terkadang cuma dengan meminta maaf dan janji tak akan mengulanginya lagi tidaklah cukup. Kita harus menebusnya dengan sesuatu yang lebih. Ingatlah suatu fakta bahwa kesempatan kedua itu tidaklah slalu ada. Hanya orang-orang yang mau menebusnya dengan sedemikian rupa yang pantas untuk mendapatkannya. Tunjukkan keseriusan kita dengan cara yang kita bisa. Untuk apa? Untuk menebus kesalahan itu. Untuk mendapatkan ikhlas itu, ikhlasnya mereka, orang-orang yang telah kita sakiti hati, jiwa maupun raganya. Sya juga tahu bahwa itu pastilah susah. Menebus kesalahan itu benar-benar susah dilakukan. Seribu kali lebih susah daripada mengalahkan ego untuk mengucapkan kata maaf. Tapi justru disana hikmahnya. Kita jadi belajar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama justru krn kita tahu betapa susah untuk menebusnya. Menjadi lebih berhati-hati. Lebih mawas diri...

Nah terakhir kali kalau kita sudah melakukan yang terbaik untuk menebus kesalahan dan masih tidak mendapatkan maaf bagaimana? Saat itu baru bisa kita kutip kata-kata pamungkas “yang penting sya sudah minta maaf, sudah usaha yang terbaik juga untuk mendapatkan maaf..” minimal kita sudah menunjukkan bahwa kita serius untuk mendapatkan maafnya. Percayalah bahwa yang maha kuasa akan tahu niat serta usaha kita. Yah itu sja uneg-uneg pribadi sya kali ini. Maaf klo lg tidak mau untuk menggunakan alur cerita seperti notes-notes sya biasanya. Lagi error tingkat tinggi otak sya T_T

Any comment?????????????? read more..

doa yang terbalik untukku..

1

Posted by median | Posted in

Saat aku lulus SMA aku berdoa “ ya tuhan, tolong beri aku kesempatan untuk kuliah. Pasti menyenangkan bisa mencicipi ilmu pengetahuan di dunia bru di perguruan tinggi. Bersiap untuk menjemput bekal demi janji kehidupan di masa depan. Menerapkannya dalam sendi-sendi kehidupan di desa nanti..”

Saat aku kuliah lagi-lagi aku berdoa “ya tuhan tolong beri aku kesempatan untuk menjadi pemimpin suatu organisasi. Memimpin banyak orang. Bertemu dengan orang-orang baru. Mencicipi petualangan di tempat-tempat yang tak pernah terpikirkan oleh pikiranku..”

Saat aku menjadi pemimpin organisasi aku kembali berdoa “ya tuhan tolong beri aku pasangan untuk menemani hidup ini. Pasti menyenangkan memiliki tempat untuk bersandar dikala lelah. Yang mampu mengerti akan perbuatan-perbuatanku. Pasangan yang nantinya akan setia menyemangati. Yang akan selalu setia mengusap keringat lelah dengan senyumnya...”

Dan malam inipun aku berdoa lagi kepadaNya “ya tuhan..tolong beri aku kemapanan harta. Sehingga bisa memfasilitasi banyak hal. Banyak orang. Banyak kegiatan. Membuatku mampu meraup bayang-bayang cita-citaku. Cita-citaku untuk mendirikan sekolah gratis itu....”

ya setiap malam disaat aku bimbang. Membutuhkan kekuatan lebih untuk berdiri maka aku akan berdoa kepadaNya. Mengadu. Meminta. Karena aku yakin Dia mampu memberikannya. Bukankah dia maha pemberi segalanya? Itu fikirku saat itu. Dan malam ini setelah berdoa akupun merasa letih. Memutuskan untuk beristirahat menjemput mimpi. Memejamkan mata dengan harapan doa-doa itu akan cepat dikabulkan olehNya.

Aku terlelap. Tidak menyadari kalau malam ini satu sosok malaikat sedang memperhatikanku. Tersenyum lembut berkata syahdu “duhai, mulia sekali niat-niatnya. Dari hari-kehari doanya semakin indah intinya. Dia meminta kesempatan menimba ilmu sehingga nanti bisa memanfaatkannya. Dia meminta kesempatan untuk menjadi imam bagi kaumnya. Memperpanjang silaturahmi dengan orang-orang baru sesuai ajaran_Mu ya rabb. Dia juga meminta pasangan untuk tempat berbagi dan saling menjaga nanti. Sehingga bisa akhirnya menyempurnakan separuh agama yang dia miliki. Dan sekarang pun dia kembali meminta kepadaMu ya rabb, meminta sepenuh hati akan rejeki untuk menggapai cita-cita yang mulia ini. Tidak salah Engkau menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Subhanallah ya rabb, segala puji kepada_Mu wahai pemilik segala dzat..”

Malaikat itu memuji sambil bertasbih. Gembira akan doa-doa yang diucapkan. Buncah bahagia memuji kebesaran_Nya, mendendangkan kekaguman akan makhluk yang dijadikan khalifah oleh_Nya. Segala puja-puji itu menggema ke seantero bumi, menarik perhatian sesosok malaikat lainnya. Ya sosok malaikat yang dibuang karena perbuatannya. Siapa lagi kalau bukan iblis. Iblis merasa tertarik dan memutuskan menghampiri sang malaikat. Geram akan segala puja puji yang dilantunkan tadi.

Dengan pongahnya iblis menghampiri malaikat, berkata dengan angkuh dan jumawa “haha, kau bangga akan doa-doanya? Doa-doa tipuannya. Kau bilang mulia niatnya yang ingin mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu di bangku kuliah. Sehingga nanti bisa memanfaatkannya? Hahaha. Lihatlah sekarang. Dia sudah mendapatkan kesempatan kuliah. Bertemu dengan orang-orang berilmu semua. Tapi apa yang dia lakukan? Dia malah malas-malasan. Malas kuliah, malas mengerjakan tugas. Bahkan malas bertemu dosen sekalipun. Tak tahu dia bahwa hanya untuk kuliah, bapaknya bahkan harus menggadaikan harta benda. Banting tulang seharian demi keinginan anaknya untuk kuliah. Tapi apa yang dia lakukan? Tak tahu diri. Tak tahu budi. Malah asyik pacaran atau tidur meringkuk dikosan sendiri. Hahahaha.. Apanya yang mulia???”

Sang iblis tertawa terkekeh dan kembali berkata “tadi barusan apa yang kau bilang? Kau bilang dia pernah meminta kesempatan menjadi imam? Menjadi pemimpin organisasi bukan? Haha, ini yang paling lucu. Kau lihatlah sekarang. Dia menjadi pemimpin akhirnya dan memang benar dia memperpanjang silaturahmi lebih kepada orang-orang baru yang dia temui. Tapi kau lihat teman-teman lamanya? Mana ingat dia kepada mereka. Dia hanya sibuk hilir mudik mengurusi orang-orang baru. Perkara teman lamanya sakit, sedang bersedih, sedang patah hati mana pernah dia pikirkan. Bertemu mereka saja jarang. Jadi untuk apa silaturahmi dengan orang baru itu? Toh dia malah jadi melupakan teman-teman lamanya. Hahahaha...”

Tawa iblis semakin menjadi, Kembali berujar dengan sinis kepada sang malaikat tadi “nah ini yang paling lucu dari perkataanmu tadi. Kau bilang dia meminta pasangan untuk tempat saling berbagi dan menjaga nanti? Hahaha, aku mau tanya kepada kau duhai malaikat. Berapa kali makhluk yang kau doakan tadi berpacaran? Sangat sering bukan? Putus satu ganti lagi. Jadi kemana doanya untuk memiliki pasangan tadi? Tempat berbagi apanya? Buktinya dia tetap egois sendiri. Hanya ingin dimengerti tanpa mau untuk mengerti pasangannya, menuntut lebih tetapi tidak mau sedikit pun memberi. Sudah bosan? Tinggal ganti..hahaha. Lagi-lagi aku bertanya apa yang mulia dari doa itu?”

“Sekarang pun apa yang dia panjatkan kepada_Nya? Ah ya meminta harta bukan. Maka aku yakin seyakin-yakinnya dia akan segera mensia-siakannya lagi saat doa itu dikabulkan olehNya. Aku bahkan bisa menebak kira-kira apa yang akan dia lakukan. Paling foya-foya. Mana bisa dia menabung untuk menggapai mimpi itu. Pasti akan dihabiskan untuk hal-hal tak penting umumnya. Hahaha.. akan aku goda dia dengan segenap kemampuanku. Akan kumentahkan segala doa-doa itu. Seperti kemaren-kemaren saja saat doa-doa itu diucap olehnya. Akan kubuat dia menyia-nyiakan doanya..hahahahaha”

Tawa sang iblis menggema ke seluruh pelosok bumi. Tawa kesombongan yang menyeramkan. Sang malaikat hanya bisa terdiam mendengarnya. Menggumamkan dzikir meminta perlindungan kepada_Nya. Dan saat itupun aku terbangun dari lelapku. Tepat subuh dini hari. Dengan nafas memburu. Berkeringat banyak di sekujur tubuh. Ya tuhan... mimpi apa pula ini?

Duhai tuhan, mimpi macam apa ini? Mengerikan. Teramat malah. Ternyata doa-doa itu bagaikan terbalik untukku. Apa yang aku minta setelah diberikan malah sering kali aku sia-siakan. Ternyata doa itu sama saja dengan tanggung jawab ya tuhan. Saat aku meminta, apa nanti saat mendapatkannya aku mampu memegangnya? Ternyata tidak. Malu aku akan doa-doa ini ya tuhan. Malu karena aku tidak bisa bertanggung jawab akannya. Malu pula karena malah menyalahkan ENGKAU akan segalanya. Padahal ENGKAU sudah berbaik hati untuk memberi. Sungguh sebenarnya aku lah yang tak tahu diri.

Maka akupun bergegas mengambil wudhu di subuh ini. Shalat.. Memutuskan untuk meminta maaf kepada_Nya. Meminta maaf akan khilaf selama ini. Meminta maaf akan doa-doa yang terucap tanpa kesiapan hati. Yah doa itu sebenarnya bentuk lain dari tanggung jawab. Bukan hanya sekedar permintaan kepada DIA. Naif sekali kalau aku berfikir seperti itu. Maafkan aku ya tuhan.. maaf untuk tingkah polah pongah yang kulakukan. Maaf juga atas ketidak siapan hati atas doa yang terucap dari mulut ini. Maka shubuh ini aku beribadah menghadapNya, memutuskan untuk berdoa khusus mengaku salah kepada sang maha pencipta...

