chapter 3 novel sya "dan semua ada waktunya.."
Pagi hari ini sejuk. Mentari muncul malu-malu. Burung-burung keluar dari sangkarnya, bercengkrama dengan sejuknya udara. Inilah mereka, tian dan permata. Berada di dua tempat yang berbeda. Melewati malam-malam yang penuh dengan doa. Malam-malam doa yang panjang. Memohon sungguh-sungguh kepada_Nya. Permohonan untuk dipertemukan. Permohonan untuk satu takdir kebersamaan. Dua manusia yang terpisah oleh tempat, terpisah oleh kenyataan, terpisah oleh getirnya pilihan. Dan sungguh beruntunglah mereka karena pagi ini dua tali takdir itu mulai dipilin kembali oleh_Nya. Sedikit demi sedikit. Erat berputar menjadi satu kesatuan lagi. Maka sungguh bebal otak kita yang suka berkilah akan janji_Nya. Manusia yang lupa bersyukur saat janji itu tiba. Manusia yang selalu mengumpat saat dirundung masalah. Percayalah bahwa Dia, Yang kuasa, akan memenuhi semua doa. Dengan semua keadilan_Nya. Dengan semua pertimbangan_Nya. Bersyukurlah. Terimalah nikmatilah karena semua selalu ada waktunya.
….........................
..........................
Hotel, at bed 08:17 AM..
“you've got a message.....”.
Aku terbangun. Menggerutu. Mengomel setengah terpejam. Sepagi ini di hotel ini seharusnya aku bisa bangun tinggi hari. Bermalas-malasan sekali sekali. Toh flight time kebandung masih sore, sengaja aku memesan jam segitu karena ada janji dengan teman lama ku. Seorang pengusaha muda di bagian real estate yang ingin menunjukkan proyek barunya. Proyek yang ambisius itu. Beberapa kali masuk headline utama dan menjadi percakapan hangat diantara para pengusaha properti. Masih teringat jelas suaranya sewaktu menelponku
“Datanglah ke proyekku, sekali ini saja teman. Sudah lama kita tak bertemu. Datanglah sebelum matahari terbenam. Kan lu dari dulu suka melihat langit? View disini bagus sekali jam segitu. Oke? Gue tunggu..”.
Dan lihatlah sekarang, aku malah terbangun oleh satu sms sialan di pagi hari. Kuraih communicatorku, dengan mata setengah terpejam kubuka sms sialan itu.
“syg kemana? Kok dari kemaren gk kasih kabar siy? Sms-sms aku gk dibales. Telpon gk diangkat. Kapan pulang? Kasih kabar yah kamu lagi ngapain. Kangeeen..”
Sialnya ternyata itu satu sms dari para wanitaku. Sialan. Mata mengantuk. Kepala yang masih terasa pusing karena wine semalam yang ku teguk. Tambah lagi pesan singkat yang intinya sama saja dengan “laporan”. Memuakkan. Aku sudah pernah berdekatan dengan beragam jenis wanita. Intelek, model, orang biasa, orang alim, cantik, biasa saja, atau malah yang bertipe bitchy sekalipun aku pernah. Tapi kenapa satu pun aku tidak menemukan wanita yang bisa memberikan kepercayaan penuh kepadaku. Alih-alih mengirimkan pesan yang mensupport, joke ringan yang membuatku tersenyum dan selalu mengingat mereka ini malah meminta laporan setiap saat. Memangnya aku ajudan mereka? Sedikit sedikit musti laporan. Tak tahukah mereka kami kaum laki-laki tidaklah suka merasa seperti itu. Merasa dianggap seperti musang. Musang yang bila tidak “dikontrol” dengan baik maka akan langsung berpaling memangsa yang lain. Jadi buat apa mereka mau menjalin hubungan bila tidak percaya? Menggelikan.
Aku abaikan pesan singkat itu. Memikirkan satu kemungkinan, bahwa sepertinya wanita ini juga akan masuk daftar mantanku berikutnya. Tersenyum dengan satu fakta yang baru hinggap di pikiranku “perasaan belum pernah aku berpacaran mencapai setengah tahun lebih. Sering kali hanya sebulan dua bulan saja”. Ku letakkan kembali communicatorku ke sisi bantal, beringsut sedikit dari pembaringan, menggeliat mengucek mata. Berdiri. Segera pergi mandi. Berfikir mungkin dengan guyuran air maka aku bisa segar kembali. Yah mungkin...
Hotel, bathroom 08:24 AM..
Kuputar kran shower. Membiarkan aliran air hangat membasahi sekujur tubuh. Menyenangkan juga mandi dengan air hangat sepagi ini. Pusing ku sudah mulai menghilang. Pikiranku mulai terasa benderang. Hanya pada saat-saat seperti inilah aku bisa bersantai, tidur sampai siang hari (walau toh tetap saja kalau ada masalah sedikit maka para bawahan akan langsung menelpon tergopoh-gopoh), bermalas-malasan sedikit sebelum rutinitas itu datang. Berurusan dengan semua orang. Sangat banyak orang. Tapi anehnya entah kenapa semuanya terasa semakin kosong. Tak sanggup segala urusan menghilangkan rasa itu. Merasa sendiri.
Sejak jauh dari DIA aku memutuskan untuk semakin tenggelam dalam kesibukan, aku ikuti beragam organisasi, mendatangi beragam acara, total dalam membesarkan usaha-usaha yang kurintis. Tempat baru. Wanita baru. Orang-orang baru. Rekan baru. Teman-teman baru. Banyak, teramat banyak. Tapi kekosongan itu semakin besar saja. Sesak aku dibuatnya. Sering kali merasa sendiri justru saat aku berada di keramaian semua orang. Dan sejujurnya aku tidak terlalu menganggap semua orang itu bisa dianggap teman yang baik atau setidaknya bisa dipercaya. Ah entahlah, mungkin aku masih kurang menjelajah. Masih kurang mencoba hal baru. Masih kurang tenggelam dengan rutinitas-rutinitas yang ada. Atau mungkin aku hanya membutuhkan DIA? Permata itu? Entahlah, pusing kembali kepalaku hanya dengan memikirkannya saja.
Selesai mandi aku segera berpakaian. Seadanya. Jeans robek plus kaos hitam polos cukuplah. Keluar dari kamar hotel. Memutuskan untuk mencari satu atau dua novel bagus di mall depan sana. Hitung-hitung jalan-jalan berolahraga. Berapa minggu yah aku tidak berolahraga? Latihan di dojo seperti biasa. Seingatku hampir dua bulan lebih aku tidak datang.
Tersenyum masam mengingat sensei akan memarahiku (dan hal itu berarti sparing serta bantingan yang banyak). Belum terhitung rengek manja si kecil laras, astri, aster, opik dan yang lainnya, “om tian kemana aja? Gak mau tau pokoknya tar anterin pulang. Traktir makan juga. Kalo gak musuh!!! om tian jahat!!”. Dan untuk ini aku tersenyum riang. Selalu terasa menyenangkan latihan beladiri bersama mereka. Ksatria-ksatria kecil (walau dalam beberapa hal malah terasa mirip seperti penjahat kecil, haha).
Mall ini, baru dibuka pun sudah penuh dengan pengunjung. Wanita terutama. Selidik punya selidik ternyata ada SALE? Haha, pantas saja. Lihatlah mereka bergerombol seperti semut cuma untuk rebutan satu dua pasang sepatu yang didiskon (aku bahkan ragu apakah itu benar “diskon”. Karena toh harganya sama-sama saja). Saling sikut berdesakan cuma untuk satu dua potong pakaian. Saling tarik plus umpatan untuk mendapatkan satu dua pasang sepatu. Ah bagian mananya dari indonesia yang disebut “krisis” kalau melihat hal ini? Sibuk mereka belanja beberapa potong pakaian, memborong beberapa pasang sepatu. Aku bahkan ragu apa itu akan dipakai sepanjang tahun? Atau hanya dua tiga kali dan ujung-ujungnya dianggap usang. Masuk gudang! Dengan santai bilang “mode fashion sudah ketinggalan zaman teman”. Terkadang untuk beberapa urusan aku tidak pernah mengerti jalan fikiran manusia. Terutama untuk urusan seperti ini. Aneh, benar-benar aneh.