“ya tuhan.. Engkau pasti mengetahui semua doa yang terucapkan olehku. Karena kau mampu untuk itu. Baik doa keseharian. Baik doa dalam ibadah-ibadah yang ku tegakkan. Maka kali ini aku memohon kepadaMu wahai sang maha pencipta. Tolong kabulkan doa-doa itu saat aku sudah sekiranya mampu untuk menerimanya. Sehingga aku tidak menyia-nyiakannya lagi seperti yang sudah-sudah. Karena sekarang aku baru sadar bahwa doa itu bukan semacam “tuntutan” permintaan untukMu. Itu malah semacam “tuntutan” permintaan untuk tanggung jawabku. Tanggung jawab saat kau kabulkan doa-doa itu. Tanggung jawab saat kau berikan apa yang aku mau. Sungguh sebenarnya akulah yang tak tahu diri. Terima kasih ya tuhan. Terima kasih untuk segala hal yang telah kau berikan selama ini. Dengan semua pertimbangan_Mu. Dengan semua kearifan_Mu...”

p.s:
sya tulis cerita ini karena membaca salah satu notes penulis favorit sya yang tidak malu “mencerca” kesalahan-kesalahannya. Smga notes ini juga bisa mengingatkan sya akan arti tanggung jawab. Tanggung jawab atas apa yang sya sndri minta kepada_Nya... read more..

bangsa indonesia = bangsa sparta???

0

Posted by median | Posted in

Seperti biasa malam ini saya lagi pusing. Pusing karena segala macam terlintas di otak ini. Mengingatkan saya akan banyak hal. Banyak cerita. Banyak kegiatan. Banyak hal ganjil yang menjadi pikiran. Sekarang pun sya jadi teringat pernah membaca kisah kepahlawanan bangsa sparta. Bangsa yang katanya benar-benar menerapkan hukum “besi” dalam setiap sendinya. Bangsa yang gagah berani. Bangsa yang jujur tidak takut akan mati. Bagi bangsa sparta kematian itu tidaklah harus ditakuti, kalau perlu didatangi oleh peperangan itu sendiri. Hollywood bahkan berhasil menggambarkan tentang ini dalam film mereka yang berjudul “300”. Film favorit sya yang saya masukkan kedalam kategori film yang teramat bagus.

Yah bangsa sparta itu cerita tentang bangsa yang ada pada zaman dahulu. Bangsa dimana belum ada yang namanya hak asasi. Belum ada juga teknologi tinggi. Tetapi berkat kemampuan mereka, berkat heroisme mereka maka ribuan tahun kemudian bahkan cerita bangsanya tetap hidup. Masuk dalam kurikulum sejarah di sekolahan. Mampu menginspirasi para sineas internasional untuk mengabadikan. Bangsa yang hebat kawan. Suka berperang, benar-benar menjunjung tinggi martabat dan tidak pernah takut akan kematian.

Sya tercenung dengan ingatan sya. Membandingkannya dengan beberapa kejadian sederhana dalam hidup sya. Dan aneh bin ajaib tiba-tiba sya mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya karena beberapa hal saya yakin bangsa indonesia kemungkinan besar punya garis keturunan bangsa sparta. Utamanya dalam hal suka berperang, tidak takut mati dan menjunjung tinggi martabat harga diri. Loh??? kok sya bisa mengambil kesimpulan seperti itu? Gampang kawan, lihat saja keseharian hidup bangsa indonesia. Hal-hal sederhana yang dilakukan kebanyakan orang indonesia pada umumnya. Hal-hal yang sya yakin kita semua pernah melakukannya (tentu dalam versi yang berbeda-beda).

Tidak percaya? Haha, mari kawan. Mari aku perlihatkan sedikit fakta kepadamu. Bangsa sparta suka berperang? Sama bangsa kita juga sangat senang “berperang”. Lihatlah ratusan kali (mungkin ribuan kali malah) kasus tawuran. Mau itu antar sekolah, antar desa, antar daerah. Pasti saja ada “perang” dinegeri ini. Contoh paling besar ya Aceh sana. Bagaimana “perang” merajalela disana bahkan setelah tsunami melanda. Kata berita sih memang sudah damai, tapi tetap saja ada pertikaian kecil disana. Kontak senjata masih sering terjadi walau kecil skalanya.

Bahkan hampir disetiap daerah ada “peperangan” mereka sendiri-sendiri. Macam-macam bentuknya, entah gangster, entah premanisme, entah tawuran biasa. Alasannya pun rupa-rupa bentuknya. Perkara ngapel kemaleman akhirnya digebukin warga desa sudah lumrah. Perkara isu ada yang dipukul (entah siapa pula orgnya) sudah langsung menyiapkan senjata. Atau cuma karena melihat pacar orang saja ujung-ujungnya berantem juga. Ah biasa kawan, hampir tiap hari kita bisa lihat di koran-koran. Kurang lebih sama bukan dengan tabiat bangsa sparta yang suka berperang? Bahkan kita lebih hebat karena memulainya cukup dengan alasan sederhana.

Sifat bangsa sparta tidak takut mati. Sama kawan dengan bangsa kita ini. Masih tidak percaya? Cobalah sekali saja engkau melongok sedikit bagaimana keadaan KA ekonomi di indonesia? Beuh, sumpah disana bisa kita lihat para “ksatria-ksatria” yang tidak pernah takut akan mati. Jerih untuk mati pun tidak dirasa lagi. Bermain dengan nyawa seakan itu cuma mainan anak kecil saja. Berdiri depan pintu masuk saat kereta berjalan dengan kecepatan 100km lebih perjam itu biasa. Gelantungan di atas atap kereta apalagi. Perkara kepentok tiang, kesamber kabel listrik, atau malah terjun bebas dari sana juga gak pernah dipikirkan oleh mereka.

Sya pernah bertanya sama seseorang yang sering seperti itu. Sya tanya “emang gk ngeri apa duduk di atap kereta????”. Dan jawabannya simpel saja “ah, daripada didalam gerbong kotor bau pesing sesak dengan orang itu mending duduk diatap bro. Santai aja, perkara ngeri mati atau gk ya ada juga sedikit. Tapi klo tuhan belom ngijinin mati mah gk bakal mati, jadi percya aja gua mah. Lagian lumayan bisa hemat uang kan gk bakal ditagih kondektur kalau diatap...”

Jujur, mendengar jawaban dia sya cuma bisa geleng-geleng kepala tidak percya. Tidak percya bahwa nyawa “dipermainkan” cuma untuk hemat beberapa ribu saja. Mengucapkannya dengan keyakinan penuh plus bercanda pula. Hebat bukan orang-orang bangsa kita?

Terus coba kau lihat sekali-sekali kendaraan di jalanan. Lihatlah pengendaranya. Pengendara sepeda motor apalagi. Tak pake jaket gk masalah. Pake helm abal-abal asal tutup kepala sudah biasa. Ngebut selap-selip tanpa peduli tikungan atau rem gak ada apalagi, ah semuanya sudah biasa. Sya bingung juga bagaimana orang-orang seperti itu berkendara seakan-akan siap menggantung nyawanya. Sya bahkan pernah bertemu bapak-bapak naik motor, bawa barang-barang yang sangat banyak, cuma pake helm cetok, gk pake jaket, bersendal jepit, hebatnya lagi naik motornya sambil smsan. Jelas-jelas jalanan lagi ramai tidak dia pedulikan. Pengendara mobil pun begitu juga adatnya. Tak heran kalau angka kematian dijalanan indonesia bahkan melebihi angka kematian akibat peperangan.

Dan lagi-lagi saya saya geleng-geleng tidak percaya. Bagaimana orang-orang bangsa kita berkendara seakan-akan siap untuk menjemput kehilangan nyawa. Bahkan gak pernah sadar akan bahayanya atau melakukan tindakan untuk meminimalkan resikonya. Lagi-lagi saya berkata, hebat bukan orang-orang bangsa kita?

Lihat pula pekerja bangunan yang bekerja tidap pernah dengan peralatan yang memadai. Memanjat tiang tinggi puluhan kaki cukup dengan kaitan seutas tali. atau bagaimana orang-orang bangsa ini menyepelekan sakit yang mereka derita. Mau flu, demam, meriang, sesak, maag, atau sakit apapun sering kali hanya didiemin. Paling banter malah cukup pake obat warung saja. Tidak pernah memikirkan untuk menjaga kesehatannya. Check up? Bah, malas kawan. Gak ada waktu orang-orang kita untuk check up gak guna. Bandingkan dengan orang-orang bangsa lain yang cuma bersin saja bisa langsung ke dokter untuk periksa kesehatan.

Yang saya herankan, kalau itu dilakukan orang-orang kurang mampu saya angkat tangan kawan, wajar saja soalnya. Makan saja mereka gak punya uang, apalagi buat berobat. Tapi kalau hal itu dilakukan oleh orang-orang yang cukup “berada” cuma dengan alesan malas???? sya cuma bisa (lagi dan lagi) geleng-geleng kepala. Melihat bagaimana teman sya yang punya motor tiga ber-atm dua (milik pribadi semua) akhirnya menderita maag super kronis cuma karena malas makan awalnya. Melihat bagaimana teman sya akhirnya harus kehilangan satu kakinya hanya karena awalnya tidak menghiraukan rasa nyeri pada tempurung lututnya.

Jadi tidak salah bukan saat saya bilang bangsa ini terdiri dari orang-orang yang tidak takut mati? Atau mungkin malah lebih tepatnya sama sekali tidak mempedulikan resiko mati? Ah sya rasa bangsa sparta kalah dalam hal ini.

Bangsa ini juga bangsa yang sangat bermartabat kawan. Sama kayak bangsa sparta yang rela mati demi martabat bangsanya. Lihatlah bangsa kita yang sangat marah saat ada yang mengklaim “kepunyaan” kita. Bagaimana orang-orang bangsa kita bagaikan singa kehilangan anak saat beberapa budaya mereka diklaim negara lain. Batik saja kita ambil contoh, bagaimana bangsa kita langsung sibuk berpakaian batik saat akhirnya mendapatkan pengakuan dunia yang didamba. Anak muda pun latah pake batik kemana-mana. Tpi sekarang? Haha.. tak tahulah saya mereka pada kemana.