Akupun melenggang masuk ke salah satu toko buku di mall ini. Toko yang bagus. Musik yang cozy, penataan rak yang apik, warna yang terkesan hangat. Akupun langsung berjalan menuju rak buku baru. Mencari beberapa novel bagus, syukur-syukur kalau mendapatkan novel filsafat yang bagus (yeah, I really luv philosophy). Melihat-lihat dan memutuskan untuk mengambil satu novel yang menarik hati setelah membaca resensinya. Beranjak ke kasir. Membayar sejumlah uang dan langsung pergi ke cafe terdekat. Tujuan selanjutnya: sarapan plus membaca tentunya.
Mall, cafetaria 11:35 AM
Ah menyenangkan. Duduk di cafe yang sepi nan nyaman, bertemankan novel bagus. Plus sedikit cemilan plus minuman. Memanjakan pikiran sebentar (mengingat dalam beberapa jam lagi aku akan kembali sibuk dengan pekerjaan). Cuma membutuhkan dua jam kurang untuk menghabiskan 354 halaman novel ini. Maka aku duduk rileks, memakan cemilan yang dari tadi tidak terlalu dipedulikan (kebiasaan. Kalau aku sudah asyik dengan satu hal maka aku akan tidak mempedulikan banyak hal. Apalagi ini cuma sekedar cemilan). Mengedarkan pandangan dan memperhatikan pengunjung lainnya. Mmmmh, ada beberapa pengunjung. Dua bangku didepanku ada seorang wanita. Di pojok kiri juga wanita. Di ujung pojok sana ada pasangan yang sedang bercengkrama.
Sambil menghirup minuman aku memperhatikan wanita yang berada dua bangku didepanku. Cantik juga. Rambutnya hitam panjang. Berkacamata. Terlihat intelek pula. Terlihat sedang menyantap makanannya. Dan akupun memutuskan untuk melihat kemungkinan menggodanya (nah ini juga kebiasaan lama,haha). Tidak banyak yang aku lakukan. Hanya memperhatikan dia selama kurang lebih 20 menitan (ibarat pemburu maka observasilah terlebih dahulu) melihat “tanda” yang dia berikan baru membuatku memutuskan untuk langsung mendekati “buruan”. Hunting time..
“Tanda”? ya “tanda”. Salah satu teori konyol yang aku ciptakan sendiri. Dari pengalamanku (sekian lama perantauan, berkomunikasi dengan banyak orang, berpacaran dengan banyak wanita dan lainnya) aku tahu suatu fakta bahwa semua orang kadang kala berprilaku sama. Memiliki “tanda” yang sama.. “Tanda” yang diberikan pabila tertarik terhadap seseorang atau sesuatu. Ambil contoh seperti sekarang, dalam dua puluh menitan aku tahu kalau wanita dua bangku di depanku ini tertarik padaku. Bagaimana caranya? Gampang lihat saja tandanya. Ingatlah kalau segala sesuatu di dunia ini diciptakan tuhan dengan “tanda”nya masing-masing. Tinggal kita saja yang mau atau tidak membacanya.
“Tanda” nya apa? Gampang, lihatlah wanita itu. Perhatikan dengan seksama. Apakah wanita itu sempat melihat? Memperhatikan wajah dan bersitatap mata langsung maksudku? Satu kali melihat, ah itu biasa saja. Nothing special. Wajar saja intinya. Coba perhatikan kembali, apakah dia melihat kembali and yupz, she did that. Melihat ku untuk kedua kali. Dan itu berarti dia merasa aku rada “beda”. Rada menarik setidaknya. Maka perhatikan dia lebih seksama lagi, apakah dia melihat kembali untuk ketiga kalinya? And voila, she did that again. Tiga kali “strike”. Plus lagi sengaja berpura-pura membuang muka saat bertemu mata.
Sederhana bukan? Hanya membutuhkan 20 menitan untuk mengetahuinya. Apalagi kalau orang tersebut melihat berkali-kali (atau malah sambil menyunggingkan selarik senyum). Sengaja nian melakukannya. Sekarangpun aku tidak merasa sedang melakukan hal aneh. Membuat orang-orang merasa wajar untuk melihat ke arahku. Jadi aku yakin kalau wanita tadi melempar pandangan karena setidaknya rada tertarik kepadaku. Sederhana bukan ?
Aku ambil minumanku. Menenteng ringan novel yang telah selesai aku baca itu. Menghampirinya. Berkata sambil tersenyum ringan,
“hai..boleh aku duduk disini. Rasanya kurang menyenangkan duduk sendirian tanpa teman. Yah, itupun kalau kamu berkenan dan kamunya sendiri tidak sedang menunggu seseorang”
Dia mengangguk pelan. Merah muka malu tersipu. Mungkin tak menyangka aku akan menghampiri. Kutaruh minumanku dimeja. Duduk bertatapan muka dan mulailah pembicaraan diantara kami.
Okay, first rule on talking to women. Tanyalah hal-hal kecil tentangnya dan lingkungannya, timpali hal itu dengan ringan (dengan humor kalau perlu), pujilah hal-hal kecil tersebut atau detail kecil dari penampilannya (lebih baik daripada merayu fisiknya langsung, terkesan kayak playboy kampungan kalau begitu). And it always works for me, pembicaraan diantara kami berjalan menyenangkan. Banyak tawa, banyak cerita yang tersampaikan. Akrab sekali. Mmmmmh, bahkan aku mendapatkan banyak info tentangnya. Namanya sherry, bekerja di salah satu bank terkenal di kota bandung (well, kebetulan yang lagi-lagi menyenangkan), umur 23 tahun, berada di sinipun karena kantor yang menugaskan, serta beberapa puluh keterangan lain yang aku dapatkan.
Disela pembicaraan kulirik sedikit kearah jam tangan. Oh, shit. Sudah jam 1 kurang sepuluh. Satu jam setengah lagi aku sudah harus di bandara. Harus segera bersiap. Dan akupun permisi pamit, cepat menjelaskan kalau dalam waktu satu jam lebih sedikit aku sudah harus berada di bandara. Tak lupa pula sempat bertanya kepada dia..
“mmmmh sher, boleh minta kontaknya gk? Siapa tau nanti kita bisa bertemu lagi dibandung. A date perhaps?”
Yah, seperti yang diduga maka ringan saja sherry memberikan sederet angka kepadaku. Menitipkan pesan sambil tersenyum riang.
“jangan lupa ya a, kalau ada waktu telpon sherry”.
Akupun bergegas ke hotel. Tergesa-gesa karena harus secepatnya sampai di bandara. Mengemasi pakaian, laptop, dan beberapa berkas-berkas. Memasukkannya ke ransel besarku (jangan heran, karena dari dulu sampai sekarang aku tidak pernah suka menggunakan koper untuk bepergian. Tidak praktis). Check out. Memanggil taksi, masuk dan langsung berpesan kepada sopirnya
“Bandara pak! Ngebut secepatnya. Sya bayar dua kali lipat dari argonya!”
Sky, at plane 14:45 PM..
“Bapak tidak apa-apa? Atau butuh sesuatu?” Sapa ramah dari pramugari cantik disebelahku
“oh tidak terima kasih mbak. Sya tidak apa-apa dan tidak butuh sesuatu sekarang”. Sahutku kepada pramugari cantik itu.
Yah kali ini aku kembali berbohong. Bagaimana mungkin aku tidak apa-apa. Muka pucat. Rada berkeringat. Kedua telapak tanganku bahkan rada gemetar tidak bisa diam. Pramugari itu bahkan bisa langsung melihat hal itu.
Aku sebenarnya tidak pernah menyukai naik pesawat. Ganjil terasa. Teringat dulu saat pertama kali aku naik pesawat dari tempat asalku. Waktu itu aku masih SMA, bisa naik pesawat karena mendapatkan tugas membela daerah. Ikut dalam satu kejuaraan bahasa inggris pula. Sampai sekarang pun aku suka tertawa mengingatnya, bagaimana aku yang tergolong udik ini bisa-bisanya kok dapat tugas itu. Naik pesawat pula. Bagaimana aku pertama kali (dan itupun berlangsung sampai sekarang) merasa mual. Perutku terasa diaduk-aduk. Telingaku berdenging-denging mendengar bunyi mesin menderu-deru.