Walau sya agak heran kawan. Dulu sewaktu tidak ada klaim-klaim itu apa ada yang sempat memikirkan nasib gamelan? Nasib batik? Nasib tempe? Nasib makanan-makanan khas jajanan pasar? Tidak ada kawan. Yang muda lebih memilih gaul dengan drum atau gitar (mana kepikir nabuh gamelan), orang-orang lebih memilih mengenakan jas daripada batik apabila ada acara gedongan, orang-orang berada lebih suka makan pizza dripada tempe murahan, apalagi jajanan pasar yang terlupakan. Tapi sewaktu klaim itu datang. Saat martabat hak miliknya terusik sedikit saja maka singapun kalah sama garangnya orang-orang bangsa kita. Yang muda menciptakan istilah keren seperti “malingsia”, yang pendekar bersiap-siap untuk jihad ke jiran sana (inget bagaimana para pendekar banten bersiap perang dan mendirikan laskar anti malaysia?), yang tua-tua sibuk bercerita, membahasnya dimana-mana.

Histeria bangsa kita terjadi dimana-mana karena martabat yang seharusnya dimiliki bangsa ini diaku-aku oleh bangsa lain. Menakjubkan bukan? Menakjubkan melihat bagaimana kita sendiri melupakan martabat kita dan marah sedemikian rupa saat ada yang menunjuknya (yang jadi pertanyaan kemaren-kemaren kita kemana???). Kurang lebih dalam hal menjaga martabat pun sya melihat kemiripan bangsa kita dengan bangsa sparta. Benar tidak kawan?

Sya yakin seyakin-yakinnya sya bahwa ada beberapa ratus contoh lainnya. Contoh yang sebenarnya terjadi dan kita alami setiap waktu dalam hidup kita sendiri. Disini saya cuma mengambil contoh-contoh sederhana saja. Contoh-contoh sederhana sehingga saya berani bilang bahwa bangsa kita sebenarnya mirip dengan bangsa sparta (sya sampai berfikir mungkin punya garis keturunan sebangsa malah).

Tapi malam ini dipikir-pikir lagi saya agak bingung juga kawan. Apakah sebenarnya ini benar-benar mirip atau suatu “kebodohan” yang saya mirip-miripkan. Ah mana sya tau, sya sudah terlanjur terpesona dan menikmati contoh-contoh peristiwa “heroisme” lainnya. Gak usah jauh-jauh untuk melihat contohnya. Coba kau lihat lebih teliti dalam kehidupan kita sehari-hari. Pasti ada. Hebat-hebat loh semuanya. Kalau kalian sadar kalian bisa saja mendapatkan efek berantai yang menakjubkan. Ada perasaan kagum, bertanya-tanya (kok bisa yah?), heran, bahkan ada beberapa hal yang membuat sya tertawa karenanya.

Bangsa kita yang “hebat”, kamu “hebat', mereka “hebat”, masyarakat lainnya pun sungguh-sungguh “hebat”, bahkan saya pun masuk dalam golongan “hebat” (karena suka atau tidak saya sering melakukan hal-hal seperti itu tanpa sya sadari). Jadi bangsa kita = bangsa sparta???? wuah sya yakin kayaknya kita malah berada beberapa level “diatas” bangsa sparta. Setujukah kawan akan hal ini???? mari kita coba renungi dan sedikit saja pahami. Ah malam yang melelahkan (padahal sya cuma memikirkan yang bukan-bukan). Tidur saja ah. Besok-besok sya lagi-lagi harus siap dengan berbagai “kejadian” hebat nan menakjubkan.. Nite ^_^ read more..

apa saya, mereka dan kalian semua bisa seperti "KARTUN"?

0

Posted by median | Posted in

Saya suka kartun. sungguh. teramat sangat malah. bisa dipastikan hampir setiap hari minggu saya menjadi salah satu (dari sekian ratus ribu lainnya) penonton yang asyik sendiri memelototi tipi. serius cuma untuk melihat kartun mulai dari dini hari.

kartun? iya kartun... film yang umum dan lazimnya disukai oleh anak-anak itu. macamnya? tanpa pandang bulu hampir semuanya saya suka (kecuali dora tentunya,hehe). sya suka NARUTO, saya suka POKEMON, dan tanpa malu-malu sya pun mengaku kalau saya salah satu penggemar SPONGE BOB..

alesannya? wuah ini dia yang susah dijawab. mungkin karena tiap orang punya sisi kanak-kanak dalam diri mereka (sya belajar tentang ini dari pelajaran filsafat), jadi berdasarkan teori ini wajar kan kalau saya menyukai kartun? toh ada cerita bapak-bapak yang udah berumur tapi masih menyukai maen layangan (bahkan ampe keliling dunia ikut kejuaraannya cuma gara2 seneng maen layangan), ada cerita artis yang sudah masuk kategori emak-emak tapi sangat terobsesi mengumpulkan barbie, jadi rekor dua hari tidak mandi cuma karena keasyikan memelototi dvd demi menonton kartun yah bagi sya pribadi masih bisa diterima nurani (hehehe..)

mungkin juga krn sya tipikal orang yang sangat suka mengkhayal. mengkhayal? iya saya sering kali berfikir begini..

"kayaknya menyenangkan bisa menjadi NARUTO. cukup nyilang-nyilangin tangan bisa bikin kloningan diri. bayangkan bermacam-macam acara yang bisa saya ikuti? bayangkan semua hal yang bisa saya ketahui? bayangkan beragam orang (wanita apalagi) yang bisa sya kenali?..."

"tampaknya menyenangkan bisa kayak cerita POKEMON. cukup modal beberapa biji bola berisi monster semua pekerjaan bisa teratasi. mau yang berat2? tinggal nyuruh monster segede kingkong untuk ngurusin. ada kebakaran? tinggal nyuruh monster yang bisa nyemburin aer untuk madamin api. gk bisa tidur? gampang, tinggal lempar bola ngeluarin monster yang pinter nyanyi. olala, enaknya kalau bisa seperti itu.."

"SPONGEBOB apalagi. cukup bawa sabun cair saya bisa bikin replika macam-macam. mau mudik kebengkulu tinggal bikin replika kapal terbang. pasti sangat enak kalau bisa melakukan hal gila seperti itu.."

yah jujur, sya juga sering kali berfikir seperti itu kawan..

tpi mungkin alasan sebenarnya sya suka KARTUN karena saya menemukan sosok idaman dalam karakter utamanya. sosok idaman? apa yang bisa diambil dari karakter utama kartun semacam NARUTO, POKEMON, bahkan SPONGEBOB? karakter yang jujur sja tergolong dalam ranah "berotak bego" (itu juga rada diperhalus dari seharusnya ber-IQ jongkok).

ya semua karakter utama kartun-kartun semacam itu rata-rata bego (ntahlah apa memang terlalu polos atau memang bego saja). lihat saja bagaimana aksi-aksi mereka yang benar-benar menggambarkan itu. tapi justru bagian itulah yang membuat saya sangat menyukai KARTUN.

melihat bagaimana para karakter itu memahami bahwa mereka memang bego, tapi mereka TIDAK PERNAH KENAL KATA MENYERAH UNTUK MENCAPAI APA YANG MEREKA INGINKAN bagian itulah yang paling saya suka.

bagaimana naruto yang jujur saja dulunya paling gak bisa jurus bikin kloningan diri (ampe brp kali gagal ujian jg) tpi malah jadi paling jago jurus itu demi cita-citanya jadi hokage. melihat bagaimana dia yang bego memahami jurus dengan caranya sendiri akhirnya bisa juga walau itu harus diulangi ratusan kali.

bagaimana ash dalam cerita pokemon harus merantau keliling dunia, keluar masuk gym, bertarung sama berbagai monster cuma demi mimpinya jadi pelatih monster terbaik sedunia. walau itu berarti jauh dari ibunya, meninggalkan berbagai hal yang disukainya, dan ikut latihan yang sangat berat tiada dua.

bagaimana sponge bob yang se-gila itu mengikuti puluhan (mungkin lebih tepatnya ratusan) kali kelas nyonya puff. mengikuti ratusan kali bahan pelajaran yang sama. mengulangi (dan menghancurkan) tes menyetir yang sama. bahkan sampai membuat nyonya puff jeri akan keuletan tekad sponge bob cuma untuk mendapatkan SIM secara jujur.

itulah yang saya senangi, bagian dimana "sya tahu saya bego, saya tahu saya gk bisa, saya tahu saya harus mengulangi ratusan kali an saya harus dicemooh oleh semua orang tapi itu semua tidaklah menghalangi saya untuk mati-matian menggapai mimpi sya"

bagian "tekad sepenuh jiwa raga" itu yang saya iri. yang mati-matian saya coba ikuti (tapi jujur saya juga sering kali gak mampu). bagian dimana justru krn sya tahu saya gak mampu tapi peduli sama itu sayaakan buat itu suatu saat menjadi mampu untuk menggapai semua itu!

yah kartun memang tontonan anak-anak. sering kali dicemooh oleh orang banyak dengan ucapan sinis "please deh, hari gini nonton kartun". ya dan saya tahu dengan sangat pasti (puji syukur karena pelajaran SD,SMP,SMA dan kuliah yang saya dapati) bahwa itu cuma kartun, sosok dimana karakternya mau mati trus hidup lagi, mau kelindes gk juga mati, itu semua gk hrus dipikirn..toh cuma kartun.

tapi justru krn pelajaran SD, SMP, SMA dan kuliah (belom termasuk les-les lain) yang saya dapati maka sya jadi berfikir serius kali ini "Apa bisa sya sekuat dan seteguh itu mencapai cita-cita yang saya inginkan?". berusaha lagi dan lagi walau itu berarti harus dicaci, harus mengulang dari awal lagi, walau itu harus berarti pergi dan menjadi sendiri? smua demi cita-cita yang saya inginkan. demi harapan yang saya yakini sendiri.

dan kali ini saya cuma mau nanya dikiiiit aja..

apa saya bisa seperti "KARTUN?"
apa mereka bisa seperti "KARTUN?"
apa kalian semua bisa seperti "KARTUN?"

.............

P.S:
kapan yah sponge bob dapet SIM-nya?hehehe, think... read more..

no big deal dear..i'm tired already

1

Posted by median | Posted in

Kamu tahu bagaimana rasanya?
Berusaha ratusan kali tapi tak pernah dipercaya.
Diminta melakukan semua tapi dianggap angin lalu saja.
Apa karena latar belakang itu?
ya karena kedekatan dengan semua orang itu

apa kamu pernah berfikir sekali saja?
Saat engkau bertanya maka kujelaskan detailnya
alasan-alasan akan perbuatan itu
dan yang kuterima hanyalah hening dari mulutmu
jadi buat apa aku berkata segala hal itu? Cuma untuk ego mu kah semua itu?

ya.. aku tau aku bajingan
Orang tengik banyak lagak tak tahu diri
yah aku paham hal itu
engkau tanya kenapa aku tak pernah berusaha lebih?
Dan aku tertawa didalam hati
tertawa krn engkau sendiri yang tak pernah percaya akan usaha itu
jadi aku harus bagaimana lagi?

aku tau pula aku orang bodoh
tak pandai menjelaskan semuanya.
Mungkin itu pula kenapa engkau selalu membisu tak berbicara
diam dengan semua yang ada

tak bisa memilih yah?
tak pernah serius yah?
Slalu menganggap semuanya sama yah?

So be it dear..
lelah sekarang aku berusaha untuk orang-orang sepertimu
lelah pula aku berusaha meyakinkanmu
kalau memang karena latar belakang itu aku tak berhak untuk kata-katamu tak apa
no big deal..
mungkin untuk sekali saja aku harus benar-benar menjadi orang "jahat"
seperti yang kau tuduhkan padaku
melalui sikapmu
melalui bisumu
mungkin itu yang kau mau..tak tahulah aku..

melelahkan..
sungguh-sungguh melelahkan untuk bertahan.. read more..

"gugatan" terbuka untuk mereka..untuk pemikiran salah kaum wanita umumnya!!!

0

Posted by median | Posted in

Anggap saja ini surat terbuka untuk kaum wanita. Gugatan terbuka terhadap pemikiran munafik akan beberapa hal. Pemikiran munafik yang mengakar begitu kuat. Menyebalkan. Menyebalkan bagaimana pandangan akan cinta, jodoh dan kemapanan benar-benar menyebarkan kemunafikan. Kemunafikan yang mengakar pada “ketabuan” dan pandangan masyarakat. Maka kutuliskan surat ini dengan satu harapan. Untuk menghancurkan kemunafikan itu sedikit demi sedikit. Menunjukkan apa yang salah dari apa yang mereka percaya sejak lama. Memulai satu perubahan yang saya percaya bisa dilakukan oleh mereka. Inilah tulisan kecil untuk memulainya. Memulai titik kesadaran akannya.

Cinta? Ah lagi-lagi saya tidak akan menceritakan arti cinta disini. Saya juga tidak akan membahas beribu bait tentang cinta. Saya akan membahas satu detail kecil dari cinta. Benar teman, saya hanya ingin mengingatkan tentang kemampuan untuk mengatakan cinta. Mengatakan? Ya mengatakan. Menyatakan isi hati. Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan sendiri. Kemampuan yang sejujurnya sangat susah dimiliki oleh kaum wanita. Hanya wanita-wanita terpilihlah yang mampu tanpa malu untuk mengatakannya. Yah kemampuan yang jujur saja, sangat jarang dimiliki mereka, kaum wanita.

Sering kali aku menanyakan “kenapa sampai malu mengatakan cinta? Mengatakan perasaan sesungguhnya kepada sang pria?”. Dan tipikal jawaban yang diterima selalu saja sama, MALU! Sejak kapan wanita mengatakan perasaannya kepada pria? Absurd! Mustahil! Impossible! Dimana-mana selalu pria lah yang menyatakan perasaannya. Bahkan lebih berprinsip kehilangan sang pria daripada mengatakan perasaan mereka. Ah ironi teman. Bagaimana para wanita yang mengaku berada di zaman intelek, pekak berteriak akan kata “EMANSIPASI”. Sibuk menuntut kesetaraan, mengaku dan bangga menyatakan bahwa hal yang bisa dilakukan pria juga bisa dilakukan oleh kaum wanita. Tapi untuk hal ini? Hahaha.. hanya sangat sedikit yang bisa melakukannya. Jadi kemana kata emansipasi itu? Kemana pemikiran intelek itu? Dimana kesetaraan itu?

Akan aku tunjukkan kenapa hal ini menjadi ironi teman. Bagaimana ini menjadi hal yang sering kali sya tertawakan secara pribadi. Sya yakin anda tahu akan siti khadijah bukan? Istri rasul kita yang mulia akhlaknya. Disini aku akan sedikit bercerita mengenai kisahnya. Kisahnya yang sering kali kita dengarkan tapi melupakan sedikit detail kecil yang berarti. Kita tahu bahwa rasul kita adalah seorang yang bisa dipercaya. Sangat teramat bisa dipercaya. Dikenal oleh seluruh penduduk akan kejujurannya serta keluhuran budi pekerti miliknya. Saat rasul kita belum menikah, siti khadijah sudah menjadi janda. Jauh lebih tua dari usia rasul kita. Tapi jangan salah, beliau saat itu merupakan saudagar besar. Kaya dengan harta baik pula akhlaknya. Banyak para khalifah dan pemimpin-pemimpin kaum yang tertarik dan menyatakan lamarannya. Terpikat dengan pesona yang dimilikinya.

Tapi semua lamaran itu ditolak oleh beliau. Saat itu beliau hanya tertarik akan isu bahwa ada sesosok pria yang luhur akhlaknya. Maka beliau memutuskan untuk mencari tahu hal tersebut. Diutuslah pelayannya untuk meminta rasul kita (yang masih sangat muda waktu itu) membawa barang dagangannya. Dengan syarat pelayannya harus ikut serta. Maka berangkatlah mereka dalam misi perdagangan. Berkelana ke berbagai negara untuk berdagang kepada beragam saudagar yang ada. Seperti yang diduga dagangannya laku keras! Rasul kita yang masih sangat muda menunjukkan bahwa dia jujur dalam berdagang, tidak mengurangi timbangan, mampu mendapatkan kepercayaan orang-orang. Tanpa cela akhlaknya waktu itu. Saat kepulangan mereka membawa untung yang berpuluh kali lipat banyaknya. Sang pelayan yang diutus pun menyampaikan seluruh hal yang dilihatnya kepada siti khadijah. Bagaimana kelurusan akhlaknya benar-benar berkilau. Elok tingkah rupa yang mampu memikat orang-orang. Dan tahukah engkau teman, sejak saat itu siti khadijah menaruh hati kepada rasul kita. Ah cinta itu mulai datang kepadanya.

Tahukah pula bagaimana mereka bisa menikah? Saat itu bukanlah rasul kita yang menyatakan perasaannya sehingga akhirnya mereka bisa menikah. Siti khadijah lah yang menyatakan perasaannya terlebih dahulu. Kenapa? Karena saat itu rasul kita hanyalah seorang biasa, seorang pelayan (bukankah siti khadijah mengupahnya untuk menjual barang dagangannya. Intinya sama saja dengan pelayan atau buruh pekerja bukan?). Masih muda pula. Bagaimana mungkin siti khadijah mengharapkan rasul kita melamar dia. Siti khadijah yang kaya raya, siti khadijah yang menjadi rebutan para khalifah, perbedaan kasta itu terlalu jauh saat itu. Apalagi umur yang menjadi jarak antara mereka. Bukankah lumrah bahwa orang lebih memilih seseorang yang masih muda atau setidaknya sebanding usia untuk menjadi pasangan? Ingatlah siti khadijah sudah jauh lebih tua dibandingkan rasul kita.. Maka siti khadijah memutuskan untuk menyatakan terlebih dahulu kepada rasul kita. Menyatakan perasaannya dan menikahlah mereka. Kisah mereka tercatat dengan indah dan menjadi teladan umatnya.

Disinilah ironi itu terjadi kembali teman. Umumnya kaum wanita zaman sekarang mengaku “bagaimana pandangan orang-orang kalau mereka menyatakan perasaannya terlebih dahulu? MALU!!!” apalagi kalau ditolak, mau ditaroh dimana muka ini? Lebih baik kehilangan daripada menyatakan perasaan. Itulah pandangan umum kaum wanita zaman sekarang! Yang hidup pada zaman dimana emansipasi selalu didengungkan. Yang hidup pada zaman tuntutan akan kesetaraan. Tapi untuk hal ini malah kalah dengan siti khadijah yang hidup di zaman penuh kegelapan.

Coba renungkan teman. Pada zaman rasul kaum wanita tidaklah dianggap. Anak perempuan dibunuh itu biasa! Gadis diperkosa itu lumrah! Wanita dewasa tidak tahu tulis menulis memang begitulah lazimnya! Mana ada saat itu emansipasi. Kesetaraan. Wanita dan pria bagaikan langit dan bumi. Singkat kata pepatah bahwa wanita dijajah pria itu terjadi pada zaman itu. Zaman dimana sangat teramat tidak lazim ada seorang wanita yang mengatakan perasaannya!!!!! tapi siti khadijah mau mengatakan hal itu, berani menempuh cara yang sangat amat tidak lazim pada zamannya. Demi apa? Demi perasaan yang dia namakan cinta. Perasaan cinta kepada rasul kita. Siti khadijah tahu posisinya, dia sudah tua (walaupun kaya). Mana mungkin seorang muhammad yang notabene pekerjanya akan melamarnya yang kaya dan sudah berumur. Apalagi mengingat akhlaknya yang begitu baik budi. Kecuali kalau dia menyatakan perasaannya. Maka beliau menciptakan takdirnya dengan perbuatannya. Menerobos perkataan lumrah ataupun pandangan umumnya. MALU akan kebiasaan dia kalahkan dengan besar perasaan cintanya kepada muhammad. Dan lihatlah bagaimana kisah pernikahan mereka menjadi abadi, indah tercatat dan menjadi pedoman umat manusia.

Coba bandingkan dengan zaman sekarang. Jangankan membunuh atau memperkosa. Memandang hina perempuan saja masuk penjara kawan (melanggar HAM katanya). Wanita punya hak untuk berkarir, untuk sekolah lagi (S2 atau S3 pun terserah saja). Mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan berat seperti pria. EMANSIPASI! Kesetaraan disinggungkan dimana-mana. Bahkan pandangan masyarakat bahwa wanita tabu untuk menyatakan perasaannya sudah semakin kabur. Sudah sangat menipis (walaupun saya akui itu masih ada). Jadi dibelah bagian mananya menyatakan perasaan cinta itu membuat MALU dizaman seperti ini? Dan lihatlah mereka, kaum wanita umumnya yang mengaku intelek lebih memilih kehilangan cintanya tanpa mau sedikitpun berusaha! Ironi bagaimana kaum wanita zaman sekarang yang pandai baca tulis serta teknologi, kalah oleh sosok wanita zaman jahiliah.