Waktu itu tidak ada pesawat boeing seperti ini, hanya ada pesawat kecil berkursi belasan saja. Pesawat kecil khas daerah. Rapuh berderit-derit saat mau mengudara. Menambah rasa mual, pusing tambah pula trauma takut mati melihat pesawat serapuh ini. Sekarang? Tak ada lagi pesawat kecil itu. Berganti dengan yang besar berkursi banyak. Gagah juga rupanya. Tapi semuanya masih sama saja. Puluhan kali aku naik burung besi rasanya tetap saja sama. Yah sepertinya tubuh udik ini benar-benar tidak bisa kompromi.
Cepatlah sampai ya tuhan, sebelum aku terlanjur muntah disini...
Bandung, site area 18:32 PM
Baru satu jam kurang aku sampai dibandung. And here I am. Duduk di site lantai 12 sebuah bangunan yang akan jadi apartemen mewah dengan total 24 lantai nantinya. Bertemankan segelas kopi, sedikit makanan dan seorang kawan lama. Duduk selonjoran begitu saja.
“wuah, makin sukses aja lu Gi. Perasaan baru kemaren-kemaren kita maen bareng. Ngeceng anak-anak SMA bareng waktu kuliah. Ditolak bareng juga. Haha, maklum dulu masih kere kitanya. Kalo sekarang cewe mana yang berani nolak elu Gi. Pengusaha muda, ganteng, bisa bikin apartemen setinggi ini pula. Gila lu! Gue kira sumpah lu dulu untuk bikin apartemen cuma ngomong doang”
Sosok yang kusapa Egi itupun tertawa, “ya elu tiap kali gua ngomong kagak pernah percaya. Mentang-mentang dulunya gue cuma maen mulu. Kalo gue ngmg bakal bikin ya mati-matian gue cari sela nya. Kalo dah dapet pasti gue bikin. Nih buktinya! Biar semua yang dulunya ngeremehin kita pada percaya! Pada hormat! Eneg gue ma kelakuan orang-orang dulu yang pernah mandang remeh kita.. inget gak lu?”
Pelan kuseruput moccachinoku, mengingat kembali semua kenangan dulu. Yah zaman dimana kami masih benar-benar sengsara dulu. Egi dan aku sama-sama mahasiswa perantauan. Berasal dari daerah yang berbeda. Beda karakter sifat pula. Tapi kami tahu bahwa kami pernah sama-sama sengsara dan melewatinya bersama. Itulah mengapa kami benar-benar dekat sampai sekarang.
Masa-masa itu masa yang pahit bagi kami. Bagaimana kami dulu dengan uang hanya dua puluh ribu bertahan hidup selama seminggu. Teringat juga bagaimana aku dan egi terpaksa ngutang sana sini waktu itu. Bagaimana juga kami beradaptasi dengan budaya, makanan, dan cuaca yang benar-benar berbeda disini. Saling jaga, saling berbagi, bahkan sama-sama diremehkan oleh orang-orang waktu itu. Yah karena kekurangan harta kami waktu itu.
“iya gue tahu. Dulu karena sering kali ngutang kita ampe diomelin yah sama mbak itu. Waktu awal-awal tahun dibandung. Saat kita gak punya teman-teman banyak. Tapi sudahlah gak usah ungkit lagi hal begituan. Ada waktunya kita kurang harta dan gak bisa bergaul. Dan kita buktikan juga ada saatnya kita sekarang memiliki cukup harta bukan? Untuk pergaulan juga begitu. Kalo gak ada ya tinggal buat aja dengan usaha, gitu kan prinsip kita dulu. Eh ngomong-ngomong gimana cewek lu sekarang? Jadi lu nikah tahun depan?”
sambil menyedot rokoknya Egi menimpali, “nikah? Ya jadilah. Mending nikah gue mah. Kebelet ni, lagian dah bosen gue maen ce mulu. Mu nyoba yang halal. Katanya mah lebih enak, hehe. Lu sendiri mau nikah kagak? Umur dah cukup tuh. Uang dah punya. Mobil ada. Mau nunggu apa lagi lu? Jangan bilang lu masih nunggu tuh cewek. Siapa tuh anaknya, lupa gue namanya.”