Siti khadijah tidak malu untuk mencari tahu (karena toh dia baru mengetahui kabar berita) tentang rasul kita. Menguji dengan caranya. Mengatakan langsung perasaannya. Anggaplah suatu saat anda juga begitu, bertemu dengan sosok pria yang sedikit banyak memikat hati. Apakah anda akan mencari tahu? Mungkin saja. Menguji sang sosok pria? Lumrah saja. Nah saat anda tahu, ternyata sang pria dengan alasannya tidak akan “menembak” anda. Terlihat biasa-biasa saja tak merespon maka apa yang akan anda lakukan? Tampaknya kaum wanita umumnya hanya akan ikut diam saja bukan? Walaupun anda sudah mengetahui (kan dah diuji) bahwa sang pria itu baik budi. Memiliki kriteria pasangan idaman yang anda gariskan. Dan anda tahu bahwa dia tidak terlihat seperti akan berkata tentang kalian. Kebanyakan kaum wanita umumnya lebih memilih ikut DIAM. Kontras bukan dengan sosok siti khadijah? Sosok wanita pilihan di zaman kegelapan. Yah pilihan karena kemampuannya untuk tegas dan tak malu mengatakan kebenaran. Apapun itu. Dan hal itu sangat berguna nanti dalam menyokong dakwah rasul kita yang sangat berat. Menciptakan serangkaian kisah menakjubkan sepanjang usia peradaban.

Apa yang saya ingin ingatkan? Gampang. Jangan pernah mengaku atau mengharap cinta kalau cuma untuk mengatakannya saja tak mau. Takut merendahkan harga diri? Gengsi? Tabu? Gk lumrah? Maka sya yakin seyakin-yakinnya maka itu bukanlah apa yang disebut-sebut dengan namannya cinta. Tak pantas disebutkan atau diharapkan karena itu tidaklah cukup besar untuk menelan harga diri, untuk menelan malu, untuk mengalahkan ketidaklumrahan dan ketabuan. Bagaimana mungkin banyak kaum wanita mati-matian mengejar karir, mati-matian belajar demi masa depan. Menjadi kartini-kartini mandiri. Mengalahkan mitos umum “KASUR, SUMUR, DAPUR”. Karena apa? karena keyakinan mereka bahwa takdir mereka bisa mereka ukir sendiri. Tapi untuk memilih pasangan seumur hidup mereka tidak mau mengukirnya sendiri? Bah bagaimana ini? Tunduk menyerahkan sepenuhnya hanya kepada pria. Ya itupun tak salah. Walau saya pribadi juga tidak berkata itu benar. Tapi anggaplah situasinya sama seperti siti khadijah, dimana sang pria tidak akan mungkin melamar atau menyatakan rasanya kalau sang wanita tidak mengatakannya terlebih dahulu. Kebanyakan wanita zaman sekarang malah akan memilih “ya sudah, mungkin sudah nasib kali. Gk jodoh. Cowonya juga diam aja”

Menggelikan bukan? Bagaimana “gak jodoh” itu benar-benar menjadi alasan untuk suatu sikap kepengecutan. Suatu sikap keputusasaan. Suatu sikap menyerah yang bukan pada tempat dan zamannya. Ternyata untuk beberapa hal, kaum wanita zaman sekarang ternyata tidak lebih baik dari zaman dahulu. Kemunafikan yang berdasarkan ketidak mauan. Kemunafikan yang coba mereka kuatkan dengan dalil “gak jodoh”.

Sya selalu percaya bahwa semuanya harus diusahakan terlebih dahulu dengan sekuat tenaga. Terkadang yang diatas memberi kemudahan dengan menganugrahkan sesuatu yang begitu kita harapkan dengan begitu mudah. Apalagi hal yang kita sebut cinta ini. Ada kalanya sangat gampang, tetapi adakalanya pula sangatlah susah. Harus mati-matian berusaha. Harus mati-matian pula melakukan beragam hal dan harus mampu untuk menelan ego untuk mengatakannya. Kenapa pula harus malu untuk mengatakan perasaan yang tulus kepada orang yang kita sayangi. Kepada orang yang kita cintai. Dan sekali lagi saya tidak pernah mempermasalahkan gender dsini (terkutuklah mereka yang selalu meributkan hal itu), karena intinya sama saja bukan? Sejauh mana kamu menyayangi dan mencintai orang itu. Setidaknya rela melakukan segala kemungkinan supaya bisa bersama mereka. Walaupun itu harus menelan ego akan “malu” yang sebenarnya tak perlu. Katakanlah selagi masih ada waktu, sebutkanlah selagi masih ada kemungkinan itu. Kalaupun setelah mengatakannya dan tidak mendapatkannya, bagian mananya yang membuat kalian malu? Sejak kapan mengusahakan yang terbaik setulus hati itu memalukan? Karena kita bukanlah mengemis untuk sesuatu yang kita namakan cinta, tetapi mengusahakan yang terbaik sekuat tenaga untuk itu. Bukankah yang seharusnya ada itu malah rasa BANGGA! Bukanlah malu! Tak mendapatkan pun tak mengapa. Toh sudah berusaha. Dan itu satu gugatanku terhadap kalian.

Satu lagi, saya punya beberapa teman wanita yang jujur sedang mencari pasangan juga. Saya tanya kriteria mereka apa? Standar saja teman. Jujur, baik hati, seiman, serta MAPAN! Mapan yah? Apanya yang mapan? Minimal punya gaji yang cukup, punya pekerjaan yang memiliki masa depan, kalau bisa punya kendaraan dan aset lain lebih baik. Ya tidak ada yang salah dengan itu. Wajar saja karena memang untuk berkeluarga itu memerlukan hal yang seperti itu. Untuk memberi makan anak-anaknya nanti, memberikan kenyamanan rumah kepada istri, memberikan kemudahan berkendara kepada mereka pasti. Tidak salah, jujur tidak salah.

Tapi saya ingin bertanya satu hal teman. Kenapa semakin hari semakin banyak kasus perceraian di kota besar? Semakin banyak perpisahan justru diantara hal-hal yang disebut kemapanan. Semakin banyak perpisahan justru terjadi antara pasangan yang hidup didalam rumah-rumah megah, memiliki kendaraan bergaya digarasinya, makananpun sangat mewah tak ada dua. Mengapa mapan itu tidak menjamin kebahagiaan? Apa yang salah? Kenapa dengan harta?

Mungkin kita lupa teman. Lupa akan satu fakta bahwa yang membuat bahagia itu bukanlah suatu kemapanan. Yang menjamin masa depan itu bukanlah nominal harta. Yang membuat dan menjamin hal itu adalah kesungguhan. Kesungguhan untuk menjalin rangkaian kehidupan. Lihatlah bagaimana orang-orang desa. Mereka menikah dengan kesungguhan. Jujur saja mereka tidak mengenal istilah kemapanan. Mereka memang pekerja keras, dari pagi sampai petang giat bekerja membanting tulang. Tapi adakah mapan itu? Rumahnya gubuk, kendaraan tak ada, anak-anakpun sering kali tak tamat sekolah. Tapi apakah engkau sering temui kasus perceraian itu? Nyaris tak ada. Walau rumah itu semakin reot, walau kendaraan itu semakin mendekati seperti mimpi, walau anak-anak semakin banyak menuntut makanan untuknya. Tapi kenapa kasus perceraian itu justru sedikit sekali di tatanan itu? Kenapa? Apa yang membuatnya seperti itu?

Karena mereka sungguh-sungguh teman. Mereka tahu bahwa mereka tidak mampu memberi kemapanan. Tapi mereka sungguh-sungguh merangkai kehidupan. Sungguh-sungguh siap berbagi segala hal, susah maupun senang. Bersungguh-sungguh untuk mencari lembar-lembar rupiah untuk mencukupi makan anggota keluarganya. Walau tahu bahwa lembar rupiah yang mereka dapatkan hanya untuk mendapatkan beberapa kilo beras untuk makan, walau tahu lembar rupiah itu hanya mampu membeli ikan asin untuk seharian, tapi mereka sungguh-sungguh menjalin janji kebahagiaan. Kesungguhan untuk memegang komitmen itu yang dibutuhkan. Bukan rumah megah! Bukan pula kendaraan bergaya! Dan tentunya bukan makanan mewah! Semuanya hambar tanpa ada kesungguhan dalam komitmen. Kesungguhan itu indah bukan? Aku iri akan orang-orang beruntung yang memiliki psangan dengan kriteria seperti itu. Jadi jangan tanyakan bagaimana seharusnya kaum wanita menjawab kriteria pasangannya kepadaku, karena tentunya aku akan menjawab “Jujur, baik hati, seiman, dan memiliki KESUNGGUHAN untuk menjalin kehidupan”. Dan itu gugatan keduaku untuk pemikiran kaum wanita..

Ingatlah bahwa tuhan sendiri mengirimkan janjinya tidak akan pernah membantu suatu kaum yang tak mau berusaha. Mungkin kami kaum pria selalu berusaha dengan perbuatan. Karena kami sangat ahli dalam hal itu (walaupun sangat payah dalam hal berkata-kata yang sejujurnya). Maka kaum wanita juga (dalam versi kebalikannya) seharusnyalah seperti itu bukan? Berusaha pulalah walaupun itu hanya dengan kata-kata. Tidak ada yang harus malu dalam hal itu. Tidak pula harus mengatakan “kemana harga diri kami sebagai wanita kalau mengatakan hal itu?”. Gengsi dan tinggi hati. Jangan pernah mengeluarkan kata-kata “MUNGKIN BUKAN JODOHNYA”. Karena bagiku itu sama saja mendustakan tuhan, pura-pura berkata menyerahkan segala urusan kepada tuhan dengan alasan memuakkan. Bagaimana mungkin tuhan mengatakan jelas-jelas dalam kitab dan haditsnya “TIDAK AKAN MEMBANTU KAUM YANG TAK MAU BERUSAHA” dan kalian para kaum wanita dengan gampangnya bilang “mungkin bukan jodohnya” padahal jelas-jelas kalian tak berusaha? Berkata yang sebenarnya pun malu! Jadi apakah kalian mau mengingkari perkataan tuhan yang sejelas itu? Ironi teman. Sungguh ironi.

Ingatlah harta tidak juga menjamin apa-apa. Ingatlah bahwa kesungguhan lah yang seharusnya dicari. Itulah yang langka. Bagaimana bertahan dalam susah tanpa harta dengan kesungguhan yang ada. Maka carilah hal itu. Tentu kalau bisa mendapatkan keduanya lebih baik, mendapatkan pasangan yang mampu memberikan harta dan kesungguhan jauh lebih baik. Tapi ingatlah, tuhan tidaklah memberikan segala sesuatu yang sesuai dengan yang diharapkan. Kadang hanya satu saja diantara dua pilihan (katakanlah harta atau kesungguhan). Apa mau dikata, terkadang pemikiran tuhan terlalu rumit untuk kita ketahui. Terlalu kompleks jalannya. Tapi yakinlah justru semakin kompleks jalan yang dia berikan maka itu merupakan bukti bahwa tuhan semakin sayang kita, bukankah tuhan akan memberikan ujian untuk mengangkat derajat umatnya? Jadi pilihlah hal itu teman. Utamakan kesungguhan. Bukan kemapanan.

Itu saja gugatan ku untuk kalian kaum wanita, saya tidak menghakimi. Sya tidak juga orang ahli dalam hal ini. Sejujurnya saya cuma mencoba untuk mengingatkan bahwa apa yang kita “pegang” terkadang bukanlah hal yang baik untuk diyakini. Melalui kisah-kisah yang terjadi di zaman jahiliyah . Kisah siti khadijah yang mengungkapkan perasaannya kepada rasul kita, bahkan ada juga kisah tentang siti fatimah (anak rasul kita) yang menikah justru dengan Ali bin abi thalib yang miskin padahal bisa saja menikah dengan yang lebih mapan atau saudagar kaya. Lihatlah kisah sederhana orang-orang desa yang menikah muda, mengerti akan kesungguhan arti menikah dengan cara mereka. Beranak pinak di rumah reot nan sempit tak masalah. Cuma sanggup makan nasi berlauk ikan asin tiap hari pun tak apa. Mereka sungguh-sungguh akan cinta mereka. Itulah yang ingin kali ini aku gugat, tanpa maksud apa-apa tentunya. Jadi jangan pernah malu untuk hal itu, jangan pernah merasa gengsi demi hal itu, sungguh-sungguhlah. Baru engkau bisa mengharap pertolongan dari_Nya, sang maha kuasa diatas sana.

Kalau kita tidak pernah menyerah dengan keadaan hidup, maka jangan pula menyerah untuk hati sendiri. Betul bukan? Fikirkan yang baik. Renungkan. Resapi. Sya memimpikan banyak bermunculan wanita-wanita terpilih, yang tak malu mengatakan kebenaran. Yang tak malu menyatakan perasaan. Niscaya beruntunglah siapapun pria yang mendapatkan wanita seperti itu, mendapatkan berkah tak terhingga. Seperti rasul kita yang menikah dengan siti khadijah. Mengukirkan nasib dan cerita yang kekal sepanjang masa. Coba fikirkan sekali saja akan hal ini, tanyakan apakah anda sendiri pernah seperti itu? Jujurlah. Cuma itu pesanku. Jadilah wanita terpilih. Wanita jujur terhadap hati nurani. Jujur terhadap isi hati. Itu saja teman, tidak kurang. Tidak lebih :)


P.S:
dan apakah kalian (kaum wanita yang membaca ini) pernah seperti itu? Yah cuma kalian yang tahu. Sya seperti biasa hanya beropini, mengumpulkan bukti, menggugah hati nurani. read more..

apa yang harus kamu tahu tentang karut marut dunia pendidikan!!!!

0

Posted by median | Posted in

Berapa tahun engkau bersekolah kawan? Coba hitung dari mulai SD, SMP, SMA/SMK. Kalau beruntung masukkan pula waktu anda kuliah. S1, S2, S3. Selama itu apa yang engkau ketahui tentang dunia itu? Dunia pendidikan itu? Dunia yang engkau rindukan saat penat bekerja membanting tulang demi rupiah. Dunia yang engkau bayangkan saat tua, duduk bersantai sedemikian rupa. Dunia yang mungkin akan engkau ceritakan dengan bangga saat cucu engkau nanti bertanya.

Tahukah engkau teman keajaiban dunia itu? Sandiwara-sandiwara yang berada di lingkungannya? Bau busuk tingkah-tingkah tengik para pelakunya. Dunia yang sangat menarik kawan. Sungguh sangat menarik. Tak pernah aku mengetahui dunia yang begitu indah tetapi begitu mengiris hati. Ironi karena disana aku menemukan fakta fakta yang membuat aku menangis dan geram sedemikian rupa. Akan aku beritahukan apa yang aku ketahui kepadamu kawan. Semuanya tak mau menutupi apa-apa.

Aku mendengar anggaran pendidikan dinaikan ya? Ah tak apalah. Karena bagiku tak berguna. Sungguh. Mau 20 persen atau 50 persen sekalipun itu percuma. Percuma? Tak berguna? Maksudnya apa? Hahaha, akan kuceritakan satu kisah kecil kepadamu. Bukankah setiap sekolah baru ada bantuan dari pemerintah? Dari daerah? Belum termasuk dana BOS, dana ini, dana itu. Kalau dipikir-pikir masa iya kok sekolahnya gk jadi-jadi. Gitu-gitu saja tak punya alat-alat pula. Belum lagi kondisi gedung yang memprihatinkan. Kau tahu kenapa?

Waktu itu kami sedang PPL kawan. Mengajar di sekolah baru yang terpencil dari peradaban. Suatu hari sang kepala sekolah mengajak kami. “mau kemana pak?” tanya kami. “ikutlah dulu, kita diknas untuk mengambil jatah bantuan”. Ternyata kami baru tahu kalau sekolah baru ada dana bantuan dari pemerintah pusat (5tahun dana bantuan) dan daerah (3 tahun dana bantuan). Maka ikutlah kami, menghadap. Memasuki gedung megah di pusat kota. Pusat candradimuka dari orang-orang yang mengaku intelek pemikirannya.

Kami datang, menghadap. Berkata pada satu bagian bidang keuangan “pak, kita mau mewakili SMK ************ (sensor). Mau mengambil jatah tahunan dana bantuan dari pemerintah”. Dan tahukah kamu jawabnya? “oke pak, dana bantuan sekolah anda tahun ini 75 juta lebih. Ini blanko-blankonya. Anda hrus minta tanda-tangan beberapa kepala bagian”. Waktu itu semuanya wajar, kami mengisi kotak-kotak kolom yang seharusnya. Menyerahkan kembali kepada sang kepala bagian. Sampai saat dia mau menanda tanganinya, berkatalah sang kabag tersebut “jatah saya berapa pak? Kalau tidak saya tidak tanda tangan”.

Pelan kepsek kami berkata “iya pak, nanti kita kasih 4juta. Bagaimana?”. Dan saat itulah aku terkejut. Baru mengetahui suatu fakta baru dalam hidup. Ternyata ini sebabnya sekolah-sekolah tidak punya bangku yang cukup, alat-alat yang memadai, gaji guru yang tidak pernah mencapai standar seharusnya. Itu baru satu kabag kawan. Dan kami hari itu harus menghadap beberapa kabag dan meminta tanda tangannya. Dan semuanya meminta jatah! Menyedihkan. Bahkan saat mau mencairkan uang, membawa blanko-blanko yang ada ke bendahara. Sang bendahara berkata dengan santai “maaf pak, blanko serah terima uang habis”. Maka diselipkanlah sekian ratus ribu ketangannya, dan voila. Cairlah dana itu. Walau baru saja mengatakan habis sudah blankonya.

Hari itu dana yang seharusnya kami dapatkan untuk sekolah berkisar 75juta. Tapi yang kami bawa pulang cuma berkisar 45 juta. Dan aku tertawa kawan. Pahit mengetahuinya. Bahwa yang membuat sekolah kita hancur, pendidikan kita hancur adalah sistemnya. Korupsinya yang sudah mengakar sedemikian rupa. Jadi percuma saja dana-dana itu naik? Tak akan pernah sampai kesekolah seluruhnya.

Pernahkah kawan mendengar kasus ada wartawan yang datang kesekolah dan memeras kepseknya? Dan anehnya sang kepsek selalu memberikan uang kepada sang wartawan laknat. Kalau engkau bertanya mengapa bisa? Sederhana teman. Engkau tahu bahwa dana kami cuma ada 45 juta dari seharusnya 75 juta. Maka mau tak mau sekolah harus mengubah dana-dana yang ada, mark up istilahnya. Kalau dana untuk bikin gedung idealnya 20 juta, maka cukuplah 10 juta (tapi ditulis tetap 20 juta), kalau dana untuk beli alat 25 juta. Cukuplah 15 juta saja (lagi-lagi yang ditulis tetap 25 juta).

Kepsek terpaksa melakukan itu. Serba salah mereka. Malang nian pilihannya. Kalau mereka menyalahkan orang-orang atas saat diperas sedemikian rupa, maka mereka gampang saja berkilah”toh blankonya 75 juta. Ditanda tangani diatas materai pula. Jadi mana mungkin kami korupsi!!!”. Berapi-api mengatakannya padahal sendirinya tak ubah bagai serigala. Kalau sampai sang wartawan menuliskan hal tersebut dikorannya, diketahui umum, sang kepsek bisa-bisa diciduk hidungnya. Masuk penjara dibilang mengkorup uang pemerintah. Itulah sebabnya wartawan-wartawan keparat itu bisa datang dan melenggang dengan uang ditangan.

Maka sang kepsek harus memutar otak bagaimana 45 juta ini cukup, belum termasuk pemerasan wartawan dan sejumlah “pajak” lain. Akhirnya mau tak mau, melimpahkannya kepada murid. Alasannya apa? Uang pembangunan! SPP! Uang bangku! Uang gedung! Uang praktek! Dan yang lainnya. Ironi bukan? Bahwa mata rantai setan itu tercipta sedemikian rupa tanpa disadari dan diketahui banyak orang.

Dan itu cuma segelintir kawan. Segelintir kisah dari kebusukan-kebusukan lain dunia ini. Bermacam-macam rupanya. Sogok menyogok untuk menjadi guru itu juga biasa. Dalangnya siapa? Yah mana lagi kalau bukan orang-orang atas sana. Sogok menyogok untuk masuk sekolah apa lagi. Sangat lumrah kawan. Mau anaknya bego, nakal bukan main, tak pernah masuk kelas dengan “titipan” sejumlah uang maka itu biasa saja.