“beuh, gebleg lu. Nikah kok pake nyoba-nyoba. Yang serius lah. Nikah mah sekali aja men. Dikutuk baru tau rasa lu.....”
ku tarik nafas panjang. Pelan terdiam. Mencoba mengumpulkan tenaga untuk menyebut nama dia. Ya nama itu. Nama yang benar-benar berarti bagi ku.
“Namanya Permata Gi. Lu mah lupa mulu. Kalo soal nikah entahlah Gi. Gue masih bingung mau nikah kapan. Ortu dah sewot tuh nanya kapan gue nikah. Dan alasan kenapa gue bingung mau kapan nikah bukan karena Permata. Gue aja gak tau dia ada dimana sekarang. Atau malah dah nikah sama cowok nya dulu. Mana gue tau. Tar aja deh.. masih pengen seneng-seneng aku mah”
Melalui sudut mataku bisa kulihat kalau sobat yang kukenal 7 tahun lebih ini tersenyum getir. Mungkin merasa tidak enak mengungkit tentang dia lagi. Sosok yang dari dulu sering kali aku ceritakan kepadanya. Sosok wanitaku yang begitu berharga.
“sori bro, gue dah ngungkit-ngungkit dia lagi. Gue cuma ingetin sebagai sodara. Lu itu cowok men. Kalo memang mau sama tuh cewek cari dia! Kalo emang mau nyerah ya jangan mikirin dia lagi lah. Maaf kata ya, gue heran sebenarnya ce tuh apanya yang hebat. Ampe lu jadi kayak gini. Berantem jago, ngerayu apa lagi, tapi ma tuh cewek kok bisa-bisanya lu jadi bego gini? Realistis men. Gue gak mau lu kayak gini mulu
Malam menjelang. Suasana kota bandung pun semakin gelap. Begitu pula perasaanku. Entahlah untuk ke berapa kalinya Egi mengingatkanku akan hal ini. Tak bosan-bosan. Yah mungkin kali ini aku harus benar-benar mencari dia. Supaya rasa ini menjadi jelas. Mau dibawa kemana. Apakah percuma atau rasa ini tidaklah sia-sia. Maka hari ini, detik ini. Sambil memandang langit malam di kota bandung ini aku berjanji kepada_Nya
“tuhan, berikan aku kesempatan untuk bertemu sosok dia. Untuk memastikan rasa yang kau sisipkan ini. Biar jelas semuanya. Biar tak ada lagi asa yang sia-sia. Tolong... berikan kesempatan itu. Dan aku berjanji untuk tidak akan lari lagi kali ini. Akan kuhadapi sampai benar-benar habis waktunya nanti”
akupun beringsut dari tempat dudukku. Berdiri. Berkata kepada sosok sobatku yang masih diam di ujung sana.
“Gi, gue cabut dulu yah. Tar gue maen lagi kesini. Musti ngontrol anak-anak jam segini mah. Oke bro. Oke bro, tar kalo ada apa-apa kasih tau gue yah. Mau urusan gawean atau urusan nikahan gue pasti datang”
“Tian, tian.. ya udah buru berangkat sono. Tenang aja soal laporan gue pasti kasih tau elu. Sori untuk yang tadi. Elu taulah gue cuma mau ngingetin. Kita sodara bro. Selalu!”
Dan akupun tersenyum. Ya aku tahu kalo sosok didepanku ini adalah sodara, yah bukan sodara kandungku. Tapi hubungan kami lebih dari sekedar kakak adek. Saling menjaga. Saling ngingetin. Susah senang bersama-sama. Sodara selamanya.
“gk papa gi. Gue pamit. Salam buat tania..........”