Jadi jangan tanyakan lagi kenapa sekolah-sekolah itu semakin lama kok semakin hancur? Alat-alatnya itu-itu saja. Kok gurunya dari dulu sampai sekarang terus merana? Ya karena itu tadi. Ah rumit sekali kawan. Rumit. Benar-benar rumit. Geram aku melihatnya.

Banyak hal yang aku lihat didunia ini kawan. Guru yang acuh tak acuh mengajar, tak punya kompetensi dan kemampuan untuk mengajar. Tak apalah bagi mereka, toh awal masuknya saja dengan sogokan. Wajarlah, perkara mereka tidak punya kompetensi tidak mampu mengajar siapa peduli. Murid-murid berkembang menjadi bajingan-bajingan penjahat bangsa pun wajar saja, karena mereka secara tak langsung sudah dididik dalam dunia itu. Dibiarkan saja mereka nakal tak terkendali dan orang tuanya menyerah akan anaknya dan menyogok saja. Menyerahkan anak nakalnya kepada guru yang begitu, dunia pendidikan yang seperti itu. Dunia tipu menipu. Sogok menyogok. Sikut menyikut. Macam dunia mafia saja. Wajar bukan kalau mereka jadi penjahat kelaknya?

Tapi walaupun begitu aku masih bersyukur kawan. Masih ada kepsek yang baik, guru-guru yang baik. Murid-murid yang sepenuh hati belajar. Aku tahu mereka juga mengetahui hal itu, bergulat lama dengan hal ini. Tapi mereka tetap berdikari, mengajar sepenuh hati. Memberi yang terbaik kepada muridnya. Menghukum murid mereka yang nakal. Peduli kepada murid-muridnya. Yah masih ada sosok-sosok itu kawan. Masih ada. Teringat aku akan bapak anu, mengajar di daerah gunung yang untuk kesana saja harus berjuang tiga hari lamanya. Melewati hutan sungai menyabung nyawa. Makan umbi-umbian. Bercocok tanam karena gaji yang tak seberapa juga tak mengapa. Beliau tulus memberi demi murid-muridnya. Murid-muridnya yang selalu terlihat haus akan ilmunya.

Teringat pula aku akan murid yang pagi sekolah sampai siang. Dan sorenya membanting tulang menjadi kuli. Untuk apa saat aku bertanya? “biar saya bisa terus sekolah pak. Sekolahkan mahal”. Yah masih ada orang-orang seperti itu kawan. Orang-orang yang mungkin tahu, mungkin tidak tahu. Bahwa banyak hal yang busuk dari pendidikan itu, tapi mereka tetap mencintainya. Berharap suatu saat mampu mengubahnya. Menjadi orang besar sesuai dengan kapasitasnya. Ingatlah kawan, ini dunia yang menarik. Dunia dimana apa yang diimpikan bukanlah sesuai dengan nyatanya. Mampukah engkau membantuku kawan? Membantuku untuk ikut mengubah dunia ini. Sedikit demi sedikit. Menciptakan pendidikan yang sebenarnya. Suatu saat nanti, suatu hari nanti. Pasti......... read more..

Dan sepenuh hati aku mencintai papaku..sungguh..

0

Posted by median | Posted in

Malam ini tepat satu hari aku berada disini. Kembali ke suasana kampung kecil nan jauh di salah satu pojok indonesia ini. Mudik tepatnya. Melepas rindu kepada aroma menyegarkan sang mama tercinta. Membuncahkan jutaan rasa sayang kepada sang papa. Bercengkrama dengan adik satu-satunya. Bercerita yang banyak dengan kakak. Trus bercerita dan bercengkrama. Tidak mau menyiakan setiap detik yang ada disini untuk mereka. Orang-orang yang untuknya rela aku menukar nyawa.

Malam ini pula kami duduk berdua di ruang tengah. Berteman tivi tua dan asap kretek yang dihisap oleh beliau, sang papa tercinta. Kami bercerita. Semuanya. Apa saja yang terjadi di sudut pulau jawa, satu cerita disusul cepat oleh cerita lainnya. Kuceritakan perkembangan pembelajaranku (malu aku karena itu sama saja menceritakan masalah TA dan skripsi ku yang tidak juga memiliki titik jelas untuk terselesaikan dengan segera), ku dongengkan mimpi ku (untuk mengambil kursus bahasa nan asing itu. Memencongkan mulut pribumi ini untuk mengucapkan huruf-huruf asing ditelingaku). Semua demi kemungkinan beasiswa sekolah di benua baru. Membanggakan namanya karena mampu meraih titel lebih dari sekadar S1 saja di pulau jawa. Ku desahkan hasrat besarku untuk mendirikan sekolah dan bengkel itu. Semuanya pondasi akan cita-citaku yang baru. Mendirikan sekolah gratis!!! yah sekolah gratis, sekolah yang didengung-dengungkan dengan indah oleh para politisi keparat itu saat mencari muka “menjual” diri. Sekolah mimpi yang menyesakkan hati orang melarat di negeri ini. Sekolah mimpi yang benar-benar dinanti.

Aku berdongeng malam itu, bercerita, menganalogikan dengan kata-kata, mengeluarkan perbendaharaan kata intelek yang aku dapatkan dari jawa sana. Merasa hebat untuk menceritakan apa saja yang telah kuperbuat disana. Berapa rupiah yang telah aku dapat. Bangga menunjukkan bahwa anakmu ini papa, anakmu ini yang dulu suka dengan seenaknya memeluk punggungmu saat engkau sujud menghadapNya. Anakmu yang nakal alang kepalang sehingga seingatku sendiri nyaris tiga kali celaka hampir memecahkan batok kepalanya. Anakmu yang suka pergi bermain dan lupa jam pulang seharusnya. Membuat engkau marah-marah semalaman karenanya. Dan mengalirlah semua rasa itu, Bangga! Merasa hebat! Sumringah! Buncah semuanya malam itu dan kuceritakan berbait-bait kepadanya.

Beliau mendengarkan. Sekali-sekali menghisap kreteknya. Mengusap keringatnya (yah global warming kawan, tengah malam pun terasa panas dipojok desa ini). Sunyi mendengarkan ditemani suara jangkrik diluar sana yang sahut menyahut menimpali. Sampai mulutku berhenti menceritakan pun dia masih diam. Dan malam itu adalah satu malam yang seumur hidup akan aku ingat. Malam dimana beliau yang tidak pernah mengecap pendidikan lebih membuatku tertegun dengan kosa kata sederhananya. Malam dimana beliau yang aku tahu sudah menjejak hampir seluruh pelosok negeri ini menceritakan kesederhanaan apa yang beliau inginkan. Pengharapan tulus dari seorang papa yang mati-matian menyayangi anaknya dengan caranya. Pelajaran akan kesederhanaan arti dukungan seorang papa kepada anaknya. Inilah satu cerita yang aku tulis untukmu, hormatku, kebanggaanku kuserahkan kepadamu.

Pelan saja dia menghembuskan asap kreteknya. Bergulung mengepul dan menghilang. Menimpali dengan suara baritonnya. Mengungkapkan pandangannya. Pengharapannya. Keinginan sederhananya. Banyak hal yang dia ceritakan. Tapi aku hanya akan mengutip beberapa saja disini. Kata-kata yang sampai mati akan membekas di hati ini.


“.........................

...........................”
“kau tahu abang? Kau tahu dari dulu pun sama sekali tidak pernah orang tua mu ini memaksa engkau cepat lulus. Tidak pula aku mengharap engkau lulus dengan angka selangit. Orang tua mu ini hanya meminta engkau lulus. Bukan waktunya yang kami tuntut, bukan nilainya pula yang harus termaktub di selembar surat yang menyatakan engkau lulus. Kami cuma ingin engkau lulus. Ingat engkau bagaimana kakakmu dulu? 5Tahun.. 5 tahun hanya untuk keluar dari FKIP bahasa inggris dulu. Nilainya pun biasa saja, tidaklah bisa dibilang bagus tapi juga tidak bisa dibilang jelek. Cukuplah untuk menjadi guru seperti mamamu. PNS seperti sekarang yang engkau lihat di smk tengah kota bengkulu.”

“kau ingat kakak keduamu? 5,5 tahun untuk lulus farmasi di jawa sana. Tambah setahun lagi untuk ijazah meracik obatnya. Apa pernah papamu ini menuntut nilai dan waktu cepat? Tidak bukan? Jadi usahlah engkau merasa malu dengan waktu yang agak lama, apalagi engkau teknik. Wajarlah. Tidak pernah kami marah atau malu cuma karena waktu saja. Pokoknya engkau harus lulus! Punya ijazah! Ijazah yang papa dan mamamu ini tidak punya.”

“Ijazah itu penting abang! Penting karena sekarang semuanya menuntut selembar kertas itu. Untuk PNS lah, naik pangkat lah, untuk gaji lah. Macam-macam rupanya. Papamu ini tidak ingin engkau menjadi seperti kami orang tuamu ini, susah naik pangkat menambah gaji untuk kalian anak-anak kami. Gara-gara apa? Ijazah itu biangnya. Itu menjadi syarat didunia kerja sekarang. Penting kali urusan ijazah ini aku ingin engkau tahu sekarang ijazah itu bisa dibeli dengan mudah. Banyak sarjana diluar sana. Keluar masuk kantor membawa ijazah berlembar-lembar, tapi apa bisa kerja? Karbitan semuanya. Bahkan ada yang membeli ijazahnya. Tidak becus bekerja. Jadi kalau engkau ingin tahu kenapa papamu ini tidak pernah kalah oleh sarjana baru di kantor sana, jawabnya ya itu. Pegawai baru itu bahkan bingung mengonsep surat. Bah lagak saja tamatan jawa, cumlaude pula. Tapi surat saja tak becus. Kalah oleh papamu ini yang tamatan STM atau tamatan SPG seperti mamamu. Papa tidak mau engkau menjadi macam itu. Secepatnya ingin lulus, mengutamakan nilai besar tapi tak mampu bekerja. Karbitan! Mati engkau didunia kerja kalau begitu. Tidak pernah aku tuntut engkau harus lulus dengan nilai super baik, dan kecepatan waktu sekejap saja. Luluslah engkau dengan kesanggupan, kemampuan, keberanian kerja. Cukuplah itu bagiku, menenangkan hati dan jiwa tuaku dengan keyakinan engkau bisa hidup didunia keras diluar sana. Dengan kemampuanmu dengan ijazahmu. Jangan hanya punya ijazah saja walau bagaimanapun pentingnya itu.”

“Papamu ini tidak pernah melarangmu bekerja memeras keringat demi lembar rupiah, asal itu bisa kau tahan dan tidak merugikan maka lakukanlah. Satu saja mauku, jangan sampai itu menghambat kuliahmu. Usah kau pikirkan darimana uang yang kami dapat untuk kuliahmu. Itu bukan pula urusanmu! Semuanya halal walau untuk mendapatkannya kalau perlu kugadaikan seluruh tanah kepunyaan kita untuk membiayai kalian. Anak-anak kami. Jadi janganlah dulu engkau bekerja, takut kali nanti menggangu kuliahmu. Soal mencari uang, serahkan kepada kami. Luluslah dulu setelah itu bebas pula engkau mau kerja dimana, di eropa sana kalau perlu, atau mau berkeluarga? Sebutkan calonnya dan kami lamar secepatnya. Prioritaskan lulusmu, walau itu pelan tapi tetaplah maju. Jangan tersendat oleh apapun aktivitas lain milikmu. Apalagi bekerja. Bukan abang, bukan papamu ini melarang engkau berkeringat mencari uang. Kalaupun engkau masih mau melakukan itu, ingat pesanku. Jangan mengganggu perkuliahanmu. Camkan itu!”
“Beasiswa yah? Ah tak apalah engkau kejar itu. Tapi kejarlah itu benar-benar. Lakukan tanpa mengganggu perkuliahanmu. Luluslah dahulu baru kalau perlu kau kerja sana. Baru kuliah mencari titel baru. Kau ingat bapak anu? Gelarnya berbaris macam tentara. S.H, S.Sos, M,sc, plus tambahan Drs H. didepannya. Tapi apa engkau tahu bagaimana dia mendapatkannya? Dengan kesungguhan! Lulus kemudian kerjalah dia. Membayar biaya dengan keringatnya, masuk ekstensi atau kelas khusus tidak masalah. Kalau engkau memang merasa mau mengejar itu maka selesaikan S1 mu dengan baik terlebih dahulu, kejarlah titel-titel berikutmu dengan sebaik-baiknya. Banggalah dengan titel tersebut nantinya. Jangan pula nanti engkau sudah merasa pandai terus lupa ingatan. Sudah merasa paling jago dengan gelar berbaris-baris. Jadilah orang pandai dengan sesungguhnya, jadi orang pandai nan berguna untuk semua orang”
“Kau mau bikin bengkel? Kau mau bikin sekolah? Kau mau jadi orang dengan beberapa titel di depan dan belakang nama? Tidak masalah. Papa dukung itu dengan semua tenaga tua ini yang tersisa. Ingin nian papamu melihat hal itu. Bengkel besar itu. Sekolah dimana engkau menjadi pimpinannya. Disegani oleh semuanya. Kalau masih kuatpun papa mau naik motor modif buatanmu. Gagah kali kelihatannya pasti. Keliling kota dengan mamamu. Tapi ingat pintaku cuma itu, seriuslah engkau mengejar semuanya. Mampu sebenar-benarnya. Tak mau aku membanggakan anak yang tak becus kerja, parasit di tempat perusahaannya. Tidak serius mengejar mimpinya. Mimpi tinggi tapi malah mati tanpa usaha berarti. Seriuslah abang, mampu dengan sebenarnya. Ingatlah itu, pesan dari papamu”

“...............................................................................”

Ringan saja beliau mengucapkan semua itu. Bahasa sederhana. Bahasa dari orang yang seumur hidupnya lebih banyak diam tanpa komentar. Memuntahkan semua kata itu hanya dengan menghabiskan satu batang rokok kreteknya itupun sambil menonton tivi pula. Tapi aku tertohok oleh kenyataan itu. Membuatku malu, ya malu karena mencoba membanggakan sedikit rupiah yang bisa aku dapatkan dibandingkan dengan kenyataan bahwa beliau membanting tulang untuk membiayai kami anak-anaknya, dan apa beliau membanggakannya? Ringan saja beliau berkata seakan itu selingan saja. Tidak perlu menampakkan raut muka serius seakan itu hanya sekadar angin lalu saja. Dan aku? Baru bisa segini saja sudah pongah seakan hebat semuanya. Dengan kesederhanaannya beliau menyadarkan aku. Betapa beliau bertanggung jawab dengan caranya dan tidak merasa perlu menjelaskan bagaimana itu (walau mungkin harus mengubah fungsi kaki ke kepala dan sebaliknya). Mengajarkan bagaimana untuk tidaklah harus membesarkan dan membanggakan berlebihan berbagai hal sehebat apapun itu. Karena itulah fungsi seorang papa. Fungsi seorang papa kepada anak-anaknya.

Detik itu pula aku tertegun oleh suatu kenyataan yang mengajarkan bahwa perkataan lebih baik digantikan dengan perbuatan yang tidak terkira. Beliau tidak canggih mengungkapkan kata-kata. Tapi dengan kata sederhana saja mampu membuatku kehilangan kemampuan berbicara, kagum dan hormat kepadanya. Beliau tidak pula jago membelai seperti mama. Mencurahkan kasih sayang dengan menina bobokan. Memanjakan. Beliau “membelai” dengan cara yang sedikit berbeda. Beliau “membelai” dengan tanggung jawabnya. Aku selaku anak seakan buta dengan suatu fakta bahwa beliau benar-benar mati-matian bekerja demi kami keluarganya. Sebesar itukah tanggung jawab seorang ayah ya tuhan? Memang papaku itu tidak lah bisa seperti papa layaknya sinetron yang sangat memanjakan dengan kata-kata dan pelukan. Tapi dia memanjakan dengan tanggung jawabnya mencari nafkah. Mencoba mengerti seluruh perkataan anak-anaknya dengan perbuatan dan pikirannya yang sederhana. Dan lagi-lagi itulah kewajiban papa. Kewajiban papa ayah kepada anak-anaknya.

Itukah sosok seorang papa? Sosok yang sering kali diidentikkan dengan keras, galak, suka marah-marah pula. Tapi kerap kali dilupakan sebagai sosok teduh yang melindungi seluruh anggota keluarganya, sosok yang siang malam membanting tulang akan tanggung jawabnya. Sosok yang bagaikan hanya berperan di belakang panggung saja, tersamarkan oleh keberadaan lain yang selalu ada dan siap memberikan perhatian kapanpun dan dimanapun. Kita selaku anak malah sering kali berkilah, lah ntu kan tanggung jawab papa untuk itu? Tanggung jawab untuk mencari nafkah. untuk memberi kami anak-anaknya uang dan hidup yang layak adanya. Bah absurd! Absurd karena bisa sepicik itu berfikir sebegitu gampangkah seorang papa mengorbankan ego (bahkan harga dirinya) cuma untuk anak-anaknya? Cuma untuk beberapa lembar rupiah sehingga anaknya tidak lagi merengek nangis meminta hadiah. Kalau seorang mama mendapatkan penghormatan tinggi akan kemampuannya berkorban waktu dan mempertaruhkan nyawa untuk merawat anaknya. Maka bukankah seorang papa berhak pula mendapat penghormatan yang sama akan kemampuannya merendahkan harga diri dan mempertaruhkan nyawa untuk lembar rupiah bagi keluarganya. Apa kita ingat itu? Sadar itu?

Malam itu aku mendapatkan pelajaran langsung dari ahlinya. Masternya. Pelajaran tentang bagaimana seorang papa bertanggung jawab. Pelajaran tentang kesederhanaan pengharapan seorang papa. Pelajaran tentang perhatian tulus yang bukan tercurah melalui kata tapi melalui perbuatan adanya. Dan yang terutama mengenai kesungguhan. Dulu aku sering merasa bahwa seorang papa itu paling susah mengerti kemauan anaknya. Dan ternyata itu benar, seorang papa seringkali kesulitan menebak apa mau anaknya. Tidak pandai pula mengorek hal tersebut dari anaknya langsung. Tapi mereka menggantinya dengan tanggung jawab untuk mengakomodir kemauan anaknya tersebut. Berkata dengan perbuatan seakan berkata, “mau apa engkau nak? Kuliah di seberang sana? Punya ini itu? Bergaya dengan pakaian baru? Maka mati-matian aku akan mencari uang untuk itu. Usah kau risaukan itu, pasti akan terbeli semuanya. Tak sampai hati aku tega melihatmu merengek akan hakmu. Aku dukung dengan semua kemampuanku. Kemampuan dari segenap darah dan dagingku.” dan untuk itu seharusnya aku sadar diri, tahu diri dan sepantasnya berterima kasih untuk pengorbanan seperti itu.

Yah itulah yang seringkali kita selaku anak lupakan dari sosok papa. Sosok yang sebenarnya menyadari kelemahannya untuk berkata-kata namun mengganti dengan kelebihan perbuatannya. Tulus apa adanya. Sungguh-sungguh melakukan tanggung jawab menafkahi walau itu menderakkan tulang-tulang saking beratnya. Terima kasih pa. Beribu tulisan atau ucapan pun tak mampu mengungkapkan rasa terima kasih ini kepadamu. Jujur sekarang aku masih harus belajar banyak untuk ini. Belajar untuk menjadi seorang papa. Seorang sosok yang bertanggung jawab taerhadap anak-anaknya. Karena aku akan berkeluarga. Bisa saja 30-40 tahun lagi peristiwa ini terulang lagi. Saat itu aku sudah tua, tengah malam seperti sekarang dan anakku bercerita banyak hal. Maka aku akan menceritakan ulang pelajaran malam itu yang aku terima. Yaaaaah, suatu saat nanti. Suatu malam nanti. Terima kasih pa.. sungguh sekarang aku tidak perlu gengsi ataupun malu malu untuk berbicara bahwa sungguh aku mencintai papaku. Sosok yang selalu menjagaku. Dari dulu sampai habis nafasnya nanti. Terima kasih pa, sekali lagi terima kasih........



P.S:
apakah kamu selaku anak sadar hal itu? Sadarkah akan peranan seorang papa? Seorang ayah? Fikirkan apakah selain kasih sayang sang ibunda yang berperan maka apa lagi yang membesarkanmu? Coba fikirkan sekali-sekali tentang ini dan berterimakasihlah setulus hati
read more..