Bandung, at residence street near site area 19:15 PM
Aku berjalan. Sendiri menyusuri jalan suatu perumahan didekat tempat proyek Egi. Bingung. Sunyi. Merasa sendiri. Dan inilah kebiasaanku dari dulu. Saat merasakan hal ini selalu merasa harus pergi jalan-jalan entah kemana. Jalan kaki atau naik motor kesayangan biasanya. Membuatku bisa jernih berfikir dan merenungi.Yah aku harus mengakui kalau kata-kata egi tadi sepenuhnya benar. 5 tahun telah berlalu dan hampir setiap hari aku selalu memikirkan dia. Sosok itu. Permata itu. Tapi apa yang aku lakukan? Hanya diam. Tak mau pula mencoba mencari dia. Aku bahkan bingung apakah saat bertemu dengan dia aku bakal bisa bersikap normal seperti biasa. Atau malah terserang penyakit gugup. Sukar berkata-kata. Melihat wajahnya dulu pun aku merasa mukaku memerah. Panas sedemikian rupa.
Apakah dia masih seperti dulu? Matanya masih berpendar indah berkilauan. Senyumnya yang manis dan menawan. Rambut hitam lurus yang mempesona itu. Tingkah lakunya yang lembut. Gerak gerik raganya yang memikat itu. Keelokan salah satu ciptaanMu. Tuhaaaaaaaaann, aku rindu dia. Tolong pertemukan aku dengan dia.
Dan langit pun mendadak cerah. Rembulan dan bintang bersinar lebih terang. Seisi semesta bertasbih untuk_Nya. Yah kali ini di malam ini pun tuhan kembali bersabda, sabda yang tak akan diketahui oleh kita umat ciptaannya “Nikmatilah pertemuan kalian. Tali takdir itu telah kupilin kembali. Sungguh aku akan merasa malu bila tidak mengabulkan doa kalian. Doa umat yang benar-benar meminta sepenuh hati....”
“Arum jangan nakal cepetan masuk kedalam. Dah malam ini juga. Tar ada yang nyulik loh. Udahan maennya”. Aku mendengar suara seorang perempuan dari rumah didepan. Cukup keras setengah berteriak. Suara siapa ini? Aku merasa pernah mendengarnya. Tak asing ditelinga.
“Gak mau teteh. Arum masih mau maen ayunan.. teteh dorongin yah???”. Kali ini suara anak kecil yang terdengar.
Aku berjalan tepat ke arah rumah tempat asal suara tadi. Penasaran akan suara yang rada kukenal tadi membuatku berhenti tepat didepan pagarnya. Rumah yang tidak begitu besar tapi memiliki penataan yang bagus. Ya walau kurang penerangan dihalamannya. Bahkan didekat pagar inipun penerangannya hanyalah seadanya. Remang-remang saja. Palang bertuliskan panti asuhan Muhammadiyah. Halaman yang rada besar plus taman bermain kecil didepannya. Disana aku melihat seorang anak kecil lucu sedang sibuk maen ayunan. Anak kecil ini yang sepertinya berbicara tadi. Tangannya pun melambai-lambai memanggil seseorang yang berada didalam rumah.
Seorang perempuan keluar dari dalam rumah. Berjalan tergesa kearah anak kecil tadi berkata dengan nada lembut kepada dia “arum mah nakal. Teteh jewer nanti. Cepet masuk, nanti sakit lagi”. Memangku lembut bocah yang disebut arum tadi. Menjewernya pelan. Tertawa. Dan langsung berbalik arah. Masuk kembali kedalam rumah.
Aku terpana. Aku terpana oleh suatu sosok yang sangat kukenal “ITU DIA!!!!PERMATA yang ku rindu selama ini”. Tak akan mungkin aku melupakan sosok itu. Sosok yang slalu aku bayangkan dalam tidurku. Sosok yang selalu kurindu. Mata ku tak mampu berkedip. Kakiku tak mampu bergerak . Mulutku tak mampu berkata-kata. Sempurna gagu seperti yang aku perkirakan sebelumnya. Dadaku sesak oleh fakta ini. Berkata pelan sungguh-sungguh didalam hati
“Tuhan.. terima kasih. Sungguh sekali ini aku benar-benar berterima kasih.........”
read more